Saturday, November 21, 2009

Menjelang kelahiranku

Semua tentang Ibu

Anak perempuan pertamanya yang lahir di tengah badai. Sedangkan Ayah yang sibuk menajamkan clurit, memangkas lebat rumput di tanah seberang. Juga kesendirian memeluk tubuhku dalam rahimnya. Dalam dinginnya nada-nada hujan, memanggulku pada ruang bidan. Sendiri sambil tetap menyenandungkan do'a bahagia.

Maka aku ada di tengah keprihatinan. Aku adalah Prihantini, yang tetap pandai menangis walau muak dengan sinetron juga tarian-tarian mimpi. Juga berlagak menarik senyum, pada lelucon sinting walau sudah jengah pada tontonan lelakon manusia setengah gila.

Love my mother

Juga Tentang Ayah


Ayah berdo'a sambil tetap mengalungkan clurit pada bidak bidak hidupnya. Agar kepulangannya bisa membawa sebuah baju, untuk anak perempuan pertamanya. Dan diam-diam memakaikanku baju mungil berwarna ungu itu, tanpa ibu ketahui.

Ayah berdiam, memandangiku dengan tubuhnya yang masih kurus. Memelukku rapat, tapi ia ketakutan tulangnya meremukkanku. Ayah hanya mencium keningku, diam-diam. Tanpa ibu ketahui. Dan aku hanya bisa menangis keras

Ayah tak pernah biarkan aku dan ibuku kedinginan dan kelaparan di setiap musim hujan.

Love my father too

Thursday, October 22, 2009

Bukan jawaban surat kembara - Harap berhenti meratap

Apalagi yang hendak aku tulis malam ini? kata rindu itu berseliweran di bangku taman kota, tapi belum juga ada reronce kalimat berkalung di kepalaku. Penerawangan yang jauh, ranggenganmu adalah mimpi yang membuat telisik dedaun di halaman rumahku berbisik "pagi dan malam adalah kau dan aku yang bertahan pada kesadaran, sedangkan terik siang adalah kau dan aku yang diburu keinginan kesejatian"

Semalam aku di datangi mereka yang menunjukku kebenaran ada padamu. Aku terjaga, keringat seperti air terjun di musim keruh. Air mata terlepas hangat diantara amarah dan kelemahan pasrah. Mereka berkata aku menuju kebenaran sedangkan aku dilingkari ragunya warna. Aku sendiri masih mencari letak kesejatian benar dan salah. Peperang itu hampir membunuhku, siapa hendak benamkan wajahnya, sedangkan bagiku kembara tidak akan pernah mati. Keabadian rasa padanya tetap terjaga di batang dan akar pohon mangga.

Sesekali aku berjalan berputar-putar di sekeliling rumah, memunguti jejak kembara yang mungkin tertinggal. Sehelai rambut panjang tersisip di ujung jalan. Ingatanku berlarian pada belaian rambut yang menyesatkan jemariku di kepalamu. Seperti membacai lagi kemana kembara akan menuju. Ia menuju kesadaran yang lebih tinggi daripada aku.

Diamku di hari terakhir ia terpaksa undur diri, adalah gemuruh yang tak sanggup aku ucapkan. Badai diam yang aku cipta agar kau pergi berlindung pada goa goa pertapaan. Ia pun pamit meminta sekelumit do'a agar ia mampu lancar menerjemahkan luka yang tercetak di dadanya. Diam diam aku pun mengintainya mencuri bahasa keluguan rasa. kepasrahan yang pada akhirnya membuatku benar-benar terdiam.

Entah sampai dimana ia kembali mengembara, ia turut membawaku atau justru melenyapkan aku yang dulu begitu diangankannya.

--Lavina S Wibowo--
Kudus, Oktober 2009

Monday, October 19, 2009

Seperginya Ia - Kembara membawa laku

Halaman rumah bercecer daun daun mangga yang kering. Murammu sepi matahari berdiam diri.

