Sunday, December 16, 2007

Dua pertunjukan Teater beda Strata

Dalam dua hari berturut turut aku menonton dua kali pertunjukkan yang berbeda. Surabaya lagi rame pertunjukkan nih! Hari pertama jum'at malam aku menonton Monolog Butet Kertaredjasa "Sarimin" dan hari sabtunya aku nonton Ditunggu dogotnya Sapardi oleh komunitas teater hitam putih padang panjang. Antara 75 ribu VS 3 ribu, jelas yang butet aku perlu berpikir panjang masalah tiket huwehehehe.. perlu ngutang kanan kiri agar bisa nonton.

Jum'at malam aku datang Ke Gedung Cak Durasim tempat acara pentas Monolog Butet Kertaredjasa "Sarimin". Lakon kali ini bercerita tentang tukang topeng monyet keliling yang familiar dengan nama sarimin. Pada awal petunjukkan dibuka oleh musik yang dibawakan Djaduk Ferianto beserta kawan kawannya. Wah.. musiknya selalu segar dan menyenangkan. Lalu si tokoh pembawa cerita masuk menyapa kawan kawan pemusik dan penonton. Seperti pertunjukkan butet sebelum sebelumnya selalu membawa kritikan pedas yang membuat kita tertawa mengiyakan. Lalu ia berubah menjadi si tokoh Sarimin itu suasana lebih seru lagi. Menunggui si pak polisi yang "selalu sibuk" padahal ia hanya bermaksud melaporkan KTP yang ia temukan. Si Lugu Sairimin dengan sabar menunggu polisi itu bersibuk sibuk setiap kali ia Si sarimin hendak berbicara, selalu disuruh menunggu dan menunggu. Tokoh Sarimin ini jujur, tapi niat baiknya itu justru menjadi malapetaka buatnya. Ia malah dituduh oleh polisi lain yang baru tiba sebagai pencuri dompet, parahnya lagi ternyata KTP itu milik hakim agung. Dan dia dipaksa untuk membenarkan tuduhan yang sudah dilemparkan padanya. Gaya butet yang mampu membawakan beberapa tokoh dalam satu pementasan dan celetukan kritiknya mampu mengundang gelak. Sesuai dengan realita ya begitulah tugas polisi "melayani" masyarakat. (benarkah?? melayani apa?? emang itu polisi ato lonte ya? hahahaha.. untuk urusan kecil begitu harus menunggu berbulan bulan). Pada akhirnya si Sarimin harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya. "Jika benar maka kamu salah" yang tertindas tidak boleh benar. hehehe.. tepatnya begitu mungkin ya?? pemutar balikkan fakta antara benar dan salah. Tapi ketika si tokoh berubah menjadi polisi entah kenapa kebosanan tiba tiba singgah. Kritikan yang terlontar terasa amat membosankan, penyampaian dan bentuknya kasar, dan itu berlangsung sampai di akhir pertunjukkan. Aku kehilangan moment ending, malah bertanya dengan teman disebelahku "lho.. kok udah habis?" pertunjukkan itu berdurasi satu setengah jam. Aku masih menunggu hilang kebosanan tiba tiba sudah selesai begitu saja. akh...! kok gak puas yaa?? Untung saja musik dari djaduk mampu memberi kepuasan. Lirik yang menggelitik dan ilustrasi musik yang segar. Didukung alat musik dan sound lengkap wah... ini sih gak ada ruginya...! hahahaha....

Lalu keesokan harinya aku datang ke gedung eks museum mpu tantular. gedung tua yah.. mungkin agak seram (tapi aku gak merasakan getaran2 yang aneh2 huwhehehehe opo see..!) Selama hidup di surabaya hanya sekali mampir kemuseum itu. dan ini berarti kedua kalinya dtapi sudah tak lagi menjadi museum. Aku datang jam setengah delapan penonton yang berkeliaran juga belum seberapa banyak. Asyik ngobrol dengan teman yang laen tak terasa waktu sudah terlewat lama, sampai jam setengah sembilan pertunjukkan belum dimulai. ugh.. sampai capek nunggunya. Akhirnya setelah satu jam kacang kacang lombok abang mlungker.. di depan gedung, penonton pun disilahkan untuk masuk. Menonton pertunjukkan Ditunggu Dogot pertunjukkan yang bertema absurd (kata sutradaranya sih tidak merubah teks asli cerpen sapardi). Masuk ruang pertunjukkan aku melihat setting pangung yang minimalis. Sebuah sepeda diatasnya dan sebuah screen lebar dibelakangnya. Lama sekali aku menunggu padahal aku sudah duduk paling depan (seperti biasa). Musik pada awal pembukaan hem.. tidak begitu menyatu , screen nyala sebuah visual lorong yang aku liat sebagai waktu dan sepeda itu dikayuh oleh tokoh laki laki dan perempuannya ada diboncengan sepeda itu. Mereka sedang menyusuri lorong itu. Asyik sekali aku mengamati pementasan itu. Memang tidak ditemukan ujung pangkal pada pementasan ini. tak terjawab apakah dogot itu? Apa penanda beda antara Ditunggu dan menunggu, endingnyapun kembali ke bentuk awal. Dari awal sampai akhir pertunjukkan aku menikmatinya, hanya saja ilustrasi musiknya tidak membuatku nyaman. Dan lagi aku harus tengadah karna jarak antara panggung dan penonton terlalu dekat. padahal tinggi level yang digunakan sekitar setengah meter. mungkin karna gedungnya yang terlalu sempit ya?? yah.. serba minimalis. Tapi tidak mengurangi makna dari naskah itu sendiri.

Tapi gak pernah rugi kluarin duit buat nonton teater, biarpun harus ngutang. hehehehe... dua pertunjuukkan beda strata, beda kelas, beda tempat, yang satu memang gedung yang di setting untuk pertunjukkan, yang satunya gedung ala kadarnya. yah.. jelas bedalah..! ya sudahlah ini hanya sekedar berbagi cerita.

Monday, December 10, 2007

Puisi persembahan

Kristal cekam

: Gita

Di tandas sajakmu kucari lengang yang pernah kau bahasakan dengan tawa.
Dan beberapa senja. Khayalan ruang kosong melelap, atau entah menatap,
jejak yang menyusup riuh menerjemahkan kelakar dan waktu sakral. Tepat kemudian
aku merasa kantuk di malam mabuk. Mungkin sebab aku merasa selangkanganmu menusuk
kata busuk kata kutuk kata restu kata lagu kata bisu kata aku. Kata labuh.
engkau cipta getar. Sempat bergetar. Semerbak mekar.

"Aih, mungkin kau berlebih tanggapi puisi" Hatiku mencucu lelakianku

Di prosesi puisimu kecari jejak. Pernah mungkin engkau bersajak gerak mengusung jendela
jendela dan pintu pintu emas bertuliskan cerita perempuan. Ternyata kau ajak lihat keranda.
Isinya patahan dan beberapa penggalan sajak dedaunan.

"Aih, puisimu selalu mencekam"

By Danu http://danoedan.blogs.friendster.com/

Wednesday, December 05, 2007

Paket Bulan November Sudah Datang

Tubuh sudah sangat lelah ketika tadi malam aku tiba dirumah jam 11 malam. Sepulang bekerja, dan baru selesai latian di kampus, rasa kantuk yang mendera tak mampu lagi aku tahan. Selama perjalanan pulang yang aku bayangkan hanya kasur berseprei unguku dan boneka snoopy yang tak pernah menolak kalau dilempar setiap aku kesal.

Jegreegg... aku masuk kedalam rumah dan tiba tiba saja rasa kantukku itu hilang. Di atas meja dekat tangga, aku melihat bingkisan ungu dibuntel dengan plastik. Dibingkisan itu tertera namaku tapi anehnya tidak ada nama pengirim jangan jangan ini paket rahasia dari penggemar setia. hehehehhe Pikiranku melayang layang. Tapi itu hanya pikiran konyol, sebenarnya aku sudah tahu siapa pengirimnya. Seorang teman yang bernama ALDORA NOVRIANA namanya bagus ya? sahabat sekaligus partner yang berada jauh di kota berbudaya busway. Wuha... betapa girang dan senang mendapatkan bingkisan apalagi datangnya dari jauh. Dengan kondisi agak koyak, tersembul sebuah benda yang aduhai.... lucunya, mirip pengirim paket itu. Sebenarnya aku merasa gak enak dengannya karena sampai sekarang bingkisan untuknya yang sudah kupersiapkan lama tak juga sempat aku kirimkan. Padahal tanggal ulang tahunnya sebelum tanggal ulang tahunku. ya.. memang kebetulan kalau kita berulang tahun di bulan yang sama dan angka yang sangat ajaib dia tanggal 2 sedangkan aku 22.

