Friday, March 25, 2011

Monolog Moderato Cantabile : Perlahan dan Berlagu

Adaptasi Novel : Gita Pratama

Lembar –Lembar berserakan di sekitar piano. Tubuh perempuan itu mematung diantara kursi merah kecil.

Ayunkan jemari tanganmu. Kau memang harus belajar memainkannya… Kau biarkan perempuan itu setengah berteriak. Ulangi lagi. Perlahan saja… (Dengan nada yang lembut) Betapa menyebalkan bukan?

Ya.. mainkan seperti ini. Tidak, bukan sepertiku, tapi seperti yang tertulis dilembar partitur dari perempuan itu. Menjemukan…

Moderato Cantabile….
Aku tahu kau tak bersungguh-sungguh nak. Ulangi lagi nak… (Lembut)
Kenapa kau lupakan nada-nada itu? Kau harus mau belajar memainkanya.

Senja di dermaga selalu merindukanmu nak.. suatu sore di hari jum’at adalah masa penantianmu. Tunggulah aku disana.

kedai dan dermaga.. Percakapan selalu terhenti di setiap dentang lonceng pabrik. Anakku berlari menggampit tanganku keras-keras, sedangkan laki-laki itu menuangkan anggur lagi ke dalam gelasku.

Perempuan itu memainkan piano dengan nada tak beraturan. Kerap kali ia hanya diam memainkan gaunnya. Lampu bar nyala meremang. Dan bunyi denting gelas, anggur yang di tuang. Anne bangkit menuju meja bar. Memainkan bayangannya di dalam gelas.

Ada yang carut marut di kepalaku, sebuah kedai juga perempuan yang terbunuh. Adapula tentang anak dan juga sebuah Piano. Apakah perempuan itu aku, di waktu lalu saling menindih dengan kenangankusendiri?

Perempuan itu terbunuh ditikam. Dan lelaki disampingnya menjerit. Jeritanya lama nyaring dan berhenti seketika pada puncaknya. Suaru saat aku yakin, aku tentu akan menjerit seperti itu. Mungkin ketika aku melahirkan anak itu.

Perempuan itu sepertiku. Entahlah aku tak pernah mengenalinya. Disaat kejadian, anak perempuan itu berada di depan pintu kedai. Kau tahu betul peristiwa itu? Aku hanya mendengar ketika lelaki itu berteriak.

Tolong segelas anggur lagi…

Dimulai dari kebisuan-kebisuan berkepanjangan yang timbul di antara mereka di malam hari. Dan makin lama mereka makin tidak mampu mengatasinya.


Bising dermaga, ocehan para pelanggan bar.. masih ada sore yang indah. Tuangkan lagi anggur digelasku. Mari ceritakan lagi peristiwa yang sama…

Meja bar, lampu dan suara dari piano. Pelan.. semakin lama cahaya semakin penuh. Suara bising laki-laki dan perempuan terburu-buru dari kapal.

Dengarkan bising mesin kapal di dermaga. Sepanjang sore mengangkut mereka, jiwa-jiwa yang membawa banyak cerita. Bukankah hidup ini terlalu membosankan dengan cerita yang di ulang-ulang. Kadang berjalan lambat tapi juga cepat. (Lelah dan Putus Asa)

Mata pengunjung kedai menatapku, biarkan saja. Chauvin memang lelaki yang selalu membawa cerita yang sama. Tapi, sungguh ak tak punya alasan untuk tidak kembali.

(Bermain Piano, perlahan dan terbata)

Moderato Cantabile…
Apakah begini nona? (bertanya dengan sinins) Anakku sangat menyebalkan jika mulai patuh begitu. Biar aku saja yang selesaikan. Setiap selesai dari sini, ia akan berlari kedermaga, mengamati kapal kapal yang sandar. Sambil terus mengawasiku, tanpa pernah berani mengajakku untuk beranjak.

Rupanya ia dapat membacamu, Chauvin. Dan memberimu banyak kesempatan.

Itu di ujung jalan sana di Boulevard La Mer.. Setiap sore aku membawa kebosanan yang menjemukan disana. Terkadang aku berjalan tak begitu jauh. Tapi terkadang pula sangat terasa jauhnya. (Tersenyum)

Peristiwa kematian itu, telah terjadi Chauvin?

Laki-laki itu tidak mengetahui mana yang lebih disukainya, keinginannya agar perempuan itu tetap hidup sama kuatnya dengan keinginannya agar dia mati. Lama kemudian baru Ia memutuskan bahwa ia lebih menginginkan perempuan itu mati.


Lampu meredup

Aku tak punya waktu banyak..

Mereka tak punya waktu banyak…

Chauvin tuangkan aku anggur lagi…!!

(Di tengah antara bar dan kelas piano)
Bangun atau tidur, dalam pakaian sopan ataupun tidak, kehadiranku memang tidak dihiraukan.

Dari kejauhan, orang dapat terkecoh melihat taman anda yang tertutup menghadap laut, daerah yang paling bagus di kota ini. Namamu Chauvin

Kau nampak bersemangat menceritakannya. Maka aku merajuk agar kau terus berbicara dan aku berjanji tidak akan menanyakan apa apa lagi.

Sore tidak lagi indah, Gelas kaca di meja bar tak lagi memainkan bayanganku. Jari jari anakku selalu menuntunku kembali pulang. Mau berkunjung? Mungkin lain kali.