Tuesday, August 26, 2008

Serpih -Serpih

Aku sudah di sini menunggumu hingga separuh umur. Dan kau masih saja diam bahkan beranjakpun tidak. Entah apa yang akan kau katakan nanti jika aku semakin sendiri dan sepi.

Aku berdiri menantang petir, kau pernah ucapkan sebagai sumpah "Aku akan tiba setelah petir" tapi apa? Setelah petir hanya ada hujan yang merintih tanpa kau. Semakin sepi.

Pertapaan ini panjang, sepanjang sungai yang berujung laut. Semakin luas bukan? dan kau masih diam tak beranjak mengurungku pada tanya yang tak juga terjawab. Aku menunggumu.

Selalu, dari kedip matamu hanya tanda yang tak juga terjawab dari tahun ke tahun. Isyaratmu hanya "datanglah lagi besok" tanpa suara. Aku membahasakannya sendiri.

Bulan selalu datang dalam gelap. Tapi aku memaksa datang ketika terang. Kau menolak aku? Kau diam.

Wednesday, August 20, 2008

Diskusi Esok : Surabaya Membaca 50% Merdeka

Puisi bagi Heri Latief adalah alat anti penindasan, di dalam dunia sastra internet selalu ada karya yang memuat isu-isu sosial. Pembaca sastra tidak melulu orang-orang yang ahli terhadap sastra, tetapi juga orang yang mengalami penindasan sosial. Untuk itu puisi seharusnya memuat hal-hal yang mampu mewakili suara hati orang lain (rakyat) bukan melulu suara hati sendiri (ego). Dengan demikian puisi akan dapat menjdai milik umum dan bisa berkeliaran bebas menentukan sasaran. Karya Heri Latief tidak sekedar puisi dengan rangkaian kata-kata indah yang menjual mimpi.

Puisi sebanyak 50 dalam buku 50% merdeka milik Heri Latief justru menyadarkan kita akan lingkungan sosial yang sedang terjadi. Walaupun ia berdomisili di negeri belanda, ia tak pernah berhenti mengamati gejala sosial yang terjadi di indonesia. Ia menulis berdasarkan informasi yang ia dengar dari media massa, internet, bahkan kawan-kawannya yang berada di Indonesia. Dalam karyanya Ia mencoba menyentuh hati nurani pembaca untuk kembali menjadi manusia sosial yang sesungguhnya. Sebagai orang yang sangat peduli nasib bangsanya, maka ia menyuarakannya lewat puisi dan meneriakkannya di mimbar-mimbar diskusi sastra semacam ini.

Menurut Winarti pembicara dalam diskusi di Balai Pemuda Galeri Surabaya (25/07/08), puisi Heri Latief dalam antologi puisi ”50% Merdeka” dirangkai dengan bahasa yang sederhana dan apa adanya tetapi justru di situlah letak kekuatannya Tidak ada yang ditutupi dengan metafora yang biasa dipakai para penyair kebanyakan. 50% merdeka berisi pesan-pesan kemanusiaan. Kemerdekaan yang sesungguhnya masih berada di interval 50 dari keseluruhan nilai sempurna 100 persen. Masih banyak penindasan, masih banyak kemelaratan yang sangat tergambar jelas dari wajah rakyat indonesia. Winarti sendiri membaca Heri Latief sebagai sosok pribadi yang tidak mau menyerah walaupun usianya sudah setengah abad (50 tahun). Sifat pantang menyerah itulah yang membuat Heri Latief terus berkarya. Dalam sebuah obrolan ringan dengan saya ia berkata jangan sampai pikiran kita ditunggangi oleh pikiran-pikiran orang lain. Maka jelaslah bagi saya, Ia memang berkarya untuk menyuarakan hasil pikirannya sendiri yang ia tangkap dari lingkungan sekitar. Ia benar-benar berusaha melepas diri dari dominasi apapun.