Langsung saja kutimang dan kubopong ke atas untuk bertemu dan berkenalan dengan penghuni lama di kamarku. Kubiarkan mereka saling berbincang bincang dan mungkin juga membicarakan tentang aku. Sesekali aku mendengar suara tawa cekikikan mereka. Malam itu aku tidak bisa segera tidur karna harus menjamu penduduk baru dalam kamarku dan menyiapkan tempat yang nyaman untuk mereka. Setelah selesai aku pun mengabari temanku itu untuk menyampaikan bahwa paket yang dia kirim sudah sampai dengan selamat. Kamarku sangat riuh pada gelak tawa sebuah bantal dengan kepala anjing dan boneka boneka snoopy yang sedang ngobrol. Mungkin mereka membicarakan dari mana saja mereka berasal atau apasajalah, aku sendiri tidak begitu yakin. Aku hanya bisa menguping dengar percakapan mereka. Karena aku tidak ingin merusak kegembiraan mereka. Snoppy berbaju coklat ala china datang dari jauh entah berapa lama perjalanan aku sendiri belum sempat bercakap cakap. karna kantuk yang tadi sempat hilang datang lagi. kali ini aku mendapat teman tidur baru bantal coklat dengan kepala anjing menemaniku untuk mencari nyenyak. Mungkin besok saja setelah lelah sudah dikuliti dari tubuhnya dan tubuhku.

ZZZZZzzzzzzZZZzzzzzz.... sepertinya malam itu aku tidur sangat lelap. Entah karena bantal lucu yang kubekap itu atau balas dendam karena kemarin malamnya memang hanya sempat tidur 3 setengah jam saja. belum sempat aku menyimpan data mimpi semalam. Aku mengurai mimpi sepertinya ceritanya menyenangkan.

"Gitttaaaaaaaa...... Gittaaaaaa............ bangun........... katanya mau ngukur bla...bla...bla...!!!!" Suara keras dan menggelegar membangunkanku membuatku lupa sampai dimana cerita mimpiku. Ibuku membangunkanku karna ada penjahit datang kerumah dan aku harus segera mandi. Snoopy Snoopy disampingku sepertinya kelelahan setelah begadang semlaman. Kubiarkan saja mereka tertidur lelap. Untung saja aku tidak jadi membuatkan kopi untuk teman mereka ngobrol. aku beranjak dari tempat tidur dengan sangat perlahan. bantal yang semalaman sudah kubekap, kuletakkan. "Sangat menyesal malam pertama kita cuman sebentar" kubisikkan kata kata itu agar dia tidak tersinggung.

Ini gara gara aku harus ukur badan untuk membuat kebaya. Tapi aku masih belum ingin mandi jadi kubiarkan saja penjahit itu menghirup aroma tubuhku, Salah sendiri datang pagi sekali. Aku hanya menyikat gigi dan menunggu untuk diukur.

Ya ampun..... hari inipun aku tidak bisa puas tidur. Padahal banyak teman baru dikamar kesayanganku. Maafkan aku ya teman teman.

Untuk sahabat yang begitu jauh "November Selalu Milik Kita"

Saturday, November 24, 2007

Hari Spesial Part 2 "Antologi Puisi Fordisastra"



Hem.. kebetulan yang menyenangkan. Fordisastra.com tempat bernaungnya para penyair juga sedang merayakan hari jadinya yang ke-2. Pada hari itu diluncurkan antologi puisi dalam bentuk e-book judulnya "KEMAYAAN DAN KENYATAAN"

Berikut nama-nama penyair yang termuat didalamnya,

Abdul Mukhid, Angggoro Saronto, Bumi Kelana, Dedy Tri Riyadi, Dian Hartati, Dino Umahuk, Doel CP. Alisah, Epri Tsaqib, Gita Pratama, Haris Firdaus, Hasan Aspahani, Hesti Melinda, Inez Dikara, Jibsailz, Kinu Triatmodjo, Kunthi Hastorini, Lubis Gafura, Nanang Suryadi, Ook Nugroho, Pakcik Ahmad, Pradnya Paramita, Rio Gunawan, Setiyo Bardono, TS. Pinang, Pena bulu angsa (Maya), Yohanes Sugianto, dan lain-lain.

Menurut rencana, antologi ini bakal dibuat versi cetak sesegera mungkin. Semoga dengan lahirnya satu buku lagi tentang sastra, maka akan menambah warna dan keragaman tentang dunia perpuisian.

Selamat Ulang Tahun Fordisastra

Thursday, November 22, 2007

Yang Spesial Di hari Ini

Mungkin agak narsies, lalu aku mengumpulkan tulisan tulisan yang dialamatkan padaku. Gak semua sih! Tapi sepertinya ini wajar saja dan gak ada salahnya. Hanya setahun sekali aja berhaha hihihi.. Ketika bangun hari ini Ibuku sudah menyediakan kue yang berlapis jelly blueberry.. dan sekaleng twister berwarna ungu. yah... warna kesukaanku. Segala do'a diucapkan dari orang orang yang terdekat sahabat, keluarga, teman, sayangnya musuh aku gak punya. hehehehehe....... mulai dari anak2 @rtNine, arek crystal, anak2 Kemudian.com, sobat Smu, juga temen2 yang penyair. huwehehehe.. enaknya ya punya temen banyak.

Ada beberapa puisi atau apalah namanya di tulis oleh mereka, aku menjadi tersanjung. Tahun ini tidak banyak yang aku minta, tapi malah banyak yang aku dapat. Terima Kasih.

From :Veveandini
"Dalam geliat dingin hangatmu menyeruak diderai tawa yang tak usai, seperti malam yang mengingkari bintang untuk lelap. (November ini masih milik kita kan ya Ta ?)"

*******


From :My Bro

Sang mentari setia menghangatkan bumi agar hari ini berseri

Mengilhami daun yang berguguran pelan penuh makna apa adanya

Setangkai teratai jiwa berdoa agar kesabaran ceria mengarungi fana

Meliuk-liuk melewati duri perjalanan diri tanpa luka

Sebahagia ungu yang merekah menyatu dalam warna

Mengiringi panah hujan perjalanan usia

Semoga hidup tenang seperti malam tanpa suara binatang

Pun hangat embun bahagia senantiasa membuncah pada pelupuk wajah

Bahagia ombak raga dan layar jiwa

Mengarungi bahtera hingga selamat sampai Dermaga sang Pencipta

Semoga dari kini hingga nanti.

********


From : Cibo

Ranting dan Daun daun telah terhempas angin
menjadi pupuk subur bagi buah elpidos
yang waktu lalu kau tanamkan untukku

elpidos itu menjadi cendana
semerbaknya harum
menemani langkah langkah hari di kotamu

**********

From : Ayik Hasby

SELAMAT ULANG TAHUN

Segenap jiwa lantunkan kemerduan suara hati
Lembut mengalun sambut hari bahagiamu
Segala panjat doa dan harap terukir untukmu
Semoga tercapai segala cita dan cintamu
Hari ini kuingin ada sebuah kebahagiaan
Terpancar dari bening sorot matamu
Saat kuucapkan tulus dari palung hati yang terdalam

Selamat Ulang Tahun
Kepakkan sepasang sayapmu
Kokohkan jejak langkahmu
Gapai segala angan yang menjelma dihati
Panjat suci doaku kan selalu menyertaimu
Andai saja kelak ku tak berarti lagi
Izinkan aku menghiasi mimpi indahmu
Menjadi bayang-bayang harimu
Yang ‘kan selalu membilas air matamu
Selamat Ulang Tahun


Tuh ada beberapa.. yang laen mungkin menyusul. huwaha...ha.. ha...Ngarep.

ugh.. dah tua masih aja gini gini aja..!

Monday, October 01, 2007

RIAK TELAGA DI BENING MATA

: PEREMPUAN

Dengan langkahnya yang mantab setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.


“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.


Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.


Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang”. Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.


Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.


Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.


*********

Sore itu begitu manja tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam tapi cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.


Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.


Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.

**********

Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Di suatu perjalanan kecil untuk melupakan penat kepala, aku menemukannya diantara sekian banyak penumpang yang kumal di dalam bus antar kota. Waktu itu hujan tipis sedang turun dan aku melihat dia menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening air hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan. Sejenak aku lupa pada isi kepalaku yang hampir penuh. Dan aku hanya ingin berkenalan sehingga aku dapat menikmati mata yang sebening telaga itu.