Aku terbangun di siang yang mengusirku dari kelelapan pagi. Setelah kembara itu pergi di waktu lalu, tubuh serasa beku. Tak ada lagi mimpi ketika bulan yang berselimut rindu menunggu seperti dulu. Bahkan malam adalah musuh, dinginnya melelehkan air mataku. Gulungan selumbu berwarna ungu meredam ledak di dada, aku memeluk jiwa yang telah rebah entah di mana. Kembara itu mungkin telah jauh menuju bukit seberang dengan ladang bunga yang beraneka warna. Di sana mungkin ada gubuk didiami peri bersayap rapuh peristirahatan berikutnya.

Akh... aku hanya ingin ia berbalik pulang bukan menujuku tapi pada rumah teduh tempat perempuan menyulam syal abu abu di ambang pintu, usaikan pengembaraannya. Andai aku bisa membalas surat surat itu, tapi aku tak mampu membaca cepat secepat ia menghembuskan asap rokok kretek di muka waktu.

Ingatan itu, pertemuan itu, juga pernikahan semu ketika kata kata menanda jatuhnya hati di halaman rumahku. Kembalilah jeda pada hari yang disuburkan rindu rindu tabu. Ada yang bergolak memaksa perasaan mati celaka. Surat yang tertinggal telah kupungut dan kuletakkan di sudut rumah di balik lukisan berbingkai perak.

Ada yang terbawa, bersama angin yang meniupkan pada perjalanannya yang lain Aku. Gasing melingkar lingkar, tersesat pada labirin, merebut harap dan impian usang sebelum perjumpaan aku pada kembara, pada penantian seorang pedagang yang menjual pernik hiasan rambut.

Halaman rumahku temaram sejak ia pergi membawa laku. Kembara telah tinggalkan jejak, merebut aku seluruh.

--Lavina S Wibowo--
Kudus, 19 Oktober 2009

Menabur Bibit Kenangan

Setelah malam tanpa jeda, sesengguk yang terus di sulam dengan jari jari yang hampir beku. Tidurku terasa teramat lelap. Kembara itupun terlihat begitu nyenyak merebah waktu di halaman rumahku. Tak ada lagi mata nyalang yang sibuk mengintaiku. Aku pun tahu ia begitu lelah, mengawasiku yang terus berlari bersembunyi di balik batu batu bukit. Hingga tubuh ini menggigil dihantui hujatan rindu ingin kembali.

Tapi tidak, aku tak akan berputar arah. Ia adalah kembara yang akan pergi di suatu waktu. Ia telah mempunyai bilik istirah di waktu yang lalu yang mungkin hampir ia lupa. Ini hanya sementara, kini ia terlampau sibuk memenjarakan musim untukku. Ia sendiri berkata kembara tak pernah jenak di ruang yang sama begitu lama. Tak ada abadi baginya selain racauan kata pada kalimah pertanda rasa, karena ia memaklumi diri mudah melupa. Kembara lalu, membawa lentera rindu yang terpaksa redup.

Mungkin malam itulah pertanda usai cerita, juga luka. Bidadari berselendang ungu datang, memanggul tubuhku pada ragu. Mampuku hanya terdiam.

Aku meringkuk di sebalik tirai putih yang menjuntai, angin membelai pelan. Ia telah menjauh menyisakan tapak bayang punggungnya yang membekas gurat - gurat dipan di halaman rumahku itu. Kuseka mata lantas mengeja kata sederhana tentang malam agar katup bibirku tak lagi memanggilnya. Terselip lembar lembar surat di ketiak dahan pohon mangga. Sebagai tanda ia memang pernah ada dan bagiku ia akan tetap ada.

Kembara menabur bibit kenangan, pada usianya nanti kan kusemai sebelum musim hujan kedua tiba.

--Lavina S Wibowo--
Surabaya, 15 Oktober 2009

Friday, June 19, 2009

Dari Kios dan Cerita Kriminal

“Tok..tok.. tok…”
“Dik… dik…itu pintunya tolong dibuka. Ada tamu.”

Lelaki berkaos oblong hijau, jaket jins belel dan kacamata coklat bulat sudah berada di depan pintu rumahku. Menggendong tas ransel sambil bersedekap lantas tersenyum tipis. Mataku terbelalak. Laki-laki ini yang kutemui 7 tahun lalu di sebuah alun-alun kota. Tak ada yang berubah masih tersisa keliaran dari penampilannya, jenggot dibiarkan tumbuh tipis berantakan.