Giryadi sebagai salah satu pembicara pada diskusi, ia berbicara sebagai seorang wartawan yang juga seorang seniman. Ia berkata, isi dalam puisi-puisi Heri Latief sering ia temukan di media massa. Di dalam media massa penindasan sosial disajikan terlalu manis hingga tidak dapat diejawantahkan secara gamblang. Hanya sekedar mengelus hati pembaca, sedangkan di dalam puisi rangkaian kata-katanya mampu menyentil. Belakangan ini, seiring berkembangnya kebebasan dunia informasi, justru media massa memilih-milih berita. Bahkan sering kali redaksi menyortir berita ketika politik uang sudah berkuasa. Berita yang dimuat terkadang dimunculkan untuk menutupi isu-isu yang merugikan beberapa pihak. Menurut giryadi, media massa seharusnya juga bertanggung jawab pada penindasan sosial yang dialami masyarakat. Penyampaian informasi yang setengah-setengah juga membuat masyarakat bingung akan hasil akhir suatu kasus. Contohnya saja soal lapindo, pada awal terjadinya kasus tersebut berita itu seakan menjadi PR semua pihak, tapi sekarang kasus itu seakan hanya menjadi obrolan santai sebagian orang. Padahal dalam kenyataannya kasus itu belum tuntas benar. Lantas di mana media massa berdiri? Pada siapa mereka berpihak?.

W. Hariyanto yang pada malam itu juga hadir, di sesi tanya jawab ia justru tidak menitik beratkan pada isu-isu sosial. Melainkan pada pergerakan sastra nusantara, dominasi TUK yang ingin dirubah oleh penulis-penulis lainnya. Sastrawan seharusnya punya jiwa militansi untuk keluar dari mainstrem TUK. Ia dengan tegas berkata bahwa sastrawan surabaya, jatim dalam lingkup yang lebih luas menolak dominasi sastra koran. Hal ini juga disinggung oleh Giryadi, ia beranggapan pencetus sastra koran ketakutan dengan kemajuan sastra cyber. Kecepatan penyampaian karya, entah itu cerpen. Puisi, esai, menuju pembaca ternyata sangat cepat di dunia cyber. Dan ini yang membuat sastra koran sedikit tertinggal. Di dunia cyber, diskusi akan cepat begulir, beragam tanggapan dari pembaca dapat langsung berkembang tanpa harus menunggu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Hal inilah yang membuat isu sastra bergerak sangat cepat. Menurut Giryadi tidak seharusnya sastra dikotak-kotakkan semisal, sastra koran, sastra cyber, sastra jawa, sastra buruh, dll. Sastra adalah sastra, apapun bentuknya tidak seharusnya ada pengucilan aliran.

Selain membahas pergerakan sastra, W Hariyanto juga menambahkan Saiful Hajar, seniman yang juga bergelut dibidang seni lukis, sastra, teater, pernah memulai pergerakan sastra penyadaran jauh sebelum masa orde baru jatuh. Nafas puisi-puisinya untuk menyadarkan pembaca akan kesadaran sosial dengan gaya puisi kocak yang menyentil pembaca. Semacam Sajak mbeling Remi Sylado, tapi saya belum berani menyamakan keduanya. Walau kemungkinan bentuknya sama dan juga sudah ada sejak jaman orde baru. Saiful Hajar sendiri yang juga hadir pada diskusi itu menambahkan, indonesia memang belum benar-benar merdeka. Karna jika dahulu penjajah bangsa adalah bangsa luar, justru sekarang yang menjajah adalah rakyatnya sendiri. Rakyat yang sudah diperbudak oleh materi dan kekuasaan melalui investor-investor asing. Itu berarti kondisi dulu dan sekarang sama saja. Bahkan lebih parah karna kita tidak merasa dijajah secara langsung sehingga perlawanannya tidak lagi segencar dulu.

Salah satu peserta diskusi Didik dari FMN (Forum Mahasiswa Nasional) mengatakan, berjuang melalui karya tulis juga dilakukan oleh wiji thukul aktivis yang hilang di masa orde baru. Wiji thukul merupakan tokoh yang tidak hanya mereka-reka kondisi negaranya, tapi ia juga berbuat untuk melawan penindasan selama masa orba. Didik mempertanyakan sedekat apa heri latief dengan karya dan masyarakat sosial yang menjadi tema besar di buku antologi puisi ”50% Merdeka” ini.

Diskusi malam itu berlangsung tak terlampau panjang, dikarenakan waktu yang terbatas. Dihadiri oleh aktivis buruh, bonari nabonenar, adib, anggoro dll. selain itu teman-teman dari apresiasi sastra Fahmi Faqih, Sonydebono menyempatkan hadir. juga teman-teman komunitas sastra di surabaya Lab sastra dan Gapus, semisal Mashuri, Dody Tobong ,Puput dan masih banyak nama-nama yang belum saya sebut di sini. Tapi diskusi belum cair karena belum semua menyampaikan uneg-unegnya tentang kondisi negara seperti dalam buku puisi 50% Merdeka ini. Seusai diskusi para undangan membacakan sajaknya Saiful Hajar , dody yanmasfa menyumbangkan karya untuk diibacakan pada malam itu. Di penghujung acara ditutup oleh performance kawan-kawan ESOK dan PAPER komunitas pengamen jalanan (Iwan Pucang) dengan membawakan lagu balada yang berjudul MENOR *bahasa jawa yang artinya berlebihan.

Maka pertanyaan besar tetaplah menjadi teka teki bagi saya, benarkah 50% merdeka bisa berubah menjadi 100% merdeka? Entahlah. Semoga antologi karya heri latief mampu mengembalikan kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Dan mampu menangkap gejala perubahan sosial utnuk dijadikan cermin dalam diri untuk berbuat lebih pada bangsa dan negara. MERDEKA....!!! (Surabaya, agustus ’08)


Tuesday, August 19, 2008

Bertemu Pendekar Mabuk (Hudan Hidayat)

Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah kota yang penuh tai tikus, anjing liar dan kucing garong herannya banyak juga yang memuja kota itu. Aku termasuk gak ya? hehehe... Katanya sih itu kota Jakarta. Seperti biasa, setiap ke jakarta aku lebih suka nongkrong di TIM. Mau siang, sore, malem enakkan di sana, daripada harus ngluyur di mall, wisata Mall. Lah di Surabaya aja mall sudah berjajar seperti ruko.

Malam, hari kedua aku datang lagi ke TIM. Rencananya ada janji dengan leklul, bunda inez dan kinu. Tapi setibanya di TIM ternyata tak ada leklul atau bunda inez, hanya ada kinu dan beberapa gerombol orang di warung depan TIM. Di sanalah aku bertemu seorang pendekar, yang belum lama kukenal. Kujuluki dia pendekar mabuk, Hudan Hidayat (atau mungkin memang julukannya ya?).

Kesan pertama melihatnya, aku tidak tahu kalau pendekar itu adalah Om hudan yang esainya mudah kumengerti, penjabarannya ringan dan tidak terlampau rumit. Jadi kuabaikan saja dia dan kuanggap hanya pemabuk tua yang tidak punya tempat ber haha hihi di rumah atau tempat kerjanya. Pemabuk tua itu memakai setelan kemeja kusut dan celana hitam, juga sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya yang lusuh. Lantas aku dikenalkan Kinu pada si pendekar yang ternyata Hudan Hidayat, itupun sambil lalu. Antara percaya atau tidak kalau pemabuk itu adalah hudan hidayat aku diam saja sambil terus mengamati gerak geriknya. Di kedua sakunya aku melihat dua kotak rokok. Lantas aku bertanya "Ough om juga penjual rokok kliling". Dan iapun menjawab "ini obat, obat mabuk juga ke..ke..ke.. ." terkekeh sambil kepalanya geleng-geleng. Tolol juga ya aku, orang mabuk kok diajak becanda.

Entah berapa persen kesadaran yang tersisa di kepalanya. Rupanya pendekar itu mengenaliku kemudian memanggil namaku. Gita, barulah diriku yakin inilah om Hudan yang suka SMS gak jelas. hehehehe.. *maap om. Ia berlarian seperti bocah kecil membawa tubuh yang sepertinya teramat berat, berpindah-pindah dari bangku kayu ke gerobak rokok, dari gerobak rokok ke rumput belakang. Begitu seterusnya, tidak bisa diam sambil meracau gak jelas. Aku juga tidak seberapa ingat apa yang dia racaukan. *hemm ada sih yang aku ingat. Pendekar itu bercerita tentang kegelisahannya, aku mendengarkan racauan tentang kesepiannya, tentang sakit hatinya, tentang dia yang disingkiran, tentang kekosongan. Apakah itu benar aku tidak tahu, anggap sajalah benar.