Letak dudukku yang berseberangan dengan perempuan itu membuatku tak dapat langsung mengajaknya berbicara. Lalu aku memutuskan untuk mengamati secara diam-diam, agar aku dapat menikmati matanya. Penumpang bus sedikit demi sedikit berkurang, tapi ternyata perempuan itu tak juga segera turun. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku.


Perempuan itu tak segera mencari angkutan lain. Ia malah memilih duduk di bangku ruang tunggu. Entah apa yang sedang ia tunggu. Tapi wajahnya sudah berubah menjadi datar, tidak seperti di dalam bus. Mungkin karrna ia tak lagi bersandar pada kaca jendela yang berhias air hujan. Dan aku merasakan kesepian di tatapannya itu. Ku beranikan diri untuk duduk disampingnya, tapi aku tak segera berani mengajaknya berbicara.


“Permisi, mas tadi yang di dalam bus ya? Saya Adis.” tanyanya dengan senyum kecil sekaligus ia mengulurkan jemarinya yang lentik. Dalam hati aku merasa terkejut dengan sikapnya yang berani itu. Sedikit keraguan terlintas di benakku mungkinkah ini perempuan baik-baik. Tapi kusambut juga uluran tangannya hanya untuk sekedar menghormati teman baru. Aku mengamati matanya yang sedari tadi mengusikku. Matanya memang bening seperti telaga yang tenang, rupanya jika ia tersenyum matanya menjadi semakin terang.


“Lukman, ehm Adis mau ke mana?” aku memulai basa basiku. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil dengannya.


Entah bagaimana asal mulanya akhirnya aku mengantarkan sampai ketempat tujuannya, mungkin karena waktu itu sudah malam dan aku tidak tega membiarkan ia pulang sendiri. Perempuan itu tinggal di sebuah desa di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan ia sibuk bercerita bahwa ia sedang berlibur kerumah kakeknya dan ingin membuang jenuh kehidupan di kota. Adis seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta yang juga bekerja paruh waktu di sebuah swalayan, begitu ia mengenalkan dirinya padaku. Perempuan itu selalu riang dan seperti tak ada beban. Bagaimana bisa perempuan berwajah syahdu itu bergulat dengan tawa kecilnya.


Giliranku bercerita, aku hanya bisa menceritakan sedikit bagianku bahwa aku bekerja di sebuah travel agent. Bukan karena ingin berahasia tapi memang aku sedang tak ingin mengingat “aku” yang sibuk. Dan diapun tak banyak bertanya lagi, mungkin itu bentuk ketidakpeduliannya padaku. Setelah mengantarnya aku yang memang belum tahu mau kemana mencari tempat tinggal di dekat sana. Di sebuah vila kecil letaknya didaerah yang lebih tinggi, suasana sejuk karena dikelilingi perkebunan apel. Dan satu alasan lagi kenapa aku memlih tempat itu karena letaknya yang tak jauh dari tempat tinggal Adis.


Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap.

***********

Baru dua hari bersama tapi aku telah merasakan ada yang berbeda. Lalu aku menggulirkan kisahku yang sebenarnya. Adis hanya diam, setelah selesai aku bercerita baru ia tersenyum dan membiarkan aku yang larut pada masalahku sendiri. Pikiranku yang kalut menjadi begitu tenang saat bersamanya. Walaupun aku bercerita tentang kisah yang rumit, tapi aku tak lagi merasa ingin meledak. Ataukah ini karena hawa desa yang sejuk ikut meredam luka ataukah padang rumput yang riuh lenguhan sapi yang sibuk memamah rumput mendamaikan suasana hati? akh entahlah...!


Tanpa terasa aku menjadi ingin memiliki mata sebening telaga dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dan aku akan menenggelamkan tubuhnya dalam pelukanku hanya untuk menenangkan diriku sendiri. Mungkin ini egois tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.


Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya, senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Tapi aku merasa bahwa Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah pahitku yang masih belum terselesaikan. Ia tak pernah tenggelam pada masalah yang aku umbar. Dan perempuan itu berkata bahwa ia hanya ingin menikmati waktu yang ada.


Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati”. Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.


Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.


Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati”

***********

Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.


“Dis… tunanganku telah kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. "Pulang" akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.


Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu aku mengangguk atau tidak.


Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.


Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu matanya yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.

Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07

Tuesday, July 17, 2007

Pulau Sempu Dalam Ingatan 2


Tak habis habisnya aku memandang
tebingmu kokoh diterpa ombak besar


Kau tampak angkuh dengan dada yang busung

Walau sesekali lumba lumba menggelitikmu, tapi kau acuh

Tetap saja menggerus waktu siang dan malam







Cincin karang yang membatasi Segara Anak dengan laut lepas. diambil di perjalanan menuju tempat Camp.

Laut sedang menyusu di rimbun terumbu dan Menyurut di balik bukit karang Membentuk Segara ditepian Anak Pantai







Bukit Karang yang menjulang diantara hutan belantara dan Pantai mini Segara Anak.








Dilihat dari kapal yang membawa kami ke Daratan Pulau Sempu.

aku janji
bakal kembali
perjalanan ini,
belum selesai
aku menelanjangimu








hem.. ini pemandangan di belakang bukit karang dekat dengan tempat camp.
Angin lautnya mampu membuaimu untuk tak segera beranjak dari tempat itu.

Monday, July 16, 2007

Pulau Sempu Dalam Ingatan 1


Perjalanan dari Pintu Masuk Pulau Sempu menuju tempat camp Segara Anak

Suasana yang selalu aku rindukan
dan membuatku ingin kembali
Berjalan diantara rimbun pepohonan
dan jalan setapak tanpa polusi







Main ranger rangeran di tenga laut yang lagi surut.
huwahahaha.. asik bangett lho..











Pintu Masuk Cagar Alam Pulau Sempu
(Catur, Gita,Hansa, Kartika,Gagas, Fatchul) *Dari Kiri








Akibat Laut telah surut, kami harus rela turun kapal di tepi Pulau Sempu dengan berbasah basah berjalan melewati karang tajam dan batu yang licin oleh lumut.









Di depan Cincin batu karang yang memisahkan Segara Anak dengan laut lepas.

Deru ombak besar menyusup diantara Cincin karang
Mengajak bermain sekawanan angin selatan
Sesekali ia mengeluh rupanya
Surut menghalanginya pulang ke Segara Anak




Perjalanan Ke Pulau Sempu


Pulau Sempu

Pulau Kecil Pemikat Waktu

Berhenti berlalu wahai waktu biarlah diam

Terendam ombak Segara Anak





Kami berkumpul di sekolah hari rabu tanggal 11 Juli 2007, seluruh 6 personil HPPMS(himpunan pelajar pecinta alam SMUN 15 surabaya) dan 1 orang teman (Catur, Aku, kartika, Gagas, Fatchul, Rolex, dan Hansa) yang akan berangkat menuju Pulau sempu sekitar jam 7 malam. Kami mengecek perlengkapan dan packing barang yang akan kami bawa. Setelah itu kami menuju ke terminal bungurasih jam 02.00 tanggal 12 naik bus jurusan malang(8000 rupiah perorang). Kami berangkat dini hari untuk mengantisipasi jalanan yang macet karna lumpur lapindo. Kami naik bus jurusan malang sekitar jam 03.00 dan tiba di terminal arjiosari pukul 05.10 lalu sholat dan istirahat sejenak. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju gadang dengan menumpangi lyn AMG/AG (3000rupiah perorang) jam 06.20 Perjalanan ditempuh sekitar setengah jam. Setibanya di gadang sekitar jam 07.10 kami menumpangi colt bison menuju turen. Sebenarnya sopir colt sudah menawarkan untuk mengantar kami sampai dengan Sendang Biru kampung nelayan dan perhentian terakhir menuju Pulau sempu.tapi ketika melewati daerah turen kami dicegat leh angkot daerah turen dan memaksa kami untuk pindah angkutan. Biaya deal dengan sopir colt gadang sampai sendang biru 100 ribu. (Gadang - Turen 40.000 Turen - Sendang Biru 60.000 untuk 7 orang).


