Sunday, December 28, 2008

Perpus Ngemper edisi ke-2

Akhirnya aku bisa berada langsung di sana Perpus Ngemper. Suasana alun-alun Sidoarjo jam 3 sore masih lengang. Para pedagang masih sibuk bersiap-siap dengan gerobak dan barang dagangannya. Tapi sudah banyak pengamen dan bocah anak dari pedagang yang bermain disekitar areal Alun-Alun sidoarjo. Aku tiba di sana sudah ada iwan dkk dan nisa buku-buku sedang didata spandukpun digelar. Perpuspun akhirnya siap disantap. Tidak lama kemudian Yasmin, Dee2 dan Eric datang membawa buku-buku dan majalah wanita.

Pengunjung pertama kami bernama Anisa dan adiknya Arum. Mereka suka sekali membaca, menulis, berhitung dan bernyanyi. Si kecil arum suka mengobrak-abrik tatanan buku. Tingkahnya lucu, setiap melihat gambar di buku ia akan berteriak "etan..etan.." ehm setan kali ya yang dimaksud. Kalau kakaknya sudah mengerti bagaimana memperlakukan buku walaupun belum bisa lancar membaca. Jadi aku memperlihatkan gambar-gambar di majalah bobo dan membacakan untuknya. Maen sekolah-sekolahan deh..! bosan membaca, mereka meminta kertas untuk menulis, berhitung dan menggambar. lucu-lucu ya mereka. di sebelah emperan kami ada ibu-ibu penjual kerupuk, beliau menghardik arum karena takut bikin rusuh.

Semakin sore sekitar jam setengah lima datanglah Wantoro pengunjung yang dua minggu lalu juga datang, dia asik membaca komik sementara 2 bocah perempuan itu ribut sendiri. tak lama datanglah ibu penjual jajanan kecil, dia mencari buku cerita untuk anaknya supaya lancar membaca. tapi anak perempuannya entah bermain dimana. akhirnya ibu itu sendiri yang meminjam majalah perempuan untuk dibaca sendiri. mendekati maghrib datang lagi bocah perempuan bernama Sofi ternyata anak dari ibu-ibu penjual jajanan kecil tadi. Sofi lebih pandai membaca daripada Anis. Tapi masih suka lupa-lupa. Dia juga belajar berhitung, menggambar bersama kami. Kalau sudah datang bosannya maka mereka akan pergi berlarian kemudian kembali lagi minta membaca. Kami berjanji untuk membawakan kertas mewarnai untuk mereka. *semoga tidak kelupa'an

Anak-anak Ars juga membantu duh siapa aja ya.. ada gepenk, ada ehmm aduh lupa gak nanya nama. Ada mas anwar juga yang satu rombongan dengan mereka. Jam 6 yasmin harus pulang karena ada kesibukan lain. Habis maghrib susana alun-alun semakin ramai maklum besok suroan dan masih tanggal merah. Rata-rata pengunjung masih bingung buku-buku ini dijual atau bagaimana. Maklum konsep hanya baca ditempat gratis belum umum. Kami menyadari memang butuh sosialisasi Perpus Ngemper agak lama. Yah setidaknya sebulan atau dua bulan dengan jangka waktu yang tak terlalu lama. Beberapa orang datang melihat dan kami persilahkan untuk membaca di sana. Mereka suka sekali, ada yang minta buku tentang agama, sastra, bacaan anak, pertukangan, bahkan perdukunan eh bukan cuma ramalan bintang.

Sekitar jam delapan kamipun membereskan TKP (tempat kejadian perpus). Karena semakin malam alun-alun semakin ramai dan nisa sudah waktunya menetek pada bantal gulingnya. Iwanpun kecapaian karena di pagi harinya ada diskusi sastra.

Setelah aku melihat langsung kondisi di lapangan, maka kamipun memutuskan Perpus Ngemper tidak lagi dilaksanakan dua minggu sekali. Dan akan dimajukan jadi seminggu sekali. Minggu depan kami akan hadir di alun-alun sidoarjo. Karena jika dua minggu sekali sosialisasi Perpus Ngemper akan sulit.

Salam Ngemper

Monday, November 24, 2008

25 Tahun Bertabur Puisi

Kau dan Tikus Kecil : Dalam sebuah sajak

By. Nisa Pikanisa

: Gita P, kekasih gelapku

tiap malam
kau urai kata
lepas dari burai dada

tak ada yang tahu
kau sembunyi
antara sedu sedan
malam sepi

Arak saja sengau rindu
pijar rembulan
bulir hujan
luas taman

Yang kau jejalkan
resap embun
lingkar pelangi
kilau malam

nantinya,
kau selalu kembali berciap-ciap
pada tikus kecil
dari jeruji kamar sebelah

Ah... kau tahu
tikus kecil tak sekedar tunggu
butuh sekedar remahanmu

Mungkin sama ?
atau sebaliknya?

Kau bunyi ciap-ciap
Tikus suara cicit

Lihat!!
Kalian cipta lagu
rangkai soneta
tembus kabut kata

Bersahabat
Bermain aliran awan
bersimbah semai rinai tetesan

Ber-sa-ma

Sby, 231108


Jangan Kau Hadir

By. Benz

:gita p.

jangan kau hadir pada rambut mengering
di genang cat kental menggambar nyala unggun
kobar api berdansa mengigau-igaukan
semua kata, tersekap di diam dada

ke tepi kolam tak bertuan
ke ujung pohon tak berpucuk
mana rindang yang dulu pernah kau temukan?

jangan kau hadir pada kisut kulit kaki
di semak usia menunggu tanah paling gembur
ranting umur menari-nari di semua lagu
yang tak pernah selesai kau lantun

jangan kau hadir
jangan kau

hadir

..

(2008)

Undangan Pernikahan

By. Prince Adi

: gheta

aku tidak menerima undangan pernikahanmu
yang sudah kaujanjikan hanya akan ada
aku dan kamu

...

Hei, apa kau tak ingat sebuah kecup
yang pernah kuhadiahkan tepat di dahimu
saat malam tepat ingin memeluk kita yang tengah
menggigil dan mengejang

Ingat, saat kusingkap rokmu diam-diam di tiap malam
dan kupermainkan lidahku - memancing birahimu
yang pernah kau bilang mati?
seolah mayat-mayat yang belum jua dikremasi?

Maka janin lah hasil semua itu, yang
kaugugurkan dengan meminum air raksa sebelum
kau berdiri di kursi tua, mengikat lehermu dengan
tali rafia

Maka hari ini, di hari yang kau damba-damba
aku datang membawa gitar tua memainkan nada-nada minor
dari senar yang sudah ingin tertawa

(nanti saya rekamin lagu baru saya...silent move)


HARI PENGHABISAN (KIAMAT)

By. bunghatta_crb

Kala bumi pandangi langit
harapkupun semakin tipis
semakin aku kagumi rindu
batasanpun makin menjauh.

Saat mentari cintai bulan
sinaran pun makin tenggelam
tapi cahyaku memantul dalam temaram
menjadikan bulan makin menawan

Ku nantikan dimana bumi bertemu langit
Ku rindukan saat mentari bertemu bulan
dan ku ingin melihat lagi seraut wajah
lusa kita 'kan berpadu dihari penghabisan





Wednesday, November 05, 2008

Cerita Lengang, ESOK didatangi Epri Tsaqib

Kami girang sekali akhirnya si Ruang Lengang berkunjung ke Surabaya, mengurangi sedikit bising kota dengan kata kata puitis. Setelah beberapa kali pembicaraan lewat YM. Akhirnya saya dan teman-teman ESOK sepakat untuk membantu launching dan diskusi buku Epri Tsaqib di Surabaya.

Epri Tsaqib datang hari jum'at pagi dijemput dari stasiun gubeng oleh paklik sonydebono. lalu diantarkan kekontrakan Yasmin binti Mumun untuk mengaso dan menunggu waktu acara bincang dan makan siang bersama di MagnetZone. Saya yang kebetulan sejak semalam (kamis) tidak pulang karena setelah latihan dan rapat kecil ada pesta kejutan untuk si pemilik kontrakan yang berulang tahun. Walhasil tak mungkin pulang karena sudah terlalu larut. hari pertama epri Tsaqib di Surabaya disibukkan dengan acara makan siang. tapi setelah acara Epri Tsaqib harus langsung loncat ke malang. karena jadwal lanching dimalang berubah menjadi hari sabtu pagi.

Sabtu siang pak panji, pembahas buku datang dari madiun dan lagi-lagi sayalah bagian penjemput di terminal bungurasih. Surabaya pada saat itu sedang panas-panasnya isu pergerakan matahari semu menambah gerah suasana kota yang memang sudah panas. setelah menjemput pak panji. saya bawa dia kerumah dulu untuk beristirahat sejenak di rumah sudah ada nisa, lalu melanjutkan perjalanan yang bakal sangat panjang dan melelahkan (ini berlebihan sih!) setelah minum segelas air kitapun (saya dan pak Panji) berangkat menuju kontrakan, basecamp kedua di tengah kota. Sedangkan Nisa langsung menuju tempat acara untuk persiapan. Di gedung sudah ada wakgun, iwan, dkk. Sesampai di kontrakan Epri Tsaqib ternyata belum sampai di surabaya. lalu beberapa jam kemudian saya menjemputnya di stasiun gubeng. nah akhirnya saya bisa ngaso sebentar sambil menunggu maghrib lalu kami semua berangkat ke gedung ex-mpu tantular. karena acara diundangan jam setengah tujuh malam. Taktik supaya undangan datang lebih awal, Surabaya gitu lho..!