“Alan?”

Ya.. aku mengingatnya. Dulu ia seorang penjaga kios majalah dan koran, aku sering menemaninya setiap kali suntukku datang. Ketika bosan dengan tugas skripsi karena dosen pembimbing yang suka berganti mood seenaknya. Walhasil setiap datang pada beliau tulisanku tak lepas dari tinta gel yang tebal itu. Bosan pada kamar kos yang mengingatkan pada lembar lembar bab yang tak pernah benar. Alun-alun kota aku pilih untuk menitipkan sepi dan jenuh.

“Hai yun..! boleh aku mampir sebentar, aku sedang dalam perjalanan dan melewati kotamu. Untung aku membuka buku alamat di terminal. Dan menemukan nama dan alamatmu.” Lelaki ini seperti tanpa beban datang ke rumahku. Aku menjadi kikuk.

Aku masih ingat setiap aku mampir ke kiosnya, ia akan bercerita tentang berita-berita terhangat lantas mengomentari dengan semangat berapi-api. Padahal `ku belum membaca berita yang sedang ia bahas. Tapi karena pikiranku sedang setengah mabuk akibat skripsi, aku juga sok-sokan menimpali tak kalah bersemangat. Dari soal pasar terbakar yang kemungkinan sengaja dibakar, tentang pejabat yang terbunuh oleh tusukan tukang parkir hanya karena sering dimaki, bocah kecil yang tiba-tiba terkenal karena diangkat menjadi dukun celup, atau pelacur tua yang mampus tercebur ke sungai waktu kejar-kejaran dengan satpol pp. Dari pertemanan itu aku lebih suka menghilang dari absen pacarku sendiri. Aneh menyebut pacar karna aku tidak merasa ada yang bergetar ketika berada dengan lelaki yang kusebut pacar itu. Dan benar saja selepas wisuda, aku dan lelaki “pacar”ku itu memutuskan berpisah.

“Ya masuklah alan. Sebentar kupanggilkan suamiku dulu. Sekalian kau bisa berkenalan dengannya” aku menekankan kata suami dengan amat terpaksa.

Dan kulihat raut wajah alan sedikit berkerut dan menatapku berbeda tapi hanya sebentar. Setelah itu senyum tipis itu datang lagi. Kutinggal ia di ruang tamu sambil melihat foto-fotoku dengan mas ari suamiku. Mas ari menemui alan dan berbicara basa basi. Dari arah dapur aku sedikit menguping pembicaraan mereka. Sambil mengaduk kopi dan menata kue yang kebetulan dapat dari tetangga baru. Aku berpikir keras ada apa alan tiba-tiba datang setelah perginya yang tanpa kabar itu.

…………………………………………..

“Yun, kapan ya kau lulus kuliah?”

Aku langsung berhenti membaca berita di sebuah surat kabar, tentang pembantu yang dibunuh majikan perempuannya lantaran cemburu. Aku lupa pernah bercerita kalau aku kuliah dan sedang mengerjakan tugas akhir. Sudah hampir 6 bulan aku berkenalan dengannya. Dan tiba-tiba ia bertanya tentang nasib kuliahku. Aku kira ia tak perduli apa alasanku sering ke alun-alun. Aku kira ia hanya tertarik berita-berita criminal dan dijadikan bahan lelucon.

“Mungkin akhir bulan ini ujian akhir, trus 2 bulan lagi wisuda…”
“Oh.. abis gitu?”
“Ya pulang kampung, angon kambing atau sapi. Hehehehehe…”
“Wah.. enak ya jadi kambing atau sapi. Aku mau dong di angon juga!” senyumnya hambar. Sekedar basa-basi membalas leluconku.
“Serius yun, setelah lulus kau mau apa?” tanyanya lagi.
“Hemmm…. Aku juga tidak tahu. Bapakku menyuruhku pulang dulu. Padahal aku juga ingin di sini saja. Lihat besok sajalah..!” jawabku malas.