Perjalanan dari Turen ke Sendang Biru menempuh perjalanan yang lama sekitar 3-4 jam jalannya yang sempit berkelok kelok melewati bukit, membuat kami kelelahan dalam perjalanan itu. Kami tiba di sendang biru jam 11.50 beristirahat dan makan sampai jam 02.00. Setelah mengurus perijinan, mengisi persediaaan air selama 2hari dan mendapat kapal yang akan membawa kami menuju pulau (harga transportasi kapal 75.000 rupiah antar jemput) kami berangkat. Untuk menyebrang pulau tidak memakan waktu banyak karna pulau itu memang dekat dengan Sendang biru. Laut sudah surut ketika kami turun kapal dan akhirnya kami harus berbasah basah menuju daratan dan berkecek kecek ria. Batu karang yang tajam memaksa kami untuk sedikit merasakan terapi pijat karna kami harus melepas sepatu agar tak basah. Jadi agar tak melewati karang lebih baik menyebrang diwaktu air masih pasang. Setelah itu kami berdo’a di “pintu masuk” Segara Anak. Sebenarnya kami ingin menuju Telaga Lele agar mudah kami mendapat air tawar tapi karna teman saya Catur lupa kalau seharusnya tidak turun di pantai itu untuk menuju Telaga Lele akhirnya kami mengganti tempat Camp di Segara Anak. Kami menempuh perjalanan dengan jalan kaki antara satu setengah jam sampai dua jam untuk menuju tempat itu. Medan yang ditempuh tidak terlampau jauh hanya saja banyak jalan yang menanjak lalu turun dan menanjak lagi. Kami sudah cukup lelah dengan perjalanan yang ditempuh dari Surabaya.


Kami beristirahat dalam perjalanan sebanyak dua kali. Setelah melewati jembatan bambu rusak sayup sayup debur ombak tipis terdengar. Semangatku, Catur dan Hansa semakin terpacu (ke 4 orang; rolek, kartika, gagas dan Fatchul sudah berada didepan). Melewati pingiran tebing yang di bawahnya sudah terlihat laut kami harus sedikit berhati hati dengan beban yang kami bawa masing masing sekitar 15 kg. Terlihat cincin batu karang yang memisahkan pantai itu dengan laut lepas kami mengambil dokumentasi. Ternyata di depan sudah terhampar pantai dengan pasirnya yang putih bersih tidak ada sampah dan ombaknya yang tidak galak, kami serasa disambut dengan pemandangan yang indah. Segara Anak dikelilingi bukit dan batu batu karang. Kami tiba jam 04.30 mencari tempat mendirikan tenda dan bersiap siap memasak makan malam. Di belakang tempat camp ada bukit batu karang. Aku mendakinya untuk melihat ada apa dibaliknya ternyata itu adalah palung laut, pemandangan diatas sana sungguh indah. Tebing karangnya yang kokoh dan debur ombak yang besar membuat mataku takjub memandangnya di bawahnya sudah laut lepas samudra hindia wah benar benar tidak rugi harus meminta ijin kerja dan perjalanan yang harus kami tempuh. Menurut informasi sekitar jam 3-5 sore biasanya terlihat lumba lumba berenang disitu, sayangnya aku tidak bisa melihatnya karna sudah terlalu sore. Hawa disitu tidak dingin hanya hembusan anginnya saja yang sedikit kencang. Sebenarnya kami tidak ingin cepat cepat tidur tapi energi kami habis. Setelah makan malam, bersih bersih dan evaluasi perjalanan dari mulai berangkat sampai tiba, jam 11 malam kamipun tidur. Malam yang indah karpet buaian langit terhampar dengan bintang selatan redup yang tersebar. Deru ombak tipis sebagai backsound menambah syahdu tempat itu. Dan tidak ada keinginan untuk segera berpisah dengan Segara Anak. Aku sendiri tak rela menyianyiakan waktu disitu. Jauh jauh ke Sempu kok buat tidur. Rolek sudah tertidur pulas ditenda sedangkan aku, Catur, Hansa asik membuat sosis bakar. Setelah itu sebenarnya kami masih ingi menikmati malam dengan mbermain kartu akhirnya terpaksa kami tidur juga. Hansa Dan Catur sudah larut dalam mimpinya, putus asa tidak bisa main poker. Heheheh.. (orang aneh ya?. Aku juga kecewa sih..!) akhirnya aku pun ikut lelap diapit tiga orang laki laki itu.


Hari itu (kamis malam) tidak banyak yang datang hanya ada 2 kelompok. Besoknya jum’at siang datang kelompok lain juga ngecamp ditempat itu. Sedikit kecewa ketika ada serombongan keluarga datang dengan membawa porter pengangkut barang ternyata tempat ini tidak steril ketakutan pada pengunjung yang kadang membuang sampah sembarangan akan merusak tempat ini. Mungkinkah 5 tahun lagi wajah Segara Anak Khususnya Pulau Sempu akan sama seperti ini. Semoga BKSDA mampu membuat kebijakan untuk pelestarian pulau ini. Hari jumat kami memulai kegiatan kami 3 orang anggota muda HPPMS dipersiapkan untuk menerapkan materi survival yang sudah diberikan disekolah. Mereka disuruh untuk membuat jebakan untuk mencari hewan buruan. Aku ditunjuk sebagai pengawas mereka menuju dua tempat di hutan, tempat pertama tak jauh dari tempat camp, yang kedua agak jauh dan menuju jalan pentangan yang ternyata ada sebuah goa disitu. Sekitar 2 jam mulai jam 10 sampai jam 12 kami kembali menuju tempat camp untuk makan siang. Laut mulai surut sampai cincin karang yang kemaren aku lihat itu. Aku, Hansa, Catur, Rolek menunggu perisapan 3 anggota muda bersih bersih sisa makan siang, kami berenang menuju cincin itu. Lautnya indah tapi sayang di cincin karang itu banyak bulu babi. Aku tidak bisa mengintip laut luas dibalik cincin itu. Setelah puas berenang kami kembali ke camp, ganti baju dan membersihkan tubuh kami yang basah. AM sudah diinstruksikan untuk melihat jebakan yang dibuat tadi. Kali ini pengawasan diserahkan pada Rolek. Sedangkan Aku Hansa dan Catur menjaga tempat Camp sambil bermain poker. Sore hari kami menyiapkan makan malam setalah bercengkaram kami harus tidur karna malam hari ada kegiatan lagi. Ke 3 AM beritirahat kami pun juga mempersiapkan acara untuk pembayatan dan penyerahan scraf untuk 3 AM tersebut. Semakin malam ternyata ramai sekali sekitar 4 kelompok laen datang. Dan kami harus memutar otak untuk mencari alternatif tempat laen atau menyiasati pemberian scraf unuk merka. Setelah itu kami tiudr. Jam 12 malam kami bangun rencannya malam itu akan dilakukan pembayatan ternyata masih ramai. Akhirnya alterntif dipakai jam 4 pagi mereka dibangunkan untuk acara pemberian scraf. Selesai acara kami berkumpul melingkari api unggun. Menunggu pagi lalu beres beres persiapan untuk kembali pulang ke peradaban. Aku dan teman teman lain kehilangan minat untuk meneruskannya sampai minggu karena tempatnya sudah begitu ramai.

Jam 7 pagi hari sabtu kamipun bergegas untuk pulang. Perjalanan kembali ke pintu masuk Sempu kali ini hanya ditempuh dengan satu setengah jam. Sampai di bibir pantai tempat masuk Segara Anak kami menghubungi Pak Mamik untuk memberitahukan kalau rombongan sudah menunggu. Kembali kami naik kapal ke sendang biru dan sudah ditunggu angkutan yang kemarin mengantarkan kami. Tidak sempat bersih bersih kamipun langsung naek kendaraan, supir angkot menawarkan untuk mengantar kami ke Gadang (90.000 rupiah dari Sendang Biru ke Gadang untuk 7 orang) setelah sampai Gadang kami naik angkutan menuju arjosari (3000 rupiah /orang) lalu ke arjosari naik bis kembali pulang ke surabaya. Sampai di terminal bungurasih jam 16.45 dan kembali ke sekolah untuk mencuci peralatan dan berish bersih badan yang sudah 2 hari tidak mandi.


Rasanya ingin aku kembali ke Pulau Sempu masih banyak tempat di pulau itu yang ingin aku lihat semoga bulan depan bia kembali. Mengobati kerinduanku pada bau laut dan camar yang sesekali lewat diatas langitnya yang biru dan bukitnya yang hijau. Sepertinya perlu waktu yang agak panjang untuk bisa menikmati keindahan sempu. Yah seminggu mungkin itu berarti kami harus membawa air dari Snedang biru berapa liter ya??. Dua hari untuk 7 orang saja kami perlu 25 liter. Hem.. berarti harus mencari tempat camp laen yang dekat dengan pantai dan sumber air tawar.



*foto bisa diliat di posting selanjutnya

Wednesday, June 06, 2007

Kunjungan Pejabat Kemudian.com di Surabaya

Sabtu malam tanggal 2 juni kmaren aku mendatangi kediaman “Farida” di perumahan yang asing, di daerah dekat juanda. Karna aku dapat kabar Pejabat K.com sedang berkunjung ke Surabaya. Wah mumpung nih..! jadi ada gak ada waktu aku kudu sempet ketemuan. Aku harus bolak balik di sepanjang jalan aloha untuk mencari perumahan tempat meraka tinggal. Akhirnya setelah berputar putar sebanyak 2 kali dan bertanya pada 2 supir taxi perumahan itu ketemu juga. Jalannya gelap dan rumit, rumahnya besar besar, hii.. agak serem sih! Tapi untung aku ada bakat maling jadi terus saja berputar putar mencari alamat rumah mereka di blok ff no.5. dan akhirnya berhasil juga. Aku temukan rumah mereka.



Kedatanganku di sambut dengan hangat oleh mereka, Semua makanan yang ada, mereka keluarkan, dengan sedikit promosi mas rizki bilang “ini kue buatan ibuku lhoo.! Enak khan?” Mbak tiva tidak mau kalah menjamuku dengan segelas syrup buatan sendiri rasanya asem tapi segar katanya sih dari bunga (bunga apa mbak??) setelah ngobrol ngalor ngidul tentang Kemudian.com, rencana bikin penerbit indi, workshop yang kemaren waktu kopdar bandung diusulkan oleh salah seorang anggota K.com (sapa ya mbak aku lupa?) trus foto foto, jepret kiri jepret kanan akhirnya aku harus pulang. Padahal aku belom mau pulang. Jam dinding masih menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ya sebagai tamu yang baik dengan rela aku harus pulang “ini rumah orang bukan tempat nongkrong” batinku. Hehehehe…


Hari minggu mereka rencananya akan balik ke bandung. Dengan segera aku hubungi nisa dan KD. Nisa setuju untuk bertemu di Stasiun gubeng baru, sedangkan KD si makhluk aneh entah kemana. Tidak ada kabar apapun dari KD, pulsa habis hanya untuk SMS berkali kali padanya. Sejak jum’at sebenarnya aku sudah berusaha menghubungi tapi KD tidak segera ada tanggapan. Akhirnya hanya aku dan pikanisa saja yang betemu dengan mereka di stasiun. Hal pertama yang dilakukan ketika bertemu adalah salaman lalu foto foto. Aneh ya?? kok foto foto?? Hahahahaha… waktu mereka sudah sempit kereta jurusan bandung sudah dating. Tak sempat kami berbicara panjang. Akh.. coba Mbak tiva dan Mas Rizky lebih lama di Surabaya khan bisa puter puter Surabaya duluu…!


Sekian laporan dari saya tentang pertemuan saya dan pikanisa bertemu dengan pejabat Kemudian.com. walau laporan ini terlambat, asal selamat Hehehehe…


Kapan lagi Mbak.. Mas.. ke Surabaya???


Sunday, June 03, 2007

Surat Kelima yang Tak Selesai

Ini surat kelima.. tidak perlu kau tanya pada siapa saja surat itu terkirim? aku sebal membaca surat surat sebelumnya. Di situ aku tampak bodoh, seperti pengemis sekarat yang tinggal menunggu ajal. Mas… sudah kusimpan diam diam ingatan tentang malam itu. Bahkan ingatan puisi tentang bulan milikmu. Berhari hari, berbulan bulan, aku mengacuhkan telepon genggam hanya untuk menyembunyikan kerinduanku padamu. Mas..! akh.. sudahlah.. ini surat kelima tanpa basa basi lagi aku memintamu membaca dan mengerti inginku!



Kuletakkan pena yang sedari tadi mendiami sela sela jari. Aku sudah terlalu lelah mengorek ngorek isi hati, hendak menulis apalagi. Semakin panjang surat ini semakin terlihat bodoh. Otakku buntu, hatiku beku, tubuhku kuyu, mataku biru, air mata sudah hampir menggenang. Tapi berkali kali kutahan ditepi mata tertahan bulu mataku yang lentik. Sebatang rokok telah tandas terhisap bibir tipis nan hitam milikku. Tak terhitung pula berapa puntung yang berserak.


Sesekali aku berbisik dalam hati “Segera usaikan tangismu…! sekarang…! malam ini! Besok tak perlu lagi air mata itu ? kau tak butuh kesedihan lagi… Ratna..!”
Kuhantamkan kalimat itu berkali kali di dinding hatiku dan pecahlah telur telur airmata yang tersimpan di ujung mata.


Mas wahyu laki laki berperawakan tinggi dengan tampang keras, berwajah kotak seperti kaleng krupuk, tidak ada yang menarik dari dirinya. Entah apa alasannya sejak dua tahun yang lalu aku tidak pernah bisa berhenti berpikir tentangnya. Mas Wahyu memang bukan kekasihku setidaknya aku berhubungan dengannya tanpa status. Aku dan dia hanya teman sebatas kegiatan di kampus saja. Tapi entah ada apa di antara kami, orang lain selalu melihat ada yang lain setiap aku bersamanya bukan hanya sebatas teman. Sampai pada akhirnya 2 bulan yang lalu aku bertanya sesuatu tentang hubungan kami. Dia hanya menjawab “Aku hanya menganggapmu teman, Ratna..!” mulai hari itu sampai keesokan harinya aku mulai menjaga jarak. Aku merasa lega karena aku tidak perlu lagi berharap dan menunggu suatu kepastian.


Tapi sejak pertanyaanku itu terlontar dan aku mulai menjaga jarak, Mas Wahyu semakin berani mendekat padaku. Dia mulai berani memelukku, aku tak pernah bertanya maksud perlakuannya. Aku diam dan hanya bertanya dalam hati apa maksud semua itu. Ketika di sebuah taman dia tiba tiba meminjam HPku lalu ia mengetik sesuatu disitu. Setelah sampai di rumah aku baru tahu ada pesan singkat yang dia simpan.


Bila bulan buram tertutup risau awan

Coba bertaya pada semua hembusan angin

Benarkah dia?

Apakah dia?

Taukah dia?


15juni06 00.05 by ”W”

Taman Apsari dicuri sedikit waktu dari hpku

Entah apa maksudmu?


Puisi itu Mas Wahyu tulis ketika aku dan dia sedang berada diambang ketidakjelasan yang amat sangat. Puisi yang membuatku hingga setahun ini tak pernah bisa paham arti dan keinginannya padaku. Apa yang selalu dipikirkannya tentangku.


Mas… apa yang kau maksud di puisi itu? Apa perlu aku bertanya? Harga diriku terlalu tinggi untuk bertanya maksud puisi singkat yang sederhana. Tapi maknanya begitu dalam. Sedalam apa? aku juga tidak tahu. Sampai kapan puisi itu menjadi teka teki.


Mas.. puisi itu begitu melekat Tak satu katapun aku lupa. Aku tau ada yang tersembunyi disitu, tapi apa? katakan? Beberapa bulan kau pergi, menghindariku mungkin? Kita tak pernah saling berbicara bertatap muka, hanya lewat pesan singkat kita berbicara. Puisi itu begitu dalam. Aku tau...!


Surat kelima yang terpatah patah dibait bait yang berantakan seperti percaan kain kain mamel milik seorang penjahit. Mungkin kalimat itu akan kuletakkan di tengah tengah surat kelimaku. Atau akan aku kirim lewat pesan singkat saja. Akh.. entahlah! Aku sering berbalas puisi dengannya,. sebelum pesan singkat itu aku kirim, berkali kali kutatap layar berwarna ungu. Sesekali jari jemari hendak memencet tombol send.


Kubatalkan lagi… clear


**********


LakiLakiku

Laki lakiku

Sudah kukutuk kau

Tetap saja syaraf otak mengiangkanmu


Laki lakiku

Sudah kuhapus kau dari daftar mimpi burukku

Laki lakiku

Seperti candu

Merengkuhku hingga remuk sluruh batas dosa

Bekas pelukan eratmu merayap menyelimuti do’a do’aku


Laki lakiku

Kau memang bukan kekasih

Tapi hati selalu memanggilmu


Laki lakiku


Dialam sadar

Dialam mimpi


2juni07


Puisi puisi itu mengejan keras didalam perutku, seperti janin bayi yang lelah terkurung dalam rahim sang bunda. Dan kembali tidurku tak nyenyak. Mengusik pertapaan panjang malamku. Rumus baru untuknya. Ya.. dia lakilakiku bukan kekasihku. Tapi apa bedanya? Kembali aku beringsut merangkak di atas bantal menahan tangis menunda mimpi baru tentangnya datang lagi malam ini.