Acara Launching dan Diskusi buku kami buat minimalis saja, sesuai dengan nama komunitas kami Emperan Sastra Cok, maka kami memilih konsep Ngemper alias Lesehan. Dengan konsep sederhana ini kami ingin menghilangkan kesan sastra itu eksklusif. Siapapun Bisa Nyastra, Siapapun Bisa Membaca, Siapapun Bisa Berpuisi. Para pembicara yang ada tidak ingin kami beda-bedakan dengan para audience supaya acara diskusi bisa lebih santai. Yah.. walau di ruangan itu panas karena tidak ada AC dan hanya ada kipas angin satu buah. Tapi kami berharap acara bisa terus berjalan dengan lancar. Maklum gedung fasilitas dari Dewan Kesenian Jatim ini bekas Museum yang konsep ruangannya sebenarnya ber-AC jadi ventilasinya tidak ada. Kamipun berterima kasih karena telah diberi ijin untuk menggunakan gedung itu.

Acara launchingpun mengalir lancar dibuka dengan persembahan lagu dari Mas Iwan kawan dari PAPER (Paguyuban Penghibur Rakyat Pucang), lalu pembuka oleh MC yasmin, performance dari teman-teman ESOK (Nisa, DeeDee, Iwan, Wakgun, dan saya sendiri). setelah itu diskusipun berjalan kurang lebih 2 jam lamanya. dimoderatori Sonydebono dan pembahas Pak Panji dari madiun dan Bincang camu Epri Tsaqib. Lalu ditutup dengan spontanitas dari para tamu.

Setiap kali ESOK mengadakan acara bedah/launching, kami berusaha mungkin menampilkan sesuatu. Karena Esok bukan Komunitas Penulis Profesional, kami adalah kelompok manusia-manusia aneh yang ingin terus belajar, berkarya, mengapresiasi Sastra. Kedatangan beberapa penulis merupakan angin segar buat kami yang ingin belajar, baik dari segi pengkaryaan dan konsep buku dari mulai proses pembuatan sampai penjualan. Dan Epri Tsaqib memompa semangat kami untuk terus berkarya. Dua buah lagu yang kami arransemen (Gerimis dan Di Ruangan Itu) belumlah cukup untuk rasa terima kasih kami terhadapnya.

Memang kami hanya bisa menyuguhi pembicara, tamu undangan dengan sebuah pementasan musikalisasi minimalis, tapi semoga bisa menghibur. Walau pada acara ini persiapan kami tidak punya banyak waktu karena masih terkena imbas libur Lebaran kami tetap semangat. Saya dan kawan-kawanpun pada masa persiapan sempat kewalahan. Karena Epri Tsaqip tidak hentinya mengingatkan soal publikasi dll. Epri Tsaqib sendiri meminta saya untuk bekerja sama dengan komunitas lain, tapi entah setelah saya mengkonfirmasi justru tidak ada tanggapan. Jadi kamipun memutuskan menjalankan misi ini sendiri saja, untunglah ada sponsor MagnetZone yang memberikan sumbangan doorprize.

Saya sebenarnya sudah menyelesaikan laporan kegiatan ini sejak dulu. Tapi masih belum selesai, sekarang saya habiskan saja tulisan ini. Apa adanya...! Bagi saya proses persiapan launching kali ini terasa lengang, mulai dari persiapan awal, greget semangat dari kawan-kawan sendiri. Akh.. seperti judul buku ini saja. Entah karena masih suasana lebaran, terhanyut Buku Ruang Lengang atau memang keriuhan Esok sedang menurun.

Keterbatasan kami yang sedang belajar dan semangat yang kami miliki ini semoga tidak menjadi sesuatu yang sia-sia. Terima Kasih

Salam
Gita Penjaga Gawang ESOK

Okt-Nov 2008

Tuesday, September 23, 2008

Catatan Perempuan Tolol

Aku semakin terpuruk menjabarkan sesal yang tak berkesudahan. Mungkin aku drupadi perempuan perkasa itu, tapi luluhku shinta bersetia hati hingga rela terbakar api pemujaan. Dan kau siapa? rhama, arjuna atau justru rahwana, mengejarku hingga ujung langit mimpi. Menyiksa dengan rasa bersalah yang panjang dan tak membiarkanku menapak langit yang lain. Hilir mudik mengintip jendela dan pintu rumah, apakah kau akan datang hari ini?

Hati menjadi beku memuja satu nama, semakin retak pada gelisah. Inikah akhir atau justru awal. pertanyaan menjadi dzikir kata-kata di setiap malam. Hingga do'a lain terlampir hanya sebuah halaman tanpa angka. Lantas untuk apa aku di sini menengadah selalu meminta sehat sejahtera untukmu. Kebahagian yang paling mungkin kau dapat. Meninggalkanmu menjadi sesuatu yang diinginkan tapi juga ditabukan. Lantas kau hanya mencibir "aku lahir, kecil, dewasa, tua kemudian mati. Andai ini tidak terjadi mungkin aku akan bahagia" begitu menyiksakah pengakuanku.

Setiap hampir shubuh hanya tangis menggugu, menyiksa diri dengan berpetualang ke segala penjuru. Padahal kaki semakin uzur, tulang kering beku, dan hati koyak seperti serpih serbuk-serbuk kayu. Kau justru berharap mati atau tidak dilahirkan. Sesungguhnya siapa aku bagimu? mimpi burukkah? Dan semua kesia-siaanku menggunung padamu, kau hanya berputar-putar di dasarnya berucap maaf setengah ikhlas.

Aku yang palsu atau kau yang terlalu takut pada kelaki-lakianmu. Jual dengan harga tinggi kelaki-lakianmu pada perempuan-perempuan tolol yang hampir kehabisan nafas. Mereka memuja manusia yang senantiasa datang dan pergi. Kau menganggapku sebuah rumah nyaman karena setiap kau singgah aku akan memperlakukanmu bak raja. Tapi kau tak pernah berkata "ini rumahku aku pasti pulang". Bagaimana bisa menolak kedatanganmu? jika aku ingin kau tak pergi. Sungguhkah luka ini karenamu atau aku yang mengiris ngiris hati sendiri untuk persembahan.

Aku Linglung, Dasar Tolol...

Tuesday, August 26, 2008

Serpih -Serpih

Aku sudah di sini menunggumu hingga separuh umur. Dan kau masih saja diam bahkan beranjakpun tidak. Entah apa yang akan kau katakan nanti jika aku semakin sendiri dan sepi.

Aku berdiri menantang petir, kau pernah ucapkan sebagai sumpah "Aku akan tiba setelah petir" tapi apa? Setelah petir hanya ada hujan yang merintih tanpa kau. Semakin sepi.

Pertapaan ini panjang, sepanjang sungai yang berujung laut. Semakin luas bukan? dan kau masih diam tak beranjak mengurungku pada tanya yang tak juga terjawab. Aku menunggumu.

Selalu, dari kedip matamu hanya tanda yang tak juga terjawab dari tahun ke tahun. Isyaratmu hanya "datanglah lagi besok" tanpa suara. Aku membahasakannya sendiri.

Bulan selalu datang dalam gelap. Tapi aku memaksa datang ketika terang. Kau menolak aku? Kau diam.

Wednesday, August 20, 2008

Diskusi Esok : Surabaya Membaca 50% Merdeka

Puisi bagi Heri Latief adalah alat anti penindasan, di dalam dunia sastra internet selalu ada karya yang memuat isu-isu sosial. Pembaca sastra tidak melulu orang-orang yang ahli terhadap sastra, tetapi juga orang yang mengalami penindasan sosial. Untuk itu puisi seharusnya memuat hal-hal yang mampu mewakili suara hati orang lain (rakyat) bukan melulu suara hati sendiri (ego). Dengan demikian puisi akan dapat menjdai milik umum dan bisa berkeliaran bebas menentukan sasaran. Karya Heri Latief tidak sekedar puisi dengan rangkaian kata-kata indah yang menjual mimpi.

Puisi sebanyak 50 dalam buku 50% merdeka milik Heri Latief justru menyadarkan kita akan lingkungan sosial yang sedang terjadi. Walaupun ia berdomisili di negeri belanda, ia tak pernah berhenti mengamati gejala sosial yang terjadi di indonesia. Ia menulis berdasarkan informasi yang ia dengar dari media massa, internet, bahkan kawan-kawannya yang berada di Indonesia. Dalam karyanya Ia mencoba menyentuh hati nurani pembaca untuk kembali menjadi manusia sosial yang sesungguhnya. Sebagai orang yang sangat peduli nasib bangsanya, maka ia menyuarakannya lewat puisi dan meneriakkannya di mimbar-mimbar diskusi sastra semacam ini.

Menurut Winarti pembicara dalam diskusi di Balai Pemuda Galeri Surabaya (25/07/08), puisi Heri Latief dalam antologi puisi ”50% Merdeka” dirangkai dengan bahasa yang sederhana dan apa adanya tetapi justru di situlah letak kekuatannya Tidak ada yang ditutupi dengan metafora yang biasa dipakai para penyair kebanyakan. 50% merdeka berisi pesan-pesan kemanusiaan. Kemerdekaan yang sesungguhnya masih berada di interval 50 dari keseluruhan nilai sempurna 100 persen. Masih banyak penindasan, masih banyak kemelaratan yang sangat tergambar jelas dari wajah rakyat indonesia. Winarti sendiri membaca Heri Latief sebagai sosok pribadi yang tidak mau menyerah walaupun usianya sudah setengah abad (50 tahun). Sifat pantang menyerah itulah yang membuat Heri Latief terus berkarya. Dalam sebuah obrolan ringan dengan saya ia berkata jangan sampai pikiran kita ditunggangi oleh pikiran-pikiran orang lain. Maka jelaslah bagi saya, Ia memang berkarya untuk menyuarakan hasil pikirannya sendiri yang ia tangkap dari lingkungan sekitar. Ia benar-benar berusaha melepas diri dari dominasi apapun.

Giryadi sebagai salah satu pembicara pada diskusi, ia berbicara sebagai seorang wartawan yang juga seorang seniman. Ia berkata, isi dalam puisi-puisi Heri Latief sering ia temukan di media massa. Di dalam media massa penindasan sosial disajikan terlalu manis hingga tidak dapat diejawantahkan secara gamblang. Hanya sekedar mengelus hati pembaca, sedangkan di dalam puisi rangkaian kata-katanya mampu menyentil. Belakangan ini, seiring berkembangnya kebebasan dunia informasi, justru media massa memilih-milih berita. Bahkan sering kali redaksi menyortir berita ketika politik uang sudah berkuasa. Berita yang dimuat terkadang dimunculkan untuk menutupi isu-isu yang merugikan beberapa pihak. Menurut giryadi, media massa seharusnya juga bertanggung jawab pada penindasan sosial yang dialami masyarakat. Penyampaian informasi yang setengah-setengah juga membuat masyarakat bingung akan hasil akhir suatu kasus. Contohnya saja soal lapindo, pada awal terjadinya kasus tersebut berita itu seakan menjadi PR semua pihak, tapi sekarang kasus itu seakan hanya menjadi obrolan santai sebagian orang. Padahal dalam kenyataannya kasus itu belum tuntas benar. Lantas di mana media massa berdiri? Pada siapa mereka berpihak?.

W. Hariyanto yang pada malam itu juga hadir, di sesi tanya jawab ia justru tidak menitik beratkan pada isu-isu sosial. Melainkan pada pergerakan sastra nusantara, dominasi TUK yang ingin dirubah oleh penulis-penulis lainnya. Sastrawan seharusnya punya jiwa militansi untuk keluar dari mainstrem TUK. Ia dengan tegas berkata bahwa sastrawan surabaya, jatim dalam lingkup yang lebih luas menolak dominasi sastra koran. Hal ini juga disinggung oleh Giryadi, ia beranggapan pencetus sastra koran ketakutan dengan kemajuan sastra cyber. Kecepatan penyampaian karya, entah itu cerpen. Puisi, esai, menuju pembaca ternyata sangat cepat di dunia cyber. Dan ini yang membuat sastra koran sedikit tertinggal. Di dunia cyber, diskusi akan cepat begulir, beragam tanggapan dari pembaca dapat langsung berkembang tanpa harus menunggu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Hal inilah yang membuat isu sastra bergerak sangat cepat. Menurut Giryadi tidak seharusnya sastra dikotak-kotakkan semisal, sastra koran, sastra cyber, sastra jawa, sastra buruh, dll. Sastra adalah sastra, apapun bentuknya tidak seharusnya ada pengucilan aliran.

Selain membahas pergerakan sastra, W Hariyanto juga menambahkan Saiful Hajar, seniman yang juga bergelut dibidang seni lukis, sastra, teater, pernah memulai pergerakan sastra penyadaran jauh sebelum masa orde baru jatuh. Nafas puisi-puisinya untuk menyadarkan pembaca akan kesadaran sosial dengan gaya puisi kocak yang menyentil pembaca. Semacam Sajak mbeling Remi Sylado, tapi saya belum berani menyamakan keduanya. Walau kemungkinan bentuknya sama dan juga sudah ada sejak jaman orde baru. Saiful Hajar sendiri yang juga hadir pada diskusi itu menambahkan, indonesia memang belum benar-benar merdeka. Karna jika dahulu penjajah bangsa adalah bangsa luar, justru sekarang yang menjajah adalah rakyatnya sendiri. Rakyat yang sudah diperbudak oleh materi dan kekuasaan melalui investor-investor asing. Itu berarti kondisi dulu dan sekarang sama saja. Bahkan lebih parah karna kita tidak merasa dijajah secara langsung sehingga perlawanannya tidak lagi segencar dulu.

Salah satu peserta diskusi Didik dari FMN (Forum Mahasiswa Nasional) mengatakan, berjuang melalui karya tulis juga dilakukan oleh wiji thukul aktivis yang hilang di masa orde baru. Wiji thukul merupakan tokoh yang tidak hanya mereka-reka kondisi negaranya, tapi ia juga berbuat untuk melawan penindasan selama masa orba. Didik mempertanyakan sedekat apa heri latief dengan karya dan masyarakat sosial yang menjadi tema besar di buku antologi puisi ”50% Merdeka” ini.

Diskusi malam itu berlangsung tak terlampau panjang, dikarenakan waktu yang terbatas. Dihadiri oleh aktivis buruh, bonari nabonenar, adib, anggoro dll. selain itu teman-teman dari apresiasi sastra Fahmi Faqih, Sonydebono menyempatkan hadir. juga teman-teman komunitas sastra di surabaya Lab sastra dan Gapus, semisal Mashuri, Dody Tobong ,Puput dan masih banyak nama-nama yang belum saya sebut di sini. Tapi diskusi belum cair karena belum semua menyampaikan uneg-unegnya tentang kondisi negara seperti dalam buku puisi 50% Merdeka ini. Seusai diskusi para undangan membacakan sajaknya Saiful Hajar , dody yanmasfa menyumbangkan karya untuk diibacakan pada malam itu. Di penghujung acara ditutup oleh performance kawan-kawan ESOK dan PAPER komunitas pengamen jalanan (Iwan Pucang) dengan membawakan lagu balada yang berjudul MENOR *bahasa jawa yang artinya berlebihan.

Maka pertanyaan besar tetaplah menjadi teka teki bagi saya, benarkah 50% merdeka bisa berubah menjadi 100% merdeka? Entahlah. Semoga antologi karya heri latief mampu mengembalikan kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Dan mampu menangkap gejala perubahan sosial utnuk dijadikan cermin dalam diri untuk berbuat lebih pada bangsa dan negara. MERDEKA....!!! (Surabaya, agustus ’08)


Tuesday, August 19, 2008

Bertemu Pendekar Mabuk (Hudan Hidayat)

Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah kota yang penuh tai tikus, anjing liar dan kucing garong herannya banyak juga yang memuja kota itu. Aku termasuk gak ya? hehehe... Katanya sih itu kota Jakarta. Seperti biasa, setiap ke jakarta aku lebih suka nongkrong di TIM. Mau siang, sore, malem enakkan di sana, daripada harus ngluyur di mall, wisata Mall. Lah di Surabaya aja mall sudah berjajar seperti ruko.

Malam, hari kedua aku datang lagi ke TIM. Rencananya ada janji dengan leklul, bunda inez dan kinu. Tapi setibanya di TIM ternyata tak ada leklul atau bunda inez, hanya ada kinu dan beberapa gerombol orang di warung depan TIM. Di sanalah aku bertemu seorang pendekar, yang belum lama kukenal. Kujuluki dia pendekar mabuk, Hudan Hidayat (atau mungkin memang julukannya ya?).

Kesan pertama melihatnya, aku tidak tahu kalau pendekar itu adalah Om hudan yang esainya mudah kumengerti, penjabarannya ringan dan tidak terlampau rumit. Jadi kuabaikan saja dia dan kuanggap hanya pemabuk tua yang tidak punya tempat ber haha hihi di rumah atau tempat kerjanya. Pemabuk tua itu memakai setelan kemeja kusut dan celana hitam, juga sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya yang lusuh. Lantas aku dikenalkan Kinu pada si pendekar yang ternyata Hudan Hidayat, itupun sambil lalu. Antara percaya atau tidak kalau pemabuk itu adalah hudan hidayat aku diam saja sambil terus mengamati gerak geriknya. Di kedua sakunya aku melihat dua kotak rokok. Lantas aku bertanya "Ough om juga penjual rokok kliling". Dan iapun menjawab "ini obat, obat mabuk juga ke..ke..ke.. ." terkekeh sambil kepalanya geleng-geleng. Tolol juga ya aku, orang mabuk kok diajak becanda.

Entah berapa persen kesadaran yang tersisa di kepalanya. Rupanya pendekar itu mengenaliku kemudian memanggil namaku. Gita, barulah diriku yakin inilah om Hudan yang suka SMS gak jelas. hehehehe.. *maap om. Ia berlarian seperti bocah kecil membawa tubuh yang sepertinya teramat berat, berpindah-pindah dari bangku kayu ke gerobak rokok, dari gerobak rokok ke rumput belakang. Begitu seterusnya, tidak bisa diam sambil meracau gak jelas. Aku juga tidak seberapa ingat apa yang dia racaukan. *hemm ada sih yang aku ingat. Pendekar itu bercerita tentang kegelisahannya, aku mendengarkan racauan tentang kesepiannya, tentang sakit hatinya, tentang dia yang disingkiran, tentang kekosongan. Apakah itu benar aku tidak tahu, anggap sajalah benar.

Lama aku mendengarkan dia bercerita lantas aku menanggapinya. Tapi akhinya aku sadar sedang berbicara pada lelaki yang sedang mengigau. Aku minta dia tidur saja, istirahat. Akhirnya Pendekar itu tertidur di rumput penuh sampah dan pecahan kaca. Kinu yang sedari tadi mengutak atik "teman kerja" om hudan masih berwajah datar dan sabar karna hampir beberapa jam masih saja belom sukses di operasi. Sedangkan lelakiku, aku biarkan saja sendiri.

Kinu sibuk sekali membedah "teman kerja" Om hudan yang katanya kena virus lalu merusak system. gak tau deh apa kamsudnya. Pendekar mabuk itu gelisah sekali, sebentar-sebentar colek-colek kinu. *idihh pendekarnya genit. Ia berkali-kali bertanya dan mencoba memastikan bisa atau tidak "teman kerja"nya diperbaiki tanpa harus kehilangan ingatan

Aku melihat keadaan pendekar mabuk yang terkapar di belakangku. Sesekali tikus datang hendak menggigiti tubuh yang sudah seperti mayat hidup. Atau seekor kucing yang menjilati tubuhnya yang mungkin berbau nasi basi. Aduh.. jadi iba aku padanya. benarkah ia sedang kesepian dan harus mabuk seperti itu. Atau apakah semua pemabuk bernasib sama sepertinya? jadi santapan hewan liar. Akh untunglah ia tidak dikencingi anjing liar. Malam sudah di ujung, setelah ini hari akan beranjak menuju dini hari. Aku, lelakiku dan kinu harus segera pulang.

Kata orang disekitar situ memang begitulah dia. Hampir setiap hari mabuk.. lalu mabuk.. kemudian tepar, bahkan sudah beberapa kali telepon genggamnya hilang karna tertidur di jalanan. Ugh pantas saja beberapa sms terakhirku tak juga sampai. Rupanya Ia baru saja kehilangan lagi.

Pendekar mabuk masih terlelap bahkan tak sedikitpun posisi tubuhnya berubah. Telentang, tidur beratapkan langit. Ternyata bukan hanya gembel saja yang harus tidur beratapkan langit. tapi seorang Hudan. Rupanya ia benar-benar mabuk. Akhirnya kita bertiga memutuskan untuk membangunkan pendekar "tepar" itu dan membopong tidur dalam mobil.

Akh sebenarnya aku tidak ingin menuliskan, dan memosting cerita ini. Tapi karena dia menganggap ini lucu dan ia memintaku untuk menuliskannya. Aku tulis sajalah...! Sekarang di mana lucunya?? Mungkin Om Hudan sedang menertawakan dirinya sendiri.

*110808 pertemuanku dengannya.

Friday, August 08, 2008

Surat Panjang, Kisah Semestinya

Malam nyalang, iba tiba-tiba mengemis risih di pundakmu yang terguncang beku. Sedangkan aku menunduk lesu. bertanya, kisahmu kapankah usai? Aku di sini, menyemaikan rindu yang tercabik digurat matamu. Yang menatapku kosong membayang wajah yang bukan aku. Ini bulan separo milikmu dan kenangan yang selalu kau simpan lalu kau rayakan sendiri .

Kapan kisahmu selesai, nanti bolehkah kutulis lagi kisah seringai serigala. Perempuan malangku.. aku tertunduk, mencuri-curi kau, mengagumimu yang bergumam pada isak yang dalam. Dan kau selalu larut, entah bersembunyi, dalam tawa yang gelar menderam dalam dadaku. Ini kusebut luka perempuanku pengikat janji untuk menjaga dan membangunkanmu pada mimpi. Perempuannku nanti kuajak kau berpesta di tengah padang tanpa sahara dengan danau yang sejuk dan aku bersiap menggelar tubuhku, untuk kau rebah.

Perempuanku apa yang kau tunggu. Sedangkan aku tak ingin matamu selalu nanar setiap kau mendongeng. Rokok yang makin dalam kau hisap, lalu kauhempaskan. sia-sia. Bukan dia.. bukan dia..! Tak mungkin dia berarti. Kau lebih berharga dari apapun, lelaki itu hanya sobekan kertas koran dengan huruf yang terpotong-potong. Sedangkan aku adalah surat panjang yang tertulis setiap malam.

Sby, 8 Agustus 2008

Tuesday, June 24, 2008

Mengulang (lagi) Episode Panjang

Kali ini...
Aku mau sesuatu yang terang. Tak lagi bersembunyi pada kata. Atau senyum berjuta makna. Kisah ini hampir tak pernah menyerah, tak juga menuju titik, selalu menyisakan koma. Dengan jeda yang teramat panjang. Lelah, tapi sementara.

Cukup? tak ada.. kata cukup tak pernah sampai. Sekarang kupilih libur puisi untukmu. Memilah antara kau dan aku di kepala. Sebuah rasa yang selalu tertimbun hingga menganak dan berakar di dalam hati.

Malam hampir terjaga, kau.. kau.. dan bulan separomu. Seperti gasing, ia berputar-putar menarikku perlahan pada lingkaran semakin dalam. akh.. begitukah luka? Tak terasa namun di akhir pecahlah butir-butir airmata.

Jika waktu selalu berjalan mundur, akan kupaksa ia berjalan maju. Agar aku lupa angka dan tak pandai lagi berhitung tentangmu.

Pada lembar kertas berwarna ungu, dan tinta perak. Biasa, tepiannya kubuat bergerigi. Kecil saja, membentuk kartu ucapan lipat dua. "Selamat", untukku sendiri. Selamat apa? selamat mengulang? ya.. mungkin.

"Berapa kali datang dan berapa kali pergi, lagi.. dan lagi.."

Andai.. andai.. andai apa?? perandaian telah habis diuntai. Kertas berisi makian, cacian dan seluruh dendam, berserak di atas meja dan kolong tempat tidur. Di pojok kanan bawah kutulis dengan huruf latin kecil "diam". Diam.. diam.. diam... setiap ruang gelap dipenuhi tentangmu.

Bukankah ini kesekian kalinya diceritakan, ditulis ulang. Tidak pernah usang masa, perhentian, atau selesai. Begitulah kita. Aku dan Kamu

"Sudah khan kangennya?" tanyamu, seusai kita menghitung jarak malam dan pagi
Untukmu, brapapun hitungan waktu tidak akan pernah cukup.

Sby, 23Juni2008
akh.. tulisan ini? nikmati sajalah...patah-patah
"Seusai Penutupan SFM dengan musik Jazz"

Saturday, June 07, 2008

Di Sebuah Pantai

Jemarimu bermain, melukai pasir pantai. Kakimu jenjang mulus, tanpa bulu. Bolehkah aku bersujud di situ. menghitung pasir bersamamu. Udara memanas sedangkan kau tetap tenang dengan berbalut kain kaca putih. molek....

Bolehkan aku rebah di sana, melandaikan penat sementara. Aku dahaga angin pantai sibuk membelaiku. Rambutku basah ombak laut. Mataku silau pendar camar kemilau. Dan kau memukauku. Cantik..

Payung mungilmu berwarna-warni tak cukup mampu menutupi seluruh tubuhmu. Yah.. kau tau. Tapi diam saja. Bolehkah aku menumpang teduh sejenak bersamamu. Tubuhku ingin hangat, berdekapan denganmu. Bermanja mungkin. Boleh ya...

Kupesan segelas es kelapa muda, lantas dengan santai ku rebah di atasmu. Tubuhmu dingin dan beku, mengeras tapi tak ada penolakkan. Kucoba mencari posisi paling nyaman. Telungkup menciumimu, harum...

Kureguk wangi ombak segara di atasmu, hingga ku tertidur pulas. Dan penatku perlahan hilang. Akh kursi pantai ini begitu nyaman. Terbuat dari kayu mindi merah kecoklatan. "Boleh kubawa satu?" pintaku pada pemilik cafe

Surabaya, 7 Juni 2008

Thursday, April 10, 2008

Lalu-Lalu Masa

Aku menulis sendiri. Sepertinya ada yang perih, seperti teriris. Ini luka atau hanya merah memar. Entahlah nganganya tak juga terlihat tapi bertahun-tahun kubawa. Hingga lelap berbunga mimpi yang baunya busuk.

Ini bukan tentangmu atau tentang kita. Tapi sebuah kenangan yang sudah lalu. Begitu saja menyelinap, seperti pencuri yang kehilangan jati diri. Mau mencuri atau sekedar mengintai. Atau seperti liur yang tiba tiba jatuh ketika mulutmu nganga di depanku. Seakan hendak memangsaku yang biasanya hanya diam. Diam lalu merangsek maju menggulaimu dengan wejangan cinta yang sesungguhnya palsu.

Aku masih bergulat antara menuju sepi atau menanggalkannya. Aku butuh menjadi senyap ataupun gelap. Agar menemuimu yang semakin tak puitis di mataku adalah sah dan bukan hal tabu.

10April2008

Sunday, March 16, 2008

Oh.. Maaf saja

Maaf ini sekedar perkenalan,


Ya saya dianggap anak muda yang tak bisa mengucap atau menjabarkan sesuatu dengan kata atau kalimat serius yang anda mau. Saya memang tak lagi bisa dibilang muda tapi tetap saja berucap tajam dan membuka lebar moncong, untuk sesekali menampakkan jajaran gigi kusam. Sambil sesekali bahak menggema di ujung jalan atau pun di selokan tertutup.


Jadi maaf, jika saya salah ucap dan membiarkan opini opini berlarian. Silahkan saja umpat semaunya karena memang saya tak pandai merangkai kata dengan kalimat kalimat fantastis dan istilah istilah yang lebih ilmiah. Saya cuma paham loyalitas dan pikiran logis. Tak perlu banyak cingcau dengan saya, cukup tertawa bersama saja maka saya akan menggambarkan anda dengan kesinisan dan pemahaman yang tak mungkin anda duga. Di kepala saya memang banyak jejak jejak binatang ataupun jalang yang mengukir lapisan jalan jalan protokol. Jadi anda bebas saja melindas karna saya memang orang pinggir yang tak ingin tersingkir dengan ilmu melip dan ndaki'. Cukup saja saya dengan bacot yang begini, menganga di pinggiran jalan menguraikan serapahan yang terkadang saya sendiri tidak pernah sadar kapan saya akan menelan kembali ludah yang telah saya cuihkan di pundak-pundak berjas hitam.


Terserahlah.. orang mau bilang saya kecil, bau, amburadul, dan tak layak berada di tengah jalan menyempriti kendaraan kendaraan nganggur di jalan hanya karna saya bukan polantas. Terserah juga jika anda atau mereka balik meludahi saya karna dianggap asbak yang mengepulkan asap asap tebal dan menampung puntung puntung rokok. Akh.. terserah saja dikata saya tukang comel yang meniupkan cerita miring seputar orang orang yang lalu di depan saya. Toh dosa saya yang tanggung. Memangnya anda mau membiarkan dosa saya beralih pada anda? Tentu jawabnya tidak mau. Jadi biar saja saya nggedabrus apa saja. Diamkan saja, tapi kalau anda ingin berbuat baik, mari sini goyang berdansa gaya kampung bersama saya mendendangkan lagu jazz yang katanya musik eksekutip muda. Sebodo amat kalau dikata tidak cocok untuk telinga saya. Saya suka kok mendengarkan segala jenis musik biarpun tidak satupun jenis musik saya pahami. Asal kuping saya tidak meronta silahkan saja setel keras keras dengan sound system 2000 volt. Dada saya memang mudah berdentum, tapi juga mudah merasa getar getar yang teramat samar. Yah.. saya memang tak bisa dikatakan muda tapi tak bisa dikatakan tua karna kaki saya masih sanggup mengantar laku yang tak bisa diam sejenak di pelataran parkir, perempatan jalan atau halaman rumah.


Halaman? Apakah rumah saya berhalaman? Tidak, rumah saya sempit, hanya sepetak tak mungkin punya halaman. Halaman itu apa sih? Saya tak juga paham, setahu saya halaman hanya dimiliki rumah-rumah gedong yang banyak sekali tanaman mahal semacam tanaman emas. dirawat, dipupuk, disiram, diperlakukan layaknya manusia. Rumah saya di pojokan gang, bersebelahan dengan rumah tikus dan gubuk bekas pelacur tua. Tapi herannya mulut saya justru tidak bisa koar koar, di sana tak ada bahan yang membuat saya berteriak "malu.... malu....! Bau... Bau....!". Makanya saya sering tidak betah berlama-lama di rumah. Lebih baik saya jalan kaki menempuh setahun, dua tahun, bertahun tahun perjalanan akan saya lakoni. Jika ada yang mengingatkan "kau itu sudah tidak muda, apakah kau sudah menemukan konsep hidup?" lalu saya tersenyum menjawabpun saya tak bisa. Padahal itu pertanyaan mudah untuk dijawab antara Ya dan Tidak. Tapi sungguh saya tidak pernah tahu apakah saya telah bertemu dengan konsep hidup saya? Sedangkan saya masih suka berjalan tanpa alas kaki dan tidak betah berdiam di satu tempat. Meludah sembarangan dan tetap memukul kepala, dada, dan hati orang lain sesuka saya.


Tapi yang lebih aneh saya tak bisa mendiskripsikan diri saya apakah betina atau jantan. Kenapa saya memilih jantan atau betina? Bukankah istilah itu cocok untuk binatang. Tapi kenapa saya tidak boleh memanusiakan manusia dengan kata "Betina" dan "Jantan". Toh tingkah laku saya hampir mirip bahkan mungkin anda atau merekapun juga mirip dengan binatang. Maaf sekali lagi maaf memang saya begini, suka menyangkut pautkan apa saja yang tiba-tiba lintas di kepala. Mungkin syaraf syaraf otak saya sudah sedemikian rumit dan krodit. Bahkan saya sendiri susah menguraikannya. Untuk tertawa saja saya bingung apa yang sedang saya tertawakan. Keahlian saya memang cuma menangis, berteriak dan tertawa walau terkadang tak pernah mengerti knapa tiba tiba ada banjir di pipi saya. Karena cerita sinetron yang sedang saya tonton atau sedang menangisi sesuatu di dalam diri saya. Padahal sinetron jaman sekarang tak pernah layak tonton. Menjual kemewahan dan impian hanya bikin saya gigit jari. Begitupun tertawa, tak mudah saya menguraikan kenapa saya tertawa. Padahal orang orang di sekitar saya diam saja dan justru tertunduk mengiyakan. Memangnya acara ceramah kok manggut manggut saja.


Ya.. saya memang aneh lantas kenapa kalian sibuk mencari cari saya.
Lalu mengamati termasuk dalam spesies apa saya ini?

Hahahaha... ya sudah maaf saja kalau saya masih tertawa tanpa arah, berteriak tanpa pengucapan yang jelas, berjalan ngalor ngidul tanpa tujuan. Mau dikata apalagi?


Saya hanya bisa membahasakan Kata "Saya", "Anda", dan tidak ada lagi kata sopan yang diingat. Membagus-baguskan diri memangnya knapa? anda mau protes lagi. ya sudah sana teriak sambil lari telanjang saja. "Saya Protess.. Saya Protess..!" Memangnya saya peduli, jika anda atau mereka berteriak seperti itu? bukankah saya hidup di lingkungan yang seperti itu, cuek bebek sambil berlalu dengan pantat megal megol. Dan saya yang hanya anak muda, manusia kerdil, berotak idiot, pemamah makanan basi dijalanan, pengintai jemuran milik tetangga, pasti akan meniru tingkah laku kalian. Jadi jangan salahkan saya.

Oke cukup sekian, moncong saya mulai pegal. Nih lihat semakin memanjang dan melebar mulut saya. Seringainya saja hampir mirip serigala. Untung saja belum berbulu wah bisa bisa makin mirip saya nanti. tapi kenapa anda dan mereka sibuk mencukur bulu bulu. hahaha.. Ketauan.. rupanya kalian hampir berubah bentuk menyerupai serigala juga. Selamat ya!


Sudahlah! Ternyata bercerita tentang pengemis jalanan dan bukan pengemis cinta-nya Jhonny Iskandar itu melelahkan ya? atau lebih baik saya menulis puisi saja.

Saturday, March 08, 2008

Sepulang dari Jakarta

Sudah hampir seminggu ini aku berada dalam pangkuan ibu dan pelukan ayah di surabaya. setelah semingu sebelumnya minggat untuk menenangkan diri di jakarta. "Ibu.. anakmu pulang!!" saat tiba di rumah ibu sedang menyapu garasi, dan menatap aneh padaku. Yang ternyata tampak lebih gak keurus. Gimana keurus, makan cuman bisa 2 kali mentok ya 3 kali, maennya ke cafe dan mall. Lalu bertemu dengan kedua adikku yang langsung nodong oleh oleh. huwehehehehe... Tapi baru hari kedua di rumah aku bertemu ayah "Ayahku... akhirnya ketemu lagi" dan beliau langsung memberondongku dengan pertanyaan "Gimana skripsinya"?. huwehehehe... Aku asal menjawab saja dan ngeloyor pergi masuk kamar mencoba menghindar.

Setelah seminggu melepaskan resah dan penat di sebuah kota yang ternyata lebih riuh dari kotaku tercinta. Jakarta.. beberapa kali kunjung ke kota itu, kesanku tak pernah berubah terhadapnya. Kehidupan dengan alur yang teramat cepat dan padat. kepalaku pusing memandang setiap tikungan, wajah-wajah cantik dan tampan yang berpoles sentuhan salon, make up dan segala tipu tipu. Butuh seminggu mengembalikan kesadaran setelah mencicipi euforia orang-orang kota. Dan beraktivitas lagi menulis merangkul lagi kata kata, tertawa dengan kawan kawan dunia maya. Dalam sehari harus berpindah dari gedung-gedung tinggi yang penuh sesak kepala-kepala botak dan rias perempuan-perempuan menor. Belum lagi harus berdesak desakkan dalam angkutan kota yang miris melihatnya sampai miring ke kiri. Banyak jembatan penyebrangan, naik turun tangga, kluar masuk toko dan cafe. Ufh... sesuatu yang tidak pernah aku lakukan di kotaku sendiri.

Aku memang khusus datang untuk menghadiri acara sastra bertemu dengan teman teman yang sering bercanda ketawa ketiwi lewat icon YM. berdiskusi dan mengeluarkan isi kepala baik yang serius ataupun sekedar tombo ngantuk. Launching buku Dino F Umahuk "Metafora Birahi Laut" yang bertempat wapres bulungan. Namanya tidak begitu asing di telingaku. Yang memang biasa dipakai utnuk acara acara kesenian. Yah.. itupun aku tau dari tipi kelir di rumah (semua tempat di jakarta tidaklah asing mungkin, setiap sudut pasti sudah pernah mampir di layar televisi). Acara yang digelar sungguh meriah, pembukaan acara dari pementasan teater Bung Kelinci. dengan setting tempat yang sungguh tidak nyaman, gerak para pemain pun terbatas. jarak penonton yang terlalu dekat(sayang di make upnya padahal bagus banget). lalu pembacaan puisi yang penuh ombak laut milik Dino F Umahuk oleh jonathan rahardjo, jorgy, BS, epri, lia-edelweis-, dan juga si pemilik gawe Dino F Umahuk. belum lagi suguhan live musik yang asik dari volland dan yugi yakuza dkk. juga ada diskusi yang sepertinya memang di"wajib"kan ada disetiap peluncuran buku. diskusi oleh Kurnia Efendi. tapi aku tidak terlalu mendengarkan, bahkan lewat saja ditelinga. aku lebih asik bercanda dengan teman teman yang lain. hehehehe...

dan aku tak lagi secanggung dulu ketika pertama kali datang di acara launching buku Yohannes Sugianto. Jadi aku bebas aja teriak teriak.. ketawa keras keras.. huweheheh.. *kumat. Senang sekali bisa bertemu dengan kawan kawan lama dan seminggu di sana tak akan kusiasiakan untuk tak bertemu dengan teman milis apresiasi sastra, teman warung puisi, teman Kemudian.com dan yang paling menyenangkan aku bisa bertemu lagi dengan sobat dunia maya Veveandini -aldora novriana-. Juga teman berbagi cerita Lia -edelweis- bersama buah hatinya dede' alfi yang tak lain adalah istri dan anak dari pemilik hajatan dan juga bertemu teman bergosip milla, windry, om dedy, bunda inez, om yo, mbak dian ilenk, widee, ayas, bang cibo, rangga, yugi, bayu. Juga beberapa orang yang hanya tau namanya saja di dunia maya laennya. sperti om setyo, om Yonathan, Cak Lul, om BS, bung kelinci, om epri, mbak olin, indah, banyak sekali ya namanamanya (semoga tidak ada yang terlewat)

Hari pertama tiba di Gambir selasa pagi. Aku dijemput veve, walaupun harus menunggu sekitar 2,5 jam. Kemudian diajak berputar putar jakarta dengan busway menuju rumah tinggalnya. Sepertinya tidak sengaja berputar-putar, karna si veve rupanya bukan kenek busway. Sore harinya setelah ngaso sebentar di rumah veve yang dari aku datang sampai aku pergi lagu betawi diputar, aku mengunjungi pasar festival tapi rupanya itu juga mall. (ukh... baru datang disuguhi mall) Untuk kemudian bertemu dengan miss worm -windry- dan bakal tinggal sementara di rumahnya selama di jakarta. Empat hari aku ditampung di rumahnya yang riuh meong meong lucu. Lalu menguntit kesehariannya mulai dari apartemen tempat proyek yg sedang ia tangani, bergelantungan di busway, naik turun taksi. tak lupa merengek pada windry untuk naek bajaj dan windry baek hati sekali aku diijinkan berputar putar naek bajaj yang konon katanya "getarannya bikin ketagihan". huwahahahaha... lalu kembali ke rumah, menemaninya menulis cerpen dan menonton film korea hingga larut malam.

Hari kedua di jakarta aku "memanfaatkan" Bayu yang ternyata sudah mengambil cuti khusus untuk bisa menemaniku berputar putar jakarta dengan vespa antik miliknya. Hahahaha... *Baguslah Bay..! tercapai juga keinginanmu pamer vespa. Lalu mengunjungi gramedia matraman. Di gramedia, ketika sedang asik baca baca buku di rak sastra, aku dan bayu didatangi mbak berseragam diminta kesediannnya untuk diambil gambar sambil berpura pura membaca novel ayat-ayat cinta. (sepertinya untuk promo film ayat ayat cinta) *hahahaha... aku menjadi salah satu pelaku penipu di jakarta. Kebetulan waktu itu rak buku ayat ayat cinta sepi pembaca. Baru sore harinya aku dan bayu meluncur di tengah kepadatan kota dengan gerimis di sepanjang perjalanan menuju tempat wapres bulungan. Rencananya siang sih tapi karna hujan lebat jadinya terlambat, padahal aku sudah berjanji untuk membantu persiapan acara pada om yo dan om dino.

Keesokan harinya aku diajak om yo untuk datang diacara pembubaran panitia. karna aku lagi lagi merengek minta kaos padanya hehehehehe.. *merepotkan ya?. dan windry yang juga panitia pasti datang keacara itu. Dari sore aku dan windry harus nongkrong di Blok M Plaza. sekalian menunggu yang laen datang. dan aku juga membuat janji dengan mbak olin di sana.

Baru hari keempat aku bisa merasa seperti di habitatku ketika nongkrong di TIM, ngeliat ABG, trus liat orang orang yang tanpa polesan dan cuek dengan penampilan. *dasarnya gembel. Sebelumnya, pagi hari itu aku harus ikut windry untuk "dititipkan" pada Kinu dan harus menunggu kinu datang menjemput di Plaza Semanggi padahal belum buka. Aku terpaksa menunggu di Dunkin Donutz satu satunya tempat yang sudah buka. untung tidak begitu lama sampai akhirnya Kinu datang. Lalu mampir ngenet di ratu plaza, sarapan di kantin pegawai setelah itu melanjutkan perjalanan ke TIM liat liat buku di toko bukunya jose rizal. niatnya cuman mo baca baca malah mborong huwehehehe...*kalap. Sambil menunggu windry dan kawan kawan lain yang belum aku temui. Walhasil seharian itu aku di TIM mulai dari jam 1 siang sampai jam setengah 10 malam. Windry aku minta pulang duluan karna dia ada jam malam, ditemani kinu. Tapi aku belum mau pulang dan asik nongkrong sama om yo, mbak ilenk, caklul, ndaru.(semuanya kebetulan aja ketemu di sana) padahal aku cuma janji bertemu dengan indah, widee, mbak olin, dan caklul saja. Om yo menawariku pulang bareng naik mobilnya dan kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dengan tempat windry. Tapi aku memilih pulang bareng caklul naek sepeda motor selain karna bosan naek mobil *hayah guuaaaya, aku juga ingin melihat jakarta pada malam hari lebih jelas. ndeso ya??

Ya sudahlah. Walau harus menunggu seminggu untuk menguraikannya cerita kecil, harus bersembunyi juga dan tidak banyak ngobrol dengan teman teman di YM. alasannya cukup simpel, aku tidak mau cerita di kepalaku hanyut dan tenggelam oleh obrolan obrolan baru. Dan aku bukanlah orang yang mudah menulis, walau hanya sekedar catatan perjalanan seperti ini.

YMpun aku invisible, menyibukkan diri mengutak atik blog, email, MP, mencuri beberapa foto-fotoku dari rumah maya teman teman yang lain (maklum artis, walau agak gila jadi banyak yang ambil fotoku). Sekarang sepertinya aku sudah kembali pulih. *semoga saja. atau malah bertambah tingkat kegilaannya. huwakakakakaka....

Ibarat segelas kopi yang tandas, tersisa ampas. Tunggulah kering memadat, agar bisa diukir dan dipahat. Dan jangan dituang air lagi, agar ampasnya tak lagi berterbangan dalam gelas.

Monday, February 18, 2008

[Puan] Malam Sejuk yang Memuakkan

Akupun melaju kencang dengan motor kesayanganku, menerabas beberapa lampu merah dan mengacuhkan dingin yang menerpa mukaku. Akh... sial telat lagi!!! jam 19.35 seharusnya sejak jam 19.00 tadi aku sampai di pekuburan jasadku, menenggelamkan Gita menjadi Gulita si lonte tua. Sial sial sial... dan aku semakin cepat menarik gas motorku.. tak lagi peduli limbung angin yang menghujam tanpa hujan.

Anjing hitam bermata merah itu mengintaiku *

Anjing hitam itu mengintaiku, mengawasiku, menertawaiku yang gelak sendiri, lelah sendiri, bingung sendiri, yang dia tau aku harus sampai dan fokus.. fokus...! Akhirnya aku tiba di tempat, mengintai pintu pintu yang tertutup. kemanakah aku harus menuju,

Tak adakah jalan untukku kembali.
*

dengan kecepatan degup yang entah berapa detak perdetik. wajah wajah buram para Puan yang sejak siang lelah dimakan rutinitas berproses hampir 2 bulan belakangan ini. Sedangkan kepalaku penuh dengan bermacam macam kerlip katakata prosa, puisi dan dentum musik genit . Perempuan gila berwajah tambun, roh puan, puan tua dan sang penguasa lakon panggung sutradara gemuk berwajah lembut yang akhir akhir ini menjadi begitu seram buatku (seperti anjing hitam bermata merah) mengisi ruang yang lebar sebesar gedung neraka tanpa api tanpa alat alat penyiksaan, hanya desahan yang panas ditelinga. Membakar ego yang tenggelam entah di dasar mana.

Kereta laju... kemana keretaku... bawa aku serta!! ough.. apakah tak cukup membawaku seorang diri*

bawa aku pindah menuju ruang yang kelam menenggelamkanku dalam segudang rutinitas, mengukuhkan aku kemana harus tinggal. Dan aku masih diam menunggu di bangku ruang tunggu dengan sebatang rokok yang tak boleh dinyalakan sampai nanti adegan per adegan tuntas. dan mereka semua terbatuk batuk pada asap yang kuhembuskan. Dengan gelisah lupa pada dialog dialog dan bentuk rupa rupa dimana aku berdiri duduk. Seperti sebuah penantian eksekusi mati, sungguh aku ingin kembali ke masa metamorfosis tak berujung, atau pada lazarus dan kekasihnya, atau entahlah proses terdahulu yang menenggelamkan Gita sedalam dalamnya. hingga lupa mana kepala, kaki, mata, tangan atau pusar ku sendiri.

lihatlah, aku melihat orang berbondong bondong hendak kemana mereka.. oh.. lihat mereka melepaskan pakaian pakaian mereka*

Ya.. ya.. lepaskan saja pakaian yang mengulitiku, kemudian menyampakkan aku menjadi semacam sampah yang berpindah dari TPS satu ke TPS lainnya menunggu sampai masuk mesin pembakaran atau membiarkanku menjadi belatung yang kelejotan karna bau busuk yang menguar dari tubuhku.

Angin tengah berhembus kencang dan tuhan telah membaui rencana rencana mereka padaku*

Memang angin berhembus kencang, meneriakkan serapah dan makian. Dasar anjing kupingmu becek hah..? jam berapa ini? Sudah malam tau... aku haus juga lapar, memangnya di perutmu hanya ada kecebongnya. Dasar Perempuan sinting. kapan mereka membakar gundukan pakaian mereka dengan bensin? aku juga mau.. aku ingin ikut biar saja aku telanjang. Berbaju atau tidak. tidaklah penting asal otakku masih bisa berpikir jernih. memilih satu yang menjadi pikiranku sekarang. Tidak pada lirik lirik lagu, hutan kata kata prosa dan puisi, atau juga lembar lembar tugas akhir yang tak juga tuntas. Akh... lebih baik kulepas saja kepala ini. biar menggelinding seperti bola tanpa gawang. Bakal melintasi lapangan yang luas.

Burung burung bawa aku serta*

Sampai dimana burung burung yang lintas tiap malam yang berangin, tadi mereka berteduh di bawah ketiakku. Menggelitikku untuk terus tertawa pada bahak yang tak juga berkesudahan. Mungkin mereka sedang menetek pada puting susu yang membawa kebodohan dan kekonyolan. Atau sedang menunduk pada selangkangan yang menyimpan golok tajam berduri. Lalu mabuk menari bersama sama perempuan sinting, puan tua dan roh puan (mungkin juga anjing hitam bermata merah itu juga ikut serta dibelakang panggung) sambil sesekali membunyikan musik musik miris dan menakutkan.

Lonceng berdentang berkali kali, jiwaku melesat keatas bukit*

Aku mengumpat setiap kali lonceng berdetak, sial sial sial.. tiba waktu penguburanku -Gita- dan aku masih diam disini menunggu setan yang tak juga muncul. menggantikan tempat duduk yang hampir basah karena keringat dingin berlarian. Menunggu algojo algojo diperbantukan, memeras keringat dan otak yang lelah menghapal satu saja dialog panjang tentang

Ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia, yang tua, muda, bahkan yang masih anak anak*


Dan sekarang aku harus kembali ke bangku penantian memunguti barang barang yang tercecer. malam sejuk yang memuakkan. Kepalaku dijatuhi gada. Berat.. Berat... Berat... dan tak ada waktu istirah sedangkan mulutku masih saja misuh misuh, mengumpat orang orang di dekatku. menyalahkan yang mungkin mereka tak ikut bersalah.

Proses Puan Yang Ketiga, kembalilah menjadi Gulita lalu menerima telepon dari om jonathan. dan memaki makinya dengan selangkanganmu yang becek. Sungguh..

Peradaban peradaban becek*


(* )adalah kilatan kilatan dialog Naskah PUAN karya Luky H Wibowo

Wednesday, January 30, 2008

Di Sebuah Terminal

Suasana terminal pagi ini sudah mulai ramai, bus antar kota sudah berjajar dengan desing klakson yang tak henti. Calon penumpang dan para calopun sudah sibuk dengan aktifitasnya. Sedangkan aku seperti tidak terpengaruh riuh suasana, membisu dari sebuah warung makan yang berada di salah satu sudut. Aku sudah duduk di sana hampir dua jam lamanya. Kopi yang ada di hadapanku ini adalah gelas kedua.


“Bu, kopi satu..!” Suara seorang laki-laki dengan logat madura yang kental dan agak kasar melewati gendang telingaku dari belakang. Laki-laki itu duduk tepat di sebelah kiriku, dia langsung mengambil satu bungkus nasi yang ada di hadapannya. Bau apek menguar, keringat berlarian di sekitar lehernya yang legam. Handuk kecil yang terselip di saku celana, ia kibaskan. Untung saja aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Hampir seminggu aku sambang ke terminal ini.


Dua lembar surat aku keluarkan dari saku bajuku. Surat itu tampak lusuh, warnanyapun kusam mungkin karna terlalu sering dibaca atau sekedar dipegang. Mataku lekat memandang surat itu dalam keadaan tetap terlipat, tapi entah mengapa setiap kali aku memandangnya kepalaku menjadi sangat penuh. Terngiang permintaan ibu di kampung yang mendesakku untuk segera pulang. Hanya satu alasan yang membuat ibu memintaku seperti itu. Ibu tak pernah mendesakku seperti ini, beliau cukup percaya padaku, pada apa yang selalu aku putuskan. Jika bukan karna Asri, Ibu tidak akan terus menerus menekanku seperti ini.


Le.. Kapan kowe mulih?Mesakke Asri!”


Di sela-sela surat ibu yang mengabarkan bahwa keadan keluarga di sana baik-baik saja, pertanyaan kecil itu terselip di akhir surat. Dengan tanda seru yang besar di akhir kalimat.


Asri adalah anak gadis seorang petinggi di kampungku, waktu itu umurnya masih 17 tahun. Tapi di kampungku usia 17 sudah waktunya untuh dinikahkan dan memiliki keluarga. Dan beruntunglah aku karena dari sekian banyak pemuda akulah yang dipilih. Tiga tahun yang lalu, aku termasuk pemuda desa yang cukup cakap dan pandai. Selepas smu aku diperbantukan di kantor kelurahan, disanalah aku bertemu dengan pak lurah yang rupanya sangat terkesan dengan cara kerja dan sopan santunku. Beliaupun menjodohkan aku dengan salah seorang anak gadisnya. Waktu itu umurku sudah 23 tahun dan aku tidak menolak dijodohkan dengan Asri karna dia termasuk kembang desa. Parasnya yang ayu, tingkah lakunya lemah lembut, sangat perempuan sekali. Tapi pekerjaan di kantor kelurahan belum cukup membuatku puas. Bisik -bisik kehidupan di kota mampir di telingaku mengusik batin untuk bermimpi. Maka dengan kebulatan tekad dan segepok mimpi, aku pun berangkat menuju kota untuk melihat ada apa saja di luar desaku. Akupun harus tega meninggalkan Asri sementara, sebelum pergi telah kuselipkan janji bahwa aku akan cepat kembali untuk menjemputnya.


********


“Walah No..! kamu tau perempuan yang biasanya ngamen pake' botol aqua gak? Areke ayu banget, gak cocok dadi pengamen. Anak mana ya?” ibu yang menjual kopi itu bertanya dengan laki laki yang duduknya di bangku sebelahku.


Aku mencuri dengar perbincangan mereka. Tapi aku tidak berani ikut ambil bagian. Rupanya yang mereka maksud adalah pengamen perempuan yang beberapa hari lalu aku temui di sini. Tubuh langsing, wajah manis, dan kulitnya kunging langsat, hanya saja kesempurnaan sebagai perempuan itu tertutup debu dan pakaian camping yang dia kenakan. Beberapa orang di warung itu ikut menimpali. Ada yang bilang perempuan itu mantan perek dan sekarang insyaf lalu ganti profesi jadi pengamen. Ada juga yang bilang perempuan itu perempuan stress sebabnya ditinggal calon suami. Akh.. entahlah, aku sendiri tidak seberapa perduli. Aku justru punya kesimpulan sendiri, perempuan itu stress gara gara ditinggal suami lantas jadi perek dan sekarang pindah profesi jadi pengamen. Kalau itu cerita yang sebenarnya, aku jadi takut dan membayangkan nasib Asri. Tubuhku gemetar jika membayangkan akibat aku meninggalkan Asri. Sudah hampir tiga tahun aku tidak juga segera menjemputnya. Kalaupun aku memutuskan pulang, apa yang bakal aku suguhkan pada keluarganya. Andai saja aku seorang yang berhasil, aku pasti bisa menyelamatkan perempuan pengamen itu dari jalanan dan pulang untuk menikahi Asri lalu memboyongnya ke kota ini.


Hidup di kota ini sungguh membuat aku sesak, tapi tidak ada pilihan. Keputusan untuk merogoh mimpi di sini sudah aku pilih. Sekarang jika aku memutuskan untuk kembali ke kampung pastilah olokan dan cemoohan jatuh padaku. Atau aku boyong saja Asri kesini tapi mau aku beri kehidupan macam apa? pikiran konyol lagi-lagi berusaha menjinakkanku pada ketidak berdayaan.


Mas, kapan pulang? Bapak sudah tanya, kapan mas mau nikah dan jemput aku. Pulang sajalah Mas, bantu-bantu bapak di sini. Bapakku malu karna anak gadisnya masih belum nikah. Aku ndak mau dicarikan jodoh yang lain.”


Isi surat Asri semakin membuat pikiranku berat, aku kasihan dengannya. Dia sudah begitu sabar menungguku. Antara kepolosan dan kegigihan sifat yang kontras, itulah yang membuatku enggan melepaskannya. Tapi bagai mana aku bisa menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri tidak tahu kapan aku bisa pulang. Kopi gelas kedua sudah sampai di dasar leteknya, rokok kretek yang aku beli eceranpun tersisa tinggal 3 batang. Aku rogoh kantong celana dan kukeluarkan lembaran sepuluh ribuan kucel lantas kubayarkan pada ibu penjaga warung. Aku meninggalkan warung itu dan berjalan menyusuri lorong terminal.


“Mojokerto... Mojokerto pak! AC tarif biasa pak” seorang calo langsung menyambutku dengan suaranya yang kasar. Aku hanya menggeleng dan terus berjalan meninggalkan laki-laki itu. Belum sampai tiga langkah, calo lain dengan semangat yang sama menawarkan bus antar kota dengan tujuan yang berbeda. Aku menggeleng lagi dan tersenyum kecil. Lantas aku bergegas mencari tempat duduk di ruang tunggu calon penumpang. Aku memilih duduk di deretan paling belakang, dekat seorang perempuan setengah baya yang sedang menggendong bayi.


“Oalah.. gak usah ditawari bos.. mas iku gak niat numpak bis” sungut calo yang tadi kutolak jasanya. Aku diam saja dan pura-pura tidak mendengar gerutuannya. Calo lain yang hendak menghampiriku berbalik arah dan mencari calon penumpang yang lain. Tas ransel kecil yang berisi harta paling berharga ku bekap. Ada beberapa lembar baju, surat-surat dari kampung dan ijazah. Pikiranku masih saja dihantui kebingungan, ramai terminal rasanya sangat sepi buatku. Gendang telingaku tidak dapat menangkap bunyi klakson bus yang bergerak perlahan. Sesekali saja mataku mengamati dari pintu masuk terminal. Wajah lusuh para penumpang berjejal di pintu peron. Suara kardus-kardus besar yang jatuh, teriakan para calo dan tangis bocah-bocah kecil, seharusnya kesibukan siang itu cukup ramai. Tapi entah ada apa dengan liang telingaku, tidak ada suara apapun yang mampu masuk. Rasanya sepi dan hening, justru riuh genderang dalam batin terasa sangat ramai. Dari mimik muka calon penumpang aku menangkap kerinduan akan pulang. Di terminal antar kota ini orang-orang bergegas, bergerak cepat seperti kilat kilat serangga malam yang biasa mengerumuni lampu teras. Sedangkan aku, menjadi seperti serangga sekarat di tengah kerumunan, hanya duduk dan diam.


*******

Dari jarak yang tidak jauh dari tempat dudukku, segerombol anak muda datang. Empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka memakai tas ransel besar di punggung dan dandanan ala pendaki. Asyik sekali mereka tertawa dan bercanda.


“Malang.. Malang.. Malang mas??” seorang calo langsung menghampiri mereka dan dengan tanggap menawarkan jasanya. Tapi mereka tak menggubris malah terus bercanda dengan temannya yang lain. Sungguh tidak sopan perlakuan mereka terhadap orang yang lebih tua. Mungkin itu resiko seorang calo hingga dia diperlakukan seenaknya. Kalau di kampung, pemuda semacam itu dianggap perusuh, tidak tahu adat dan hal jelek lainnya. Untunglah aku tidak pernah dapat cap seperti itu. Aku termasuk pemuda yang dianggap sopan oleh warga. Setiap berpapasan dengan orang yang lebih tua aku membungkukkan badan dan tersenyum. Hanya sekedar penghormatan saja.


Tapi di kota besar ini kesopanan terkadang menjadi boomerang. Beberapa kali pindah kerja, dipecat hanya gara-gara terlalu sopan dan dianggap penjilat. Aku hanya bekerja sebagai buruh pabrik, dengan lingkungan pergaulan kalangan bawah. Pemikiran mereka hanya sekedar bisa makan ya kudu punya uang banyak. Gimana caranya? ya mendekati atasan. Hampir saja aku terjebak pada pemikiran sesempit itu. Mungkin karna hal itu banyak teman-teman sekerja yang tidak bisa menerima kelakuanku. Kalaupun ada atasan suka dengan sikapku itupun hanya alasan saja, pasti mereka menjadikan aku sebagai tumbal. Walau tidak semua perlakuan atasan seperti itu. Akupun belajar membaca dan memahami perlakuan orang kota. Masa beradaptasi, tiga tahun kurasa cukup mengubah pola pikir kampung menjadi lebih kota. Ya.. persaingan sangat terasa di sini, kalau tidak mampu ikut arus aku pasti mudah tersingkir dan menyerah. Untunglah Ibu dan bapak kostku sangat menyukai kesopananku mereka pun menganggap aku sebagai anak mereka sendiri. Pada mereka aku sering bercerita dan membicarakan apa saja sambil terus belajar banyak hal.


Aku lirik jam yang melingkar di pergelangan perempuan setengah baya yang duduk di sampingku. Menunjukkan jam setengah empat lebih 3 menit matahari sudah mulai turun, tapi keramaian di terminal belum juga surut justru semakin ramai. Hampir lima jam aku berputar-putar di dalam terminal. Bus-bus antar kota entah sudah berapa armada yang berangkat. Mataku tiba-tiba memberat, sepertinya akan ada yang tumpah. Aku bergegas menuju ponten umum di sudut timur terminal. Mbak penjaga ponten langsung tersenyum melihatku. Sepertinya dia mulai hapal wajahku karena seminggu belakangan aku cukup sering melamun di terminal ini.


Dari balik pintu toilet aku mendengar samar-samar lagu jawa campur sarian “Ndang balio.. Sri.. Ndang balio.. Sri..” akh lagu itupun sepertinya menyuruhku untuk pulang. Kenapa justru peringatan untuk pulang yang terus masuk ke dalam telingaku. Aku pura-pura tak mendengar lagu itu. Aku usapkan air dari kran langsung ke wajahku, lalu aku segera keluar dari ruang itu.


“Ayo tho le.. cepetan.. bapakmu iki wes ngenteni...! keburu sore!” aku berpapasan dengan seorang ibu dan bocah yang mungkin berusia 10 tahun. Si anak cuma bisa meringis menahan sakit di perutnya.


“Sabar bu.. kasian anaknya dipaksa-paksa” ucapku dalam hati. Aku seperti melihat keserupaan nasib dengan bocah laki laki itu. Ditekan dan tertekan hanya saja dengan permasalahan yang berbeda.


"Kasian ya mas anaknya!” bisik mbak penjaga ponten padaku. Aku mengiyakan dan kemudian pergi berlalu. Setelah meninggalkan recehan 500 rupiah dan senyuman kecil padanya.


Aku melangkah gontai, seharian ini aku cukup diingatkan pada kampung dan pulang. Surat-surat dari Asri dan Ibu di kampung aku genggam makin erat. Aku berdiri bersandar pada tiang di antara ruang tunggu dan pintu keluar. Entah mana yang aku pilih. Sebuah tembok bertuliskan “DILARANG KENCING DISINI, KECUALI ANJING!!” benarkah aku tak cukup layak mencari mimpi disini. Apakah aku sudah menyerupai Anjing? walau sudah dihantam kekerasan kota, masih saja tidak juga pergi. Apa lebih baik aku pulang dan menghentikan mimpi. Nafas panjang kulepaskan, penat batinpun mengoyak, kegundahan makin memuncak. Lalu lalang orang di terminal itu memutar mutar kepalaku. Aku pejamkan mata dan melihat kilatan kilatan kehidupanku di masa lalu dan masa sekarang. Gambar wajah wajah orang orang disekitarku, kegigihan Asri pengharapan ibu. Dan aku yang berdiri di tengah jembatan rapuh. Aku harus kembali atau terus berjalan menyebrang.


Tiba-tiba saja suara bising dalam terminal masuk ke dalam telingaku. Suara riuh orang orang yang berteriak teriak, klakson bus dan derunya menjadi sangat keras menghantam gendang telinga. Tangisan bocah dan semua harapan orang-orang di dalam terminal tiba-tiba saja memacuku. Aku beranjak dari terminal menuju pintu keluar, melupakan pemandangan bus antar kota. Mengacuhkan wajah-wajah rindu para calon penumpang, menghenyakkan pikiran-pikiran konyol dari labirin syaraf otakku.


Asri, tunggu masmu setahun lagi! janji setelah setahun aku akan pulang. Kalau sampai aku masih gagal. Biarlah aku pulang sebagai orang kalah.”


Setiba aku di tempat kost akan segera kubalas surat asri. Dan kakiku pun semakin mantap keluar dari terminal, menata kembali mimpi yang hampir saja aku buang. Waktu tidak akan berhenti berlari, tidak akan pula berjalan mundur. Demikian juga aku.

Kamar, Jan 08


utk Kelas Prosa "lokalitas"