Aku memang payah sudah mau jadi manusia berijazah tapi belum tahu kemana tujuan hidup setelah ini. Masih saja nurut apa kata bapak, padahal aku ingin di kota ini. Walaupun di sini kerap kesepian hampir 4,5 tahun hidup jadi perantau. Tapi entah ada sesuatu beberapa bulan belakangan yang membuatku enggan pulang ke kampung. Mungkin sejak perjumpaanku dengan alan. Aku anak bungsu dan perempuan satu-satunya dikeluargaku, kakak laki-lakiku 3 tahun lebih tua. Setahun setelah lulus SMA ia langsung menikah dengan anak pengusaha gudang tembakau. Bapak waktu itu masih menjabat sebagai kades. Dan dengan jabatannya ia bisa memilihkan jodoh dengan orang yang terpilih bobot, bibit, bebetnya.

Sebenarnya dulu selepas SMA aku juga disuruh segera menikah dengan salah satu anak buah bapak yang masih bujang. Tapi aku menolak, aku melarikan diri ke rumah budhe di Sidoarjo. Aku ingin melanjutkan kuliah dan ingin tahu lebih banyak tentang banyak hal selain sawah, kebun tembakau, sapi dan perangkat desa lainnya. Untunglah ibu berhasil membujuk bapak untuk menuruti kemauanku. Tapi dengan syarat seusai lulus aku harus kembali ke desa.

“Temani aku pergi aja yuk...”
“Kemana?”
“Ehm.. jadi pembunuh bayaran*. Belajar menusukan belati agar korban kita tidak sadar telah berdarah dan kemudian mati tergesa-gesa. Seperti yang biasa kita baca di koran ini.”
“Kuliahmu?”

Alan diam lantas mengambil majalah bergambar perempuan berjilbab. Ia tak menjawab pertanyaanku, seperti tak mendengar. Ia sebenarnya juga seorang mahasiswa semester 5 teknik industri. Tapi ia merasa tidak cocok kuliah teknik, ia lebih suka lintas ke kota-kota yang baru. Dan saat itu ia baru saja kembali dari Kalimantan setelah hampir 4 bulan disana. Kios itu sebenarnya milik tetangga kost. Tapi aku sendiri tidak pernah tahu darimana ia berasal. Yang aku tahu dia juga sendirian di kota ini.

“Anggap saja berakhir. Aku sudah memutuskan berhenti saja, lebih baik aku mewujudkan mimpiku. Aku ingin menjadi pembunuh handal yun..!” ia mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat.
“Maksudmu?”
“Ya aku bisa membunuh dengan dongeng yang kubawa dari kota-kota itu. Dunia ini tak sekedar angka dan rumus. Tak mudah untuk dihitung. Seperti kisah kriminal di koran - koran ini.”
“Kenapa?”
“Ayahku meninggal 6 tahun lalu, setelah ibuku ketahuan selingkuh. Lalu Ibu kembali untuk mengambilku. Aku sendirian waktu itu. Aku bingung.. Lantas Ibu menikah lagi dengan seorang mahasiswa lelaki selingkuhannya itu. Aku kabur.. Dan yah sekarang beginilah aku.” Ia bercerita datar saja. Lantas ia terkekeh melihat headline gosip di majalah yang ia sedang pegang.

Aku tak berani bertanya-tanya lagi. Membiarkan ia membaca dan aku juga pura-pura membaca tabloid memasak yang letaknya lebih dekat dengan jangkauanku.

“Yun, penulis berita ini hebat ya.. mereka bisa membunuh dengan cepat. Tapi korban-korbannya tak sadar. Meraka mati tanpa berdarah-darah. Lihat saja kita setiap hari membaca koran kriminal, terbiasa dengan cerita seperti ini. Sampai akhirnya kita cuma bisa tertawa saja karna kengerian itu sudah kebas.” Rokok yang sudah sampai di pangkal ia buang ke tanah dan menginjaknya dengan gemas.

Aku hanya mengangguk. Apa yang diucapkan benar, pantas saja ia bisa bercerita tentang riwayat keluarganya biasa saja. Toh di televisi, di koran, banyak gosip dan berita serupa dengan cerita Alan itu dan sudah biasa terjadi dimana-mana. Kata orang kenyataan itu lebih kejam tapi sekarang tidak, berita-berita ini lebih kejam dari kenyataan yang tertangkap oleh indraku.