“Ratna.. letakkan matamu disisi segelas air putih, tenangkan mata batinmu” hati kecil membisikkan kata kata itu.


Lembaran kertas kertas itu semakin berserak di atas meja kecil sebelah tempat tidur unguku. Puisi tentang bulan miliknya tak pernah terungkap, masih misteri. Suasana misteri, hati misteri, tubuh misteri, dirinyapun misteri. Abu abu rokok bertabur di atas kertas kertas itu. Kegelisahaanku tercampur baur antara puntung rokok, segelas air dan kertas kertas lusuh itu.


*********


Sebulan yang lalu entah bagaimana awal mulanya aku dan Mas Wahyu bisa kembali bercanda mesra tanpa ada sedikit pertanyaan tentang puisinya itu. Dan semua berlalu begitu saja kembali ketidakjelasan yang aku dapat. Dia memang lakilakiku tapi bukan kekasihku. Tidak bisa setiap saat aku memintanya menjadi kekasihku hanya sesekali disaat hatinya sedang ingin, maka ia datang menjadi laki laki untukku. Dan aku hanya perempuan bernama Ratna yang selalu menantinya menjadi laki laki untukku. MasWahyu tanpa keahlian bermain musik hanya mengandalkan kisah petualangan liarnya tapi aku selalu menunggunya. Masa depan yang sepertinya dia juga belum tahu bagaimana mengaturnya.


“Ratna.. laki laki macam apa itu? Apa yang ia bisa lakukan untukmu? Memberi pilihan padamu saja ia tidak bisa?” pikiran pikiran di kepala semakin mencambuk hatiku keras keras. Dan aku hanya bisa diam dan tertunduk menahan air mata turun. Surat surat itu menari nari semakin kencang memancing air mataku untuk turun menukik di dasar luka luka yang tak pernah kering dan mengelupas.


Entah sampai surat keberapa akan kusimpan surat surat ini hingga keyakinanku berubah untuk pergi meninggalkanmu! Mas Wahyu.. bisakah kau beri aku beberapa pilihan seandainya aku pergi sanggupkah kau hilang selamanya? Tak perlu lagi senyum manismu, tak perlu lagi pelukan eratmu, tak perlu lagi lelucon sayangmu.... atau terima aku menjadi perempuanmu sama sepertiku yang menjadikanmu laki lakiku.


Isi surat ketiga itu kembali kubaca, aku menemukannya diantara tumpukan puisi puisi malamku. Memang benar benar seperti pengemis yang mengais belas kasih pada laki laki yang bernama Wahyu. Kebencian macam apa yang sudah menghukumku hingga pikiranku teracuni oleh laki laki itu. Karma apa yang telah di dapat hingga pikiran pikiranku tertuju hanya padanya. Dan Gagallah lagi surat ketiga itu terkirim. Kuremas kertas itu dengan tenaga yang lemah kehabisan darah, kehilangan nyawa. Bagaimana lagi kutulis surat yang isinya hanya ingin memintanya bersikap lebih dewasa dengan membiarkan aku pergi dan menghilangkan keinginan bersama dengan dirinya. Surat yang lain entah tergeletak dimana, aku juga tak ingin mencarinya. Isinya toh juga sama seperti surat ketiga ini.


Bolehkah aku sebut itu salahmu? menyimpan puisi sembarangan, meletakkan pelukan sekehendak hati, dan datang menjadi laki lakiku semaumu? Aku hanya perempuan biasa yang selalu bermain perasaan sebagaimana kuatnya tubuhku dan sebagaimana sifat laki laki ditubuh perempuanku ini. Atau kau memang laki laki sinting yang lupa ingatan bahwa bentuk tubuhku ini perempuan? Kalau kau memang sinting bolehlah aku menjadi sinting untuk memakimu sekehendak hati.


Perlukah kutambahkan kalimat makian itu pada surat kelima? Bagaimana kalau Mas Wahyu menjauh, bagaimana kalau ia pergi tanpa sempat memberiku pilihan? Pikiran pikiran apalagi yang merasuk diotakku, aku sudah tidak bisa lagi membedakan apa yang baik untuk ditulis dan apa yang tidak baik untuk tidak ditulis.


**********


03.00 dini hari, mata ini masih menggantung menatap kertas putih yang kosong. Belum ada satu baitpun kususun untuk surat kelima itu. Dingin, malam ini entah mengapa begitu dingin padahal masih musim kemarau. Gerimis tipis tiba tiba jatuh mengetuk jendela kamar.


Sudah kutanyakan pada hatiku, apa aku butuh atau tidak padamu laki lakiku…! Beberapa malam, beberapa bulan, beberapa tahun aku habiskan untuk memikirkan surat kelima ini. Kau tak perlu tahu kemana larinya surat pertama sampai ke empat. aku harap kau mengerti maksud kalimatku… selamat pagi! Dan mimpiku akan segera datang! Salam sayang… salam rindu… dan selamat tinggal Mas Wahyu “lakilakiku”.


Surat kelima yang singkat, embun pagi segera menyusul setelah shubuh yang dingin ini lewat segera kuambil air wudhlu dan segera mengahadap padaNya, berharap apa yang tertulis kali ini memberi aku jawaban.


“Ratna… perempuan dengan airmata yang selalu menggantung ditengah tengah tawa riuh! Sampai jumpa pada mimpi barumu!” hati kecilku menjadi tenang dan membiarkanku tertidur dengan senyum.


NB : Dan Puisimu tetap menjadi misteri buatku, aku biarkan puisimu tetap menjadi milikmu.

Friday, May 11, 2007

KB alias Keluarga Baha[ya]gia

“Dik, mamamu mana?”.
“Eh papa, tumben siang sudah pulang.”
“Iya.. papa mau keluar kota ada meeting mendadak! Mamamu kemana dik?”

Sejam yang lalu perempuan yang dipanggilnya mama pergi setelah mencium kening dengan tergesa gesa.
“Jangan kemana mana, belajar di rumah! mama mau ke salon peremajaan trus arisan” perempuan itu tadi berpesan sambil melesat cepat dengan pakaian yang super seksi dan wangi

“Oh.. mama tadi sih bilang arisan trus ke salon mau peremajaan katanya!”

Setelah mendengarkan jawaban sang anak, laki laki itu langsung menuju kamar menyiapkan pakaiannya sendiri. Dan lalu menghampiri anaknya untuk mencium kening dengan tergesa gesa.
“Dik.. papa berangkat dulu! rekeningmu sudah papa isi, jangan boros ya! Bilang sama mamamu, papa keluar kota. mendadak!” pesannya.

******
“Ma.. papa sekarang di luar kota! 2 hari baru pulang. Sekarang mama sedang apa? Papa kangen nih!” di sebuah kamar hotel, pesan singkat terkirim.

“Om.. gimana? Pake pemanasan gak? Biar seru aku setel film blue terbaru ya? Duh dingin nih om..! sini dong om jauh jauh amat!” perempuan muda, kulit putih mulus, tubuh mungil dengan rok pendek separo paha, kira kira berumur 18 tahun bergelayut manja.

“Tulilut tulilut…” tanda sebuah pesan diterima

“oh iya pa.. gpp.. mama masih ngumpul ama temen nikmatin peremajaan pa! mama juga kangen cepet pulang ya pa!” demikian pesan pendek itu terbaca di layar tipis.

********

“Dik.. mama masih di rumah tante Nurul! Mungkin pulang larut. Sudah makan belom? kalo mau makan, minta mbak Nah aja. Met bobo’ ya!” Pesan terkirim.

“Hahaha.. sibuk apaan sih jeng? nih.. dah ada brondong disini, yang di rumah pikirin besok aja!” Perempuan setengah baya dengan pakaian seksi dan perhiasan yang menempel dimana mana tertawa girang.

“Ikh iya nih.. hasil arisan jangan disia siakan lumayan jeng..! keker juga nih brondong. sapa yang dapet pasti beruntung!” Perempuan lain yang tak kalah seksi ikut menyahut.

******


Monday, April 16, 2007

Laki Laki Tak Bernama

“Hei… lepaskan sepatu itu..! rumah ini sudah kotor jangan kau tambah dengan noda dari sol sepatumu!” Teriakkannya memekakan telinga.


Selalu saja begitu, pulang dengan tubuh lunglai. Tak sekalipun perempuan itu menyambut kedatanganku dengan senyum dan tawa renyah. Walau aku sudah menyiapkan lembaran ratusan ribu dalam amplop. Perempuan itu masih dengan matanya yang merah dan nyala berkobar kobar memakiku.


Sepatu ini tak lebih kotor dari tubuhku lalu kenapa kau mengjinkan aku membasuh diri dengan noda. Tak pernah sedikitpun kau mengajariku tersenyum, bermanja, bahkan mengenal siapa aku.


Perempuan, aku ini siapa? Buat apa aku setiap hari menunggu kau memanjakanku kenapa aku selalu ingin pulang dan berteduh dibawah keriput dan bibirmu. Aku sudah pulang, tubuhku ini begitu lusuh begitu ingin mandi. Kaki, paha , perut, kelamin, mulut dan mataku begitu lelah. Perempuan kapan aku bisa bersedekap ditubuhmu.


“Sudah makan kau? Itu nasi sisa kemaren masih belum habis. Habiskan saja untuk menyumpal mulut jahanammu!” perempuan itu masih memakiku tak pernah ada sedikit kata kata lembut buatku.


Sisa dentum musik tadi malam yang terngiang ditelingaku terkalahkan oleh makian makian itu. Suaranya yang serak lebih serak dibanding penyayi klub malam ditempatku biasanya bersemedi, menyusup dalam telingaku.


Tubuhku sangat lelah setelah mengembara dari satu laki laki kemudian ke perempuan perempuan lalu kembali ke laki laki lagi. Amplop berukuran jumbo hampir tak cukup menyimpan penghasilanku dalam semalam.


“Laki laki…. Apa yang kau tumbukkan didadamu! pulang hanya membawa amplop tebal saja, kau merasa sudah bekerja keras!” ocehan ocehan itu masih terdengar sampai aku harus menutup telinga.


Perempuan tanpa nama tapi aku tau disana aku berasal, dari sana dulu aku menetek. Di kedua buah payudaranya aku menyusup menjadi laki laki. Perempuan dengan keriput yang mengeras. Air matanya sudah kering digantikan dengan keringat dimasa mudanya.


“Laki laki…. Jangan kau tunjukkan muka padaku! Kalau kau belum tau apa itu perempuan!” perempuan itu semakin meracau.


Perempuan itu tak pernah menatap mukaku entah jijik atau benci. Sejak aku bisa melihat isi dunia perempuan itu tak pernah mengelus tubuhku lagi. Semakin aku menjadi laki laki semakin terasa kebencian dari mulut dan tatapan matanya. Bahkan sentuhan sentuhannya yang sangat jarang dan hampir tidak pernah aku rasakan.


Oh.. perempuan kapan aku dapat menjumpai senyum untukku. Karena laki laki ia begitu gila, gila mengumpat, gila menghina, gila menyusu pada malam. Aku laki laki satu satunya yang selalu ada disini di rumah ini selalu dipanggil laki laki. Aku laki laki tanpa nama seperti perempuan itu, aku tak pernah bernama. Aku hanya kenal dan tahu bahwa aku laki laki.


Kebencian yang membesarkan aku. Kesengsaraan yang bermain denganku. Aku laki laki tak bernama sama seperti Ibuku


Tuesday, March 27, 2007

Telepon Aneh

Hari yang cerah dengan luka yang tak parah. Dengan santainya kutautkan saja kepala di bingkai jendela menghadap ke arah jalan. Sudah jadi kebiasaan tiap pagi melamun dulu memungut remah remah embun walaupun matahari sudah tinggi.

“Mar… telepon..!”, sial teriakan itu langsung membuat perut mengandung perasaan mulas.

Dengan malas aku henyakkan pantat yang masih melekat erat pada sisi pembaringan kesayangan.

“Ya.. siapa ini?”, tanyaku dengan malas malasan.

“Mar.. pulang… emak lagi nunggu! Sudah gak perlu banyak bicara, pulang saja! Yang penting khan emakmu! Pak Lurah sudah suruh saya hubungi kamu, tapi kemana mana tidak pernah ada kamu! Bapakmu sampe muring muring tendang tendang pagar pembatas bingung cari cari kamu, utang sama rentenir juga belom terbayar, emakmu sakit parah.”, tanpa jeda ia menceritakan sesuatu. Sepertinya keadan yang gawat.

“Ya.. kenapa? Ini siapa?”, tanyaku sekali lagi.

Efek kejut yang mengejutkan. Aku masih bertanya tanya siapa yang sedang nyerocos suruh pulang, ada apa dengan ibu. Kenapa dia bilang emak? Sejak kapan ibu dipanggil emak? Jangan jangan dia sodara kandung yang baru saja ditemukan ibu. Seperti disinetron yang sering aku tonton.

“Mar.. dengerin ya! sawah sepetak trus kerbau 10 ekor gak ada yang urus, Bapak sudah pergi jemput kamu dikota tapi gak ketemu!”, masih saja orang itu sibuk bercerita.

“Lho ini siapa? trus kapan bapak kesini? Masa Bapak saya gak tau tempat kost saya, tapi akh…. siapa sih ini kok tau no telp saya?”, semakin penasaran saja aku dibuatnya.

Sial nih orang benar benar bikin pusing padahal tadi belom sempat ngelap iler* yang nggantung, bersihin belek** yang nyangkut. Aduh.. ada apa dengan ibu di kampung. Ngapain juga bapak nyari tapi kok gak langsung ketempat kostku.

Pak.. mas.. pakde.. akh siapa sih ini? Sejak kapan orang tua saya punya sawah apalagi ternak kerbau?” bukannya dijawab malah orang itu teriak

Mar.. kamu mau pulang gak? Kalo enggak saya bunuh diri sekarang..!

“Klik… tut…………!”

Brengsek malah ditutup. Gantian sekarang aku ngomel ngomel sendiri.

“Dasar orang gila..!”


--------------------
iler* = air liur
belek**= tai mata

Wednesday, February 28, 2007

Ketika Menjelang Senja

Perempuan tua itu telah duduk lama didepan pohon beringin yang rapuh. Ia sabar tertunduk disitu menatap sisa gedung sekolah didepannya. Gedung sekolah itu hanya tersisa puing puing dinding tanpa genteng, pintu yang hanya kerangkanya saja dan halaman yang tak terurus. Sudah 2bulan gedung itu suram tak lagi ada yang perduli. entah kemana pengurusnya. akibat kebakaran lalu setidaknya 3 anak meninggal terjebak dilalap api. sejak itu pemilik sekolah memutuskan menutup sekolah entah sampai kapan. Perempuan tua itu tak pernah menyerah menunggu anak perempuan satu satunya, harta peninggalan suami tercintanya.

"Bu.. mirah berangkat sekolah! doakan mirah berhasil ya bu.. ujian hari ini!" terakhir kali wajah dan suara mirah ketika berpamitan hendak berangkat sekolah. Perempuan itu hendak mencegah anaknya sekolah, entah ini firasat seorang ibu atau apa. hari itu ia tidak rela membiarkan mirah berangkat sekolah. Masih terbayang pagi itu Mirah minta disuapin hanya gara gara ia hampir terlambat. Wajahnya yang berkerut karena hujan dan panas yang tak pernah henti menyembah dipelupuk mata. terlihat wajahnya kusam, badanya yang kurus. tapi sepasang matanya masih tajam, masih ada mimpi disitu.

"Mirah ibumu masih disini menunggumu keluar gerbang sekolah!" bisiknya pelan pada daun kering disebelahnya. Tapi mirah tak pernah lagi menampakkan senyum pada ibunya. Perempuan tua yang rapuh itu masih sekokoh pohon disebelahnya, ia masih berharap setinggi langit bahwa anaknya bakal berlari kepelukannya seperti biasanya. Merengek minta sarapan dipagi hari, menina bobokan ketika mimpi sudah menunggu dilelap tidurnya. Perempuan itu tidak rela sebatang kara. Sesekali ia tersenyum ketika menatap gerbang sekolah. Entah apa yang dilihatnya. Perempuan itu telah lama ditinggal pergi suaminya. Batinnya tak siap menerima bertubi tubi rasa kehilangan. "Mirah... ibu masih membendung air mata agar kau segera pulang nak! Ibu tau kau tak suka jika pipi ibu basah! mirah.. nasi dirumah sudah lama basi, tempat tidur kita sudah lama berdebu!" perempuan itu terus saja menimang mimpi dipangkuannya.

Hingga suatu hari menjelang senja ia berdiri dan seperti hendak berlari. Matahari hampir tergelincir, dingin malam mulai terasa. Bening disudut mata telah leleh. Tersungging senyum dibibirnya yang kering. Debu tebal yang mengerak di wajahnya telah pecah karna senyum yang mengambang dipipi. Kesedihan yang tertahan sekian lama tiba tiba saja pergi. Entah bayang, entah lelah, entah jengah, entah nyata. Perempuan itu memanggil dalam dingin "Mirah....!!"

Tuesday, February 27, 2007

Pertemuan Malam dan Dini Hari

Beberapa hari yang lalu seorang guru memberi kabar akan datang ke Surabaya hari minggu sampai hari selasa. Wah ini hal yang langka, siapa sih saya bisa bertemu langsung dengan sang guru. Aku pun bertekad harus menemuinya bagaimanapun sulitnya. Saking girangnya saya sampai lupa menanyakan nomer telepon beliau. Padahal hari sabtu dan minggu itu saya sedang ada kerjaan di luar warnet tempat jongkokku tiap hari, yang berarti tidak ada kesempatan bertemu di dunia maya.. Akhirnya terpaksa saya bertanya pada Om yo yang jelas dia punya data data penyair. Ternyata benar perasaan saya pasti om yo komentar dia bilang “heran aku, janjian tapi podho gak eruh nomer hpne. Dasar wong ndeso, katrok, gak Hasan, gak dedy, gak koen”. Ternyata kita bertiga sama sama lupa menanyakan nomer telpon. Untung saja ada 147 alias om yo. Masih ada satu orang lagi sebenarnya yang ikut dalam perjanjian ini paklik sonyDebono tapi berhubung HPnya sedang kosong, kantongnya juga lagi sepi, beliau cuma tunggu kabar saja dari saya. Jadi dia tidak ikut ikut tanya nomer telpon ke om yo.

Setelah berusaha merajuk paklik Sony agar bisa nurut jadwal saya, yang bisanya cuma senin malam dan ternyata beliau mau. Akhirnya beliau saya ajak ke tempat saya, baru kemudian meluncur ketempat pakde Hasan. Dan mengajak om dedy yang siangnya sudah mendahului kami bertemu pakde Hasan untuk ngumpul lagi malam senin. Walaupun harus menunggu pakde selesai menunaikan tugas akhirnya bisa juga saya bertatap muka langsung.

Sekitar jam 9 malam saya sampai ke hotel tempat menginap beliau. “pakde, saya sudah sampai di Garden, sekarang di loby” saya kirim pesan karena ternyata paklik sony sudah sampai di loby dan belum bertemu dengan pakde Hasan. Ketika saya masuk beliau langsung tau saya. Dan sayapun sudah bisa tau dari kumis dan jambangnya. Ternyata tidak setua perkiraan saya. Kemudian berlanjut mendatangi om dedy yang sudah menunggu di kafe sambil nikmatin secangkir kopi dengan alunan jazz. Setelah berkumpul kita semua mulai berdiskusi dan memperbincangkan apa apa saja tentang puisi. Nah. Disini saya hanya sebagai pendengar yang baik. Pakde bercerita tentang keindahan bahas melayu yang ternyata penggunaanya dalam bahasa kesehariannya begitu puitis dan dalam. Jelas ini tidak dapat saya temui dikehidupan sehari hari bagaimana saya temui klo yang saya dengar hanya makian dan umpatan kasar saja disekeliling saya. Bahkan beliau sendiripun katanya tidak mampu berbahasa melayu walaupun istrinya orang melayu. Tidak di internet tidak di kafe kenapa nama nama itu selalu hadir. Tapi saya harus mencoba menangkap sesuatu disitu. Paklik sony membahas banyak sekali teori Ironi, paradoks, indeks, icon, symbol masih banyak lagi. Sebenarnya kata kata itu sering saya dengar tapi tidak satupun yang saya paham dengan jelas. Bahkan kata estetika yang setiap berproses di teater saya dengar masih juga saya bertanya arti kedalamannya yang saya tahu estetika adalah keindahan tapi ternyata kata paklik sony estetika dibagi dua yaitu keindahan dan keagungan. Paklik sony memang ahli berteori dan sudah jelas beliau pasti sangat paham. Saya hanya bermain di senyum, oh.., ya, ehm.. gitu dan sedikit saya bercerita awal ketertarikan pada puisi dikarenakan puisi pak Jokpin. Pakde bercerita bahwa puisi tentang rambutnya sedang ditawarkan pada iklan sampho. Dan ini buatku bertanya bagaimana bisa? Puisi dan iklan? Apa yang nyambung?. Tapi ternyata malah penulis jargon jargon iklan itu katanya adalah seorang penyair. Wah.. ternyata puisi memang luas. Paklik sony juga menjelaskan tingkatan tingkatan seorang penyair yang semakin tinggi puisinya semakin halus. Tapi malah tidak begitu menggema. (bener gak ya begitu maksudnya?). akh tugas merangkum diskusi malam sampe dini hari biarkan jadi tugas om dedy. Kata pakde Hasan, om Dedy pintar merangkum dan bagus. Saya hanya menulis apa yang saya ingin tulis tentang malam ini saja. Yak… lanjut!!! Diskusi akhirnya harus pindah tempat ke loby karena kafe sudah tutup. Dan dilanjutkan dengan kalimat “Terasa Terasinya” yang kata paklik sony kalimat itu menarik sangat cocok karena tidak terlalu membual untuk sebuah jargon iklan. Sedangkan kata pakde Hasan kata itu puitis. Om dedy bilang ada keindahan bunyi. Yang saya pikirkan cuma satu ya memang benar itu, terasi tidak mungkin berasa permen atau roti karena memang itu yang dijual terasi. Paklik sony juga bercerita ketika ia asyik bermain dengan kritik kritiknya, beliau sempat ditegor seseorang agar tidak membeberkan rahasia rahasia puisi dengan kata lainnya teknik puisi. Ini saya setuju karena saya semakin pusing ketika membaca teori teori yang terkadang malah menjadi kotak buat saya. Dan ini buat saya tertekan.

Pakde hasan menyinggung Milis Buma yang memang tempat untuk bermain main sama dengan milis penyair karena penyair juga harus punya kenaifanya sebagai anak kecil yang selalu asyik bermain main setlah sapek bermain maka mereka akan mandi (milik Jokpin). Juag membicarakan milis Apresiasi Sastra yang akan dijadikan sebuah lembaga yang itu artinya Apsas bakal terstruktur, beliau tidak ingin menjadikan Apresiasi sastra menjadi sebuah lembaga (la yang ini sama sekali saya gak nyambung alias pedhot koneksi).

Sebenarnya saya ingin menghabiskan kuping saya mendengar diskusi itu tapi pakde Hasan harus istirahat karena besok pagi dia harus pulag kekotanya. Dengan berat hati saya melangkah pulang dengan paklik sony dan om dedy. Padahal mata ini rasanya masih belum bertemu kantuk. Kita berpencar di depan pintu loby. Berencana besok siang bertemu lagi sebelum om dedy kembali ke Jakarta. (oiyaa.. om ded.. puisi Lumpur sudah siap dikepala!!). dijalan saya tidak bisa berhenti berpikir apa yang tadi sudah dibicarakan apa itu tadi rahasia rahasia puisi yang tidak boleh saya ketahui agar saya tidak jadi malas mencari. Saya merasa mujur ato ajur..? tapi saya senang sekali bisa mendengar mereka asyik sekali membicarakan puisi. Sampai dirumah saya lihat jam ternyata baru jam setangah 2 dini hari, jelas saya tidak bisa langsung bergaya “Gravitasi ala Newton” diatas ranjang (sempat juga dibicarakan). Kepala ini masih ingin buang angin, setelah tadi kenyang makan. Sebenarnya masih banyak yang dibicarakan tapi saya bingung mau menuliskan bagaimana. tentang tanda baca yang kata paklik sony adalah kegagalan penyair menyampaikan puisi. lalu pakde degan ceritanya pernah dimaki penyair idolanya. Sudahlah tunggu saja ulasan pakde Hasan, Paklik Sony dan Om dedy pasti bakal mantap.

Seseorang datang menagih janji

Mana lumpurmu! baru kemaren nyembur kok sudah kering?


Ini sudah kubawa sample buat diteliti

Masih cukup basah dan bau


Kujinjing bekas botol air mineral didepan matanya


Mungkin cocok buat pondasi.

04.07 dini hari270207