Lama aku mendengarkan dia bercerita lantas aku menanggapinya. Tapi akhinya aku sadar sedang berbicara pada lelaki yang sedang mengigau. Aku minta dia tidur saja, istirahat. Akhirnya Pendekar itu tertidur di rumput penuh sampah dan pecahan kaca. Kinu yang sedari tadi mengutak atik "teman kerja" om hudan masih berwajah datar dan sabar karna hampir beberapa jam masih saja belom sukses di operasi. Sedangkan lelakiku, aku biarkan saja sendiri.

Kinu sibuk sekali membedah "teman kerja" Om hudan yang katanya kena virus lalu merusak system. gak tau deh apa kamsudnya. Pendekar mabuk itu gelisah sekali, sebentar-sebentar colek-colek kinu. *idihh pendekarnya genit. Ia berkali-kali bertanya dan mencoba memastikan bisa atau tidak "teman kerja"nya diperbaiki tanpa harus kehilangan ingatan

Aku melihat keadaan pendekar mabuk yang terkapar di belakangku. Sesekali tikus datang hendak menggigiti tubuh yang sudah seperti mayat hidup. Atau seekor kucing yang menjilati tubuhnya yang mungkin berbau nasi basi. Aduh.. jadi iba aku padanya. benarkah ia sedang kesepian dan harus mabuk seperti itu. Atau apakah semua pemabuk bernasib sama sepertinya? jadi santapan hewan liar. Akh untunglah ia tidak dikencingi anjing liar. Malam sudah di ujung, setelah ini hari akan beranjak menuju dini hari. Aku, lelakiku dan kinu harus segera pulang.

Kata orang disekitar situ memang begitulah dia. Hampir setiap hari mabuk.. lalu mabuk.. kemudian tepar, bahkan sudah beberapa kali telepon genggamnya hilang karna tertidur di jalanan. Ugh pantas saja beberapa sms terakhirku tak juga sampai. Rupanya Ia baru saja kehilangan lagi.

Pendekar mabuk masih terlelap bahkan tak sedikitpun posisi tubuhnya berubah. Telentang, tidur beratapkan langit. Ternyata bukan hanya gembel saja yang harus tidur beratapkan langit. tapi seorang Hudan. Rupanya ia benar-benar mabuk. Akhirnya kita bertiga memutuskan untuk membangunkan pendekar "tepar" itu dan membopong tidur dalam mobil.

Akh sebenarnya aku tidak ingin menuliskan, dan memosting cerita ini. Tapi karena dia menganggap ini lucu dan ia memintaku untuk menuliskannya. Aku tulis sajalah...! Sekarang di mana lucunya?? Mungkin Om Hudan sedang menertawakan dirinya sendiri.

*110808 pertemuanku dengannya.

Friday, August 08, 2008

Surat Panjang, Kisah Semestinya

Malam nyalang, iba tiba-tiba mengemis risih di pundakmu yang terguncang beku. Sedangkan aku menunduk lesu. bertanya, kisahmu kapankah usai? Aku di sini, menyemaikan rindu yang tercabik digurat matamu. Yang menatapku kosong membayang wajah yang bukan aku. Ini bulan separo milikmu dan kenangan yang selalu kau simpan lalu kau rayakan sendiri .

Kapan kisahmu selesai, nanti bolehkah kutulis lagi kisah seringai serigala. Perempuan malangku.. aku tertunduk, mencuri-curi kau, mengagumimu yang bergumam pada isak yang dalam. Dan kau selalu larut, entah bersembunyi, dalam tawa yang gelar menderam dalam dadaku. Ini kusebut luka perempuanku pengikat janji untuk menjaga dan membangunkanmu pada mimpi. Perempuannku nanti kuajak kau berpesta di tengah padang tanpa sahara dengan danau yang sejuk dan aku bersiap menggelar tubuhku, untuk kau rebah.

Perempuanku apa yang kau tunggu. Sedangkan aku tak ingin matamu selalu nanar setiap kau mendongeng. Rokok yang makin dalam kau hisap, lalu kauhempaskan. sia-sia. Bukan dia.. bukan dia..! Tak mungkin dia berarti. Kau lebih berharga dari apapun, lelaki itu hanya sobekan kertas koran dengan huruf yang terpotong-potong. Sedangkan aku adalah surat panjang yang tertulis setiap malam.

Sby, 8 Agustus 2008