“Gimana tawaranku?” Ia kembali bertanya dan mengambil tabloid yang sedang aku bolak-balik.
“Tidak” aku menggeleng.pelan.
“Aku sudah berjanji alan, lihat nanti saja. Aku belum tahu setelah ini aku mau apa” jawabku putus asa karena sebenarnya aku berat menolak permohonan alan ini.

Sejak penolakanku Alan menghilang. Kata pemilik kios itu ia sudah berkelana lagi entah kemana. Dan sisa penantian kelulusan yang tinggal dua bulan itu aku lewati sendiri. Kali ini benar-benar sendiri. Aku jadi lebih sering pulang ke kediri setiap seminggu sekali.

…………………………………………..

“Apa kabarmu?” memulai pertanyaan basa-basi ini berat sekali. Seperti ada barbell 5 kilo di ujung lidahku.
“Baik.. selamat.. dan aku sudah menjadi pembunuh bayaran yang sukses. Gimana? Tawaranku yang dulu?” Pertanyaan itu ia lemparkan dengan santainya.

Aduh.. Ia bertanya lagi sebuah pertanyaan yang bertahun-tahun ini aku sesali karna jawabanku itu. Aku Cuma bisa tersenyum membalas pertanyaan itu.

“Bagaimana kau bisa sampai ke rumahku? Bohong kalau kau bilang lihat di buku rongsokanmu itu.”
“Ya.. aku datang ke rumah bapakmu, sesuai alamat yang aku dapat dari teman kuliahmu dulu. Jangan tanya bagaimana aku bisa dapat ya?” matanya menatapku.
“Pada bapakmu Aku mengaku teman kampus dan hendak membuat acara reuni bla.. bla.. bla.. dan yah.. di sini sekarang aku” Senyum liciknya itu. Ia terkekeh seakan sedang menertawai berita pembunuhan sadis, seperti dulu.
“Masih saja kau bercanda dengan kesadisan yaa? Dosa tuh bohongin orang.” akupun tertawa. Sebenarnya aku suka dengan caranya, aku suka ia sedikit berbohong untuk bisa menemuiku.
“Lantas apa yang tadi yang kau bicarakan dengan mas Ari? Dongeng apa yang kau sampaikan?”
“Itu rahasia lelaki, Yuniar Pratiwi.. Yang jelas ia percaya padaku. Buktinya ia pergi memancing. Ini kegiatannya tiap sabtu khan?” Lagi-lagi ia tertawa senang.
Sial ia masih mengingat nama lengkapku, dan sudah tahu sedikit tentang kebiasaan mas Ari. Sedangkan aku sudah lupa siapa nama lengkapnya dan belum tahu sedikitpun maksud kedatangannya ke sini. Rupanya ia sudah diijinkan mas Ari untuk sering ke rumah, dengan alasan di kota ini ia sendiri dan tak punya kerabat sama sekali.

“Besok aku kemari lagi ya yun.. sampaikan salam pada masmu itu” setelah menyeruput kopi yang aku suguhkan ia pamit pulang.

Keesokan harinya, minggu siang Alan benar-benar datang. Waktu itu mas Ari sedang pergi dengan teman-temannya. Begitulah setiap weekend mas ari lebih suka pergi bersama teman-temannya. Di usia perkawinan yang hampir 6 tahun ini kami belum juga dikaruniai anak jadi akupun sering kesepian di rumah. Tapi rumah tangga ini masih berjalan normal jarang sekali bertengkar bias dibilang tak pernah. Perkawinan tanpa ombak, demikian tenang bahkan terlalu tenang.

Mas Ari lelaki pilihan bapak, itu mudah ditebak karena sejarah orang tuaku dulu, juga kakakku begitu. Apalagi di desa perempuan diatas 24 tahun belum menikah bisa diangap perawan tua. Aku nurut, karena bapak dulu sudah mengijinkan aku kuliah. Tapi entah sejak kedatangan alan kemarin aku rasa penyesalan itu datang lagi. Buat apa kuliah kalau hanya untuk jadi istri yang mendekam di rumah. Tawaran Alan dulu kembali mengusikku. Seandainya.. seandainya.. tak seharusnya aku jadi perempuan yang nrimo. Kota ini terlalu sepi, bahkan rumah tanggakupun terlampau sepi.

“Alan. Apa alasanmu menemuiku?”
“Hem.. buatkan aku kopi dulu nanti aku akan mendongeng untukmu”
“Jadi ini hasilmu jadi pembunuh bayaran tanpa mitra?” sungutku tapi aku tetap berdiri dan membuatkannya kopi.

Aku keluar membawa kopi dan sebuah koran lokal. Entah tiba-tiba saja tadi pagi aku pergi ke kios majalah mencari koran kriminal. Aku takut kehabisan bahan pembicaraan nanti jika Alan datang. Maka aku membeli satu, terserah koran apa karena dulu alan juga membaca acak apa saja yang ada di kiosnya.

“Pengusaha Kredit Motor Tewas Digasak Perampok Berdarah” itulah headline yang tertulis dihalaman depan. Alan tersenyum ketika tahu aku membawa Koran.

“Wah kau sudah siapkan hidangan yang lezat untuk dibantai siang ini ya yun”
“Hehehe… mungkin nanti kau lupa bercerita tujuanmu kesini daripada sepi jadi kubelikan ini untukmu.”

Lantas ia mengeluarkan koran dari balik jaketnya. Ternyata yang dibawa Alan dan koran yang kubawa sama.

“Aku juga takut lupa apa tujuanku kemari jadi kubawa ini” ia tersenyum. Kemudian kamipun tertawa menyadari ketololan ini. Sungguh hampir saja aku lupa, kalau aku pernah tertawa selepas ini. Selama bertahun-tahun sejak menikah aku tak pernah bisa tertawa seperti ini. Di depan mas Ari, suamiku aku selalu berusaha menjadi istri baik, dan menjaga prilaku di depan kolega-koleganya. 

Siang itu ruang tamu rumahku seperti kedatangan sekelompok kupu-kupu berwarna warni, kami berkelakar menentukan siapa yang bakal masuk neraka nantinya. Bisa jadi si pengusaha itu digasak perampok karena kalau menagih kasar dan tidak kasih tenggat waktu. Bisa jadi perampok ini adalah konsumennya yang jengkel karena ditagih terus. Atau bisa jadi perampok ini selingkuhan istri pengusaha dan biar tidak terlihat motif pembunuhan terencana maka sekalian merampok. Berandai-andai saja seperti itu membuat waktuku terasa berlari-larian. 
“Lantas kau mau merampok apa di kota ini?”.
“Kamu dong Yun..!”.
“Kalau begitu segera saja”
“Tunggu saja, aku tidak akan pakai cara semudah itu. Khan aku sudah bilang aku pembunuh bayaran yang handal sekarang. korbanku tak sadar sudah mati terbunuh. Kalau perampokan ecek ecek sih cuma bikin heboh saja, nanti malah masuk berita Koran beginian ya gak serulah.”
“Oh.. kamu mau bilang aku sudah mati tanpa aku sadar?”
“Hemm.. kalau kamu bukan korbanku tapi partnerku. Dan aku akan menawarkan yang sudah pernah kamu tolak”
“Jadi itu tujuanmu kemari?”
“Ya….Yun aku dapat sponsor untuk melakukan perjalanan ke Kongo. Dan aku masih tetap butuh partner. 3 Bulan lagi aku akan berangkat. Seluruh plosok negeri ini sudah aku habiskan.”
Aku diam, bagaimana aku menjawabnya. Dulu atau sekarang lagi-lagi aku tak bisa memilih.
“Tapi kali ini terakhir kali aku mengajakmu. Aku tahu kau sudah mempunyai keluarga walaupun belum memiliki anak. Itulah kenapa aku berani menawarimu lagi. Kalau kau menolak lagi berarti kau memang…. Ahhh ya sudahlah. Aku pulang saja ya Yun..”

……………………………………..

Sudah 3 hari Alan tak lagi datang ke rumah. Aku juga tak ingin mencarinya. Kesadaranku seperti kembali, aku bukan lagi gadis yang putus asa karna tugas akhir, kluyuran ke alun-alun kota. Nongkrong di kios majalah sampai malam. Dan aku juga tak ingin Alan terlalu berharap aku menerima tawarannya itu. Hanya dari pembantu tetangga sebelah rumahku yang mengabarkan Alan masih ada di rumah kost-nya.

Rumah tanggaku pun kembali tenang dan jauh lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Mas Ari juga tak pernah bertanya lagi kemana Alan. Aku memutuskan untuk kembali fokus di cerita yang ini saja. Bersepi sepi di lautan yang tak berombak. Membosankan tapi ini yang menjadi garisku sekarang.

.................................................

“Dik.. boleh aku bicara?” Mas Ari memulai pembicaraan malam itu.
“Ya mas..”
“Boleh aku menikah lagi?”
“Kenapa?” tanyaku datar
“Perempuanku hamil.” Jawabnya pelan
Aku tak merespon tak ada sedikitpun rasa sedih atau marah yang menyelinap. Seperti ada belati yang ditarik pelan-pelan. Rupanya aku sudah mati sejak bertahun-tahun lalu. Dibunuh pelan-pelan oleh ketenangan yang teramat tenang. Tak sakit, aku sudah terlalu kebas untuk merasai rumah tangga sepi ini. Perkawinan ini adalah pembunuh paling sadis yang aku alami tapi entah aku benar-benar tak merasakan apa-apa. Mungkin karena berita-berita yang sering bersliweran itu.

“Ya.. silahkan nikahi dia. Dan besok segara ajukan surat gugatan cerai untukku ya mas”
“Maaf ya dik.”

Aku hanya bisa membuat lengkungan kecil di bibirku, tak ingin melanjutkan pembicaraan ini.
Alan, penyesalan ini datang lagi.

Surabaya, Juni 2009

Friday, June 05, 2009

Pesta Esok dan Tangis yang MengCrystal

Aku hanya ingin bercerita tentang pesta tanpa gaun, pendar lampu-lampu kristal ataupun meja penuh hidangan lezat. Pesta yang membuat semua orang tertawa geram dan tangis tertahan. Di tengah kelahiran, ruang lain justru sedang meregang nyawa, mengurai keringat dari bulir-bulir kenangan yang dingin. Malam ini adalah cerita kematian dari tawa yang sunyi. Dari malam yang sepi tentang kepala botak merah darah. Juga kelahiran dari sepi yang riuh, dari malam yang sibuk bercerita tentang penggalan kepala berhias kata-kata.

Di sebuah bangku telah duduk seorang entah laki-laki atau perempuan, hanya kerut kulit keriputnya, menanda jompo. Bibirnya rapat terkatup, tak ada suara hanya tatapan mata nyalang. Mengawasi riang bocah yang sedang merayakan kotak-kotak kayu yang semakin tinggi tersusun. Ia melihatnya, mengingat dulu ketika ia menganyam rotan dijadikan boneka dengan mata bermanik manik kacang kedelai, bibir datar dari benang wol. Dulu ia juga bahagia, terbahak ketika kedua tangannya masih lihai merajut rotan lalu diletakkan dekat bongkah pualam besar. Di dasar goa yang baginya telah tuntas ditaklukkan.

Ini cerita tentang gempita kenangan dan dada-dada yang semakin tinggi ditarik terbang ke langit. Lantas bernyanyi tentang seribu cita-cita menaklukkan malam, lantas diganti dengan semua siang. Hidangan hampir basi karna undangan sibuk Bercengkrama dengan kenangan. Kenangan itu mengasikkan juga mematikan. Mata dijungkir balik menertawai lucunya bayi yang merangkak. Tapi semakin menua usia, mereka lepas, meregang mencari diri sendiri. Tak patut ada yang dipestakan disetiap kelahiran karena kematian itu pasti. Siapa yang rela pada setiap perpisahan, hanya tangis duka yang tertahan. juga kelahiran yang mati sendiri, tawa bahagia yang tersembunyi. Tetap saja kelahiran dan kematian ini bukan milik nyanyian - nyanyian do'a. ini milik ESOK, bukan milik kenangan kemarin atau lampau.


Di sini semua duduk melingkar, bersila, menatap wajah-wajah maya. yang entah kapan ESOK pasti pergi lagi. Semakin jauh, melanglang menuju negeri kata-kata, negeri sunyi, negeri berkepala ungu atau juga justru sembunyi di dada-dada yang berisak tangis kematian dan kelahiran.

Surabaya, 5 Juni 2009

Thursday, May 07, 2009

Perpus Emperan

Suasana Pendopo alun-alun Sidoarjo jam 3 sore masih lengang. Para pedagang masih sibuk bersiap-siap dengan gerobak dan barang dagangannya. Tapi sudah banyak pengamen dan bocah anak dari pedagang yang bermain disekitar areal alun-alun Sidoarjo. Kami menggelar tikar, mendata, menata buku dan spanduk digelar. Hoplaa.. perpuspun akhirnya siap disantap. Koleksi perpustakaan kami berasal dari lemari masing-masing anggota, juga didapat dari sumbangan dari beberapa kawan di luar kota.

Pengunjung kami, gadis kecil bernama Anisa dan Arum, Anisa suka sekali membaca, menulis, berhitung dan bernyanyi. Si kecil arum suka mengobrak-abrik tatanan buku. Tingkahnya lucu, setiap melihat gambar di buku ia akan berteriak "etan..etan.." ehm setan kali ya yang dimaksud. Kalau Anis sudah mengerti bagaimana memperlakukan buku walaupun belum bisa lancar membaca. Jadi aku memperlihatkan gambar-gambar di majalah bobo dan membacakan untuknya. Bosan membaca, mereka meminta kertas untuk menulis, berhitung dan menggambar. Di sebelah emperan kami ada ibu-ibu penjual kerupuk, beliau menghardik arum karena takut tempat kami dibuat rusuh.

Semakin sore pendopo alun-alun sidoarjo semakin ramai, Rata-rata pengunjung kami adalah anak-anak dari pedagang di sana. Mereka asik membaca komik, majalah, tapi terkadang mereka bertengkar memperebutkan buku atau mencoba berebut perhatian dari kami. Terkadang orang tua merekapun datang untuk meminjam majalah wanita, buku resep masakan.

Ada seorang ibu penjual jajanan kecil, dia mencari buku cerita untuk anaknya supaya lancar membaca. Tapi anak perempuannya entah bermain dimana. Akhirnya ibu itu sendiri yang meminjam majalah perempuan untuk dibaca sendiri. Mendekati maghrib datang lagi bocah perempuan bernama Sofi ternyata anak dari ibu-ibu penjual jajanan kecil tadi. Sofi lebih pandai membaca daripada Anis. Tapi masih suka lupa-lupa. Dia juga belajar berhitung, menggambar bersama kami.

Bocah-bocah itu tingkahnya lucu kalau sudah datang bosannya maka mereka akan pergi berlarian kemudian kembali lagi minta membaca. Kami berjanji untuk membawakan kertas mewarnai untuk mereka. Anak-anak KIBAR (komunitas seni sidoarjo) juga membantu. Habis maghrib susana alun-alun semakin ramai. Terkadang kamipun membacakan cerita mendongeng sebisa kami. Atau mengajak mereka menulis sebuah cerita sendiri.

Pada awal buka perpus (Des08) para pengunjung rata-rata masih bingung, buku-buku ini dijual atau bagaimana. Maklum konsep hanya baca ditempat gratis belum umum. Kami menyadari memang butuh sosialisasi Perpus Ngemper agak lama. Beberapa orang pengunjung alun-alun datang melihat dan kami persilahkan untuk membaca di sana. Mereka suka sekali, ada yang minta buku tentang agama, sastra, bacaan anak, pertukangan, bahkan perdukunan eh bukan cuma ramalan bintang.

Sekitar jam delapan kamipun membereskan TKP (tempat kejadian perpus). Karena semakin malam alun-alun semakin ramai dan kamipun sudah mulai kelelahan. Setelah melihat langsung kondisