Tuesday, April 06, 2010

Tentang Hatta Dan Novel Biografi

Novel Biografi : Hatta Hikayat Cinta dan kemerdekaan merupakan sebuah novel biografi berkisah tentang kehidupan hatta yg dibuat dengan rekonstruksi sejarah dimulai saat kehidupan masa kecil, hingga masa pergerakan kemerdekaan.

“Aku tahu para pemuda terus mencela dan mengecam kami karena kedekatan kami dengan jepang. Namun, hari siang bukan karena ayam berkokok, tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang”.


Itu secuil percakapan Hatta kepada Sjahrir, ketika Hatta didesak oleh kaum pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hatta tidak ingin terburu memutuskan hal yang baginya akan merugikan negara yang dicintai di masa depan. Terasa begitu logis sebuah keputusan seseorang jika mengetahui darimana sudut pandangnya.

Saya cukup menikmati jalinan cerita yang dipaparkan, baik dari segi kehalusan bahasa dan pemaparan yang digunakan laiknya bagaimana pemaparan sebuah novel. Novel ini juga memiliki beberapa bidikan unik yang akan sulit ditemui dalam sebuah buku sejarah. Beberapa detail percakapan menarik sangat disayangkan untuk dilewatkan di bagian pertengahan, meskipun di awal novel ini dibuka dengan kesan yang bagi saya sedikit membosankan.

Satu perhatian yang juga ingin saya telaah adalah pemversian cerita ini. Novel ini saya anggap menjadi kurang real karena porsi terbesar adalah lebih membidik masa-masa pergerakan. Ide jahil saya menjadi liar memikirkan, apakah hatta kecil menjalani masa-masa kenakalan lumrah seperti anak-anak lainnya sebayanya? Apa saja kenakalan-kenakalan itu.

Bagi saya mustahil jika ada manusia yang tidak pernah berbuat kecerobohan kecerobohan kecil. Itu juga saya pertanyakan. Akh.. benarkan Seorang Tokoh Besar sesempurna itu. Misalnya saja, apa tidak pernah ia meletakkan kacamata sembarangan setelah membaca. Hal –hal kecil yang menggelitik itu bukankah akan lebih menarik dan lebih mengenalkan pribadi seorang Bung Hatta. Oleh karena itu Novel ini menjadi kurang cair terhadap pembacanya. Kurang bisa lebih mendekatkan tokoh Hatta pada pembaca seperti yang mungkin diinginkan oleh sang penulis.

Akh… sayangnya ketika saya membolak-balik buku ini saya tidak juga menemukan apa yang saya cari itu. Hal ini lah yang menjadikan saya sangsi mempertanyakan kembali ketepatan pelabelan Novel Biografi “Hatta : Hikayat Cinta dan Kemerdekaan” dibanding pemaparan buku sejarah seperti yang saya temui kebanyakan.

Friday, February 26, 2010

Sedang men-cari-mu hingga men-cairi-mu, Puisi

Sebuah Proses "awal" perjalanan

Gita Pratama

Ketika saya ditanya kenapa menulis puisi, maka saya akan jawab tidak tahu. Dan kenapa menulis puisi seperti ini, seperti itu maka sayapun akan tetap menjawab tidak tahu.

Saya mengenal puisi sejak sekolah dasar tapi berani menulis apa yang saya katakan “ini puisi” ketika SMP karena naksir beberapa lawan jenis. Cenderung pemalu ya.. saya cenderung pemalu juga cenderung pelamun. Jadi hanya bisa memandang dari jauh, pergi menyendiri lantas dilamunkan. Tapi tidak ketika saya berada di lingkar teman-teman maka saya tidak lagi menjadi manusia yang bukan penyendiri bahkan pemalu.

"Kata-kata adalah dinding antara ku dan mu"

Rasa sakit, seperti candu. Begitulah yang akhirnya saya simpulkan hingga sekarang. Sakit tentang apa saja, kekecewaan lingkungan, keluarga, alam, politik, agama, juga kesakitan otak akut karena tidak semua bentuk pemikiran bisa terlontar lewat bahasa lisan. Seperti sebuah dinding, kata-kata menjadi perantara memahami aku yang juga Aku-Mu yang lain. Memahami kegelisahan, serta keinginan batin yang tak semuanya mampu terpenuhi. Sebagai tanda penghubung dari banyak hal yang menurut saya “hilang”.
Dunia Gerak, terbatasi. Dunia gerak yang ternyata tak mampu menampung seluruh bayangan juga imaji yang ada di kepala saya. Seluruh bayangan gerak yang berjumpalitan di ruang kepala juga benak batin. Dan di puisi saya menemukan Dunia Diam yang meleluasakan Gerak yang saya bayangkan.

Berawal dari teater saya mengenal dunia yang ternyata penuh keterbalikan makna, kegilaan yang tidak terakui, keseriusan mengurai simbol, serta masih banyak lagi. Hingga saya pun tidak lagi berpikir sekedar aku tapi aku juga aku, aku yang lain. Menjungkir balikkan aku ketika menjadi aku - dia, aku – kalian, aku - kita, aku - aku. Juga aku – sesuatu, tidak menjadi manusia. Dan sayapun menikmati segala proses, kecanduan. Tapi juga rasa lelah mungkin hanya karena kebosanan “sakit” yang panjang. Tapi saya masih selalu merindui dunia itu, Puisi hanya barisan kata, musik hanya barisan nada, tapi teater adalah barisan kompleks segalanya.

Dunia saya kecil, tapi saya ingin membuatnya besar dan luas, agar saya bisa berlarian dan bermain-main sepuasnya. Jiwa anak-anak saya masih ada sampai sekarang, dan saya merasa nyaman terus menerus memeram kekanak -kanakan saya. Berarti saya bisa terus melakukan eksperimen tentang apa saja yang menarik buat saya.

Menulis dengan pena, tulisan tangan saya sama buruknya dengan cakaran kaki-kaki ayam. “Hanya saya dan tuhan yang tahu apa yang saya tulis”, begitu pembelaan saya, jika ada yang mencoba menyindir saya. Untunglah bertemu dengan komputer dan berarti kesaktian bentuk tulisan tangan bukan lagi menjadi kendala.

Dimulai dari membaca, dunia asing yang sudah dijejalkan pada saya sejak saya sudah belajar membaca. Dari komik anak, majalah anak-anak kemudian berlanjut ke majalah remaja. Tapi membeli buku bukan kebiasaan yang juga dijejalkan pada saya. (setelah saya pikir mungkin hanya karena permasalahan ekonomi ayah juga ibu dulu, mungkin juga agar saya tidak menjadi manusia konsumtif walaupun itu berbentuk buku). Maka ketidakpuasan mencari apa yang ingin saya tahu tidak sepenuhnya terpenuhi. Hanya ketika berada di sekolah maka saya sering membolos kelas hanya untuk berlama-lama di ruang baca sekolah.

Ensiklopedia adalah buku favorit pertama saya. Karena kertasnya yang bagus, juga gambarnya yang berwarna-warni. Saya jadi bersemangat untuk kembali belajar menulis (aku baru bisa benar utuh menulis satu kata ketika duduk di kelas 5 SD) tapi sayang ternyata saya tidak bakat menulis. Karena guru, teman atau bahkan saya sendiri bingung membaca tulisan tangan saya itu. Akhirnya pasrah lebih baik tidak menulis daripada saya pusing. Tapi ternyata lebih pusing lagi jika tidak menulis. Nah lho.. jadi bingung lagi saya. Jadi saya menulis saja biar pun bab menulis tangan itu susah, tapi lebih baik daripada kepala saya pusing menahan dunia liar di kepala saya tidak tersalurkan.

Dulu ketika saya berdiam (saya ingat betul waktu masih seumuran SD, saya berdiam hanya ketika sedang buang hajat), bermacam pertanyaan melintas di kepala. Salah satu yang saya ingat adalah kalau saya sedang berpikir tentang orang lain apakah orang lain di saat yang sama, saat ini, keadaan yang sama, sedang melakukan hal yang sama dengan saya, ada yang berpikiran seperti saya saat ini? Selamat bingung teman, pertanyaan saya ini sampai saat ini masih sering muncul.

"Belum bisa membaca, baru sekedar mengeja"


Sampailah saya pada kesimpulan, ternyata saya membaca, juga menulis itu tidak benar-benar membaca ataupun menulis. Tetapi hanya masih sampai pada taraf mengeja, taraf meraba, masih pada tingkat mencari makna yang benar dari kalimat – kalimat itu. Sering ketika saya menulis, saya tidak mengerti apa maksud tulisan yang saya tulis. Setelah berhari-hari atau beberapa waktu barulah saya sedikit paham dengan apa yang saya tulis. Bahkan, saya juga juga tidak tahu apa maksud tulisan yang sedang saya tuliskan ini Apakah teman-teman juga pernah merasa seperti itu?

Saya secara sadar sedang menulis puisi, tapi saya tidak benar-benar menyadari kenapa saya menulis puisi. Pernah pada satu sesi latihan, sutradara saya bertanya “Coba siapa yang sedang menyuruhmu bertopang dagu?”. Saya terkejut, siapa? Saya bingung menjawab. Siapa? Ya mungkin karena saya sendiri yang menyuruh. Tapi dalam hati saya berpikir lagi “Kenapa saya menyuruh tangan saya bertopang dagu?” maka sudah pasti pertanyaan sutradara saya itu tak mampu saya jawab dengan jujur. Masuklah saya pada pencarian kesadaran diri, banyak hal yang secara sadar saya lakukan tapi saya tidak benar-benar sadar apa alasan saya melakukan itu. Jawaban jitu “Saya tidak tahu”.

Pencarian sebagai jalan panjang, petualangan. Ada jiwa yang selalu berkelana, menjelajah di seluruh sudut asing keingintahuan, hingga akhirnya saya memilih puisi sebagai salah satu “rumah” yang nyaman saya tinggali. Ada banyak rumah yang sering saya singgahi, saya seperti orang paling kaya karena bisa memiliki banyak “rumah”. Saya sering singgah di rumah “music”, memain-mainkan nada yang bisa saya mainkan, atau di teater rumah besar dengan banyak taman bermain, juga alam, hutan, gunung, pantai. keindahan murni, juga kesepian yang alami.

"Apakah Puisi itu sepi? Tidak. Sepi-lah yang puisi"

Rasa sepi, saya menemukannya ketika khusyuk menulis puisi. Dimana sumbernya, karena saya menulis puisi atau karena perasaan sepi itu, saya menjadi tergerak berpuisi. Entahlah lagi-lagi saya tidak tahu. Kemampuan saya menemukan jawaban dari pertanyaan iseng saya itu hanya sampai Puisi itu tidak sepi, tapi perasaan sendiri yang sunyi, ramai yang penuh hingga rasanya kosong dan mungkin sepi-lah menjadi sebab lahirnya puisi.

Kebebasan, jawaban dari segala bentuk kemampatan. Saya sendiri mengakui bahwa kebebasan yang sebenarnya saya cari. Kebebasan sebagai individu yang liar, yang selalu terus menerus didera kekosongan panjang, yang masih ingin terus diisi. Tapi semakin kebebasan itu saya cari justru ruang pencarian ini masih saja tidak ada alias nihil. Mungkin karena ini saya masih saja tidak tahu kenapa berpuisi.

Jangan tanyakan saya soal nama atau teori karena saya tidak mampu mengenal atau mengingat dengan baik. Kemampuan mengingat saya payah, saya sering membaca tapi saya seringkali lupa apa yang saya baca. Dan saya tidak ingin membatasi diri saya sendiri dengan tetek bengek seperti itu. Saya mengenal nama-nama Joko pinurbo, Sapardi, Remy sylado, Anton chekov, Pablo neruda, Nietsze, Foucoult, Tolstoy, Emily Dickinson, masih banyak lagi. Karena saya pernah membacanya tapi lebih sering karena mendengar nama itu. Saya membaca buku-bukunya tapi saya juga lupa apa isinya. Betapa saktinya saya tapi juga sakitnya otak saya kalau harus mengingat semuanya.

Jadi pertanyaan kenapa menulis puisi seperti ini seperti itu maka jawaban saya, tidak tahu. Saya masih terus mencari, hingga nanti saya dan puisi bisa mencair di satu wadah yang sama.

Halte Sastra Surabaya, 20 februari 2010

Setelahnya Pak Budi Palopo ingatkan tentang sebuah "omong kosong". Perubahan ruang dan waktu, yang akan menjadikannya benar-benar kosong. Lalu kepala saya menjadi sakit dan semakin sakti sepulang acara itu karena sibuk berpikir. "Apa yang sudah saya omongkan? Kosong".

Wednesday, February 10, 2010

Ketika Kau membiarkan Aku bercerita

Banyak hal yang harus dihapus dari ingatan. Kotak kotak sumbu berwarnawarni rupa meluap di sudut sudut ruang. Salah satunya kau, kau yang berpakaian lusuh dengan wajah melas dan binar mata syahdu. Oh.. betapa iba aku memelukmu. Betapa rindu aku merenangi tikaman basah mata itu. Tapi sungguh harus ada bayangan yang harus segera dihapus.

Jika kau hilir mudik, berloncatan bagai anak kucing liar di tubuhku. Menggodaku dengan seribu macam erangan, lalu aku akan menjadi sepertimu membiarkan kau berpetualang di setiap jengkal kulitku. Memanjakanmu, menggodamu agar kau tak pernah ingin berhitung soal jarak dan juga waktu.

Di atas balkon, sesekali aku menatap ujung jalan berharap ada kesia-siaan yang berubah. Penantian yang memang tak pernah berjanji kapan akan datang. Tubuhku membiru, bibirku membisu dan mataku kubiarkan sembab agar ketika kau tiba- tiba datang nanti. Kau akan bertanya tentang sesuatu yang begitu gelap juga teramat pekat, lantas membiarkan aku membunuh aku di dalam tubuhmu.

Terlalu banyak hal yang kuhapus, satu persatu memakan banyak waktu. Memilih kemudian memilah mengingatnya lagi. Aku duduk di sebuah kursi menatap ujung ranjang dengan selimut yang masih kusut. Entah apa yang aku lihat, sesosok lelaki kurus mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut. Oh... menderas hujanan air mata.

Terasa begitu sakit memunguti semuanya sekarang. Ketika kau telah menjelma menjadi lelaki harimau. Mengukir belang dengan tajamnya jarijari belati yang penuh bercak darahku.

2009- Feb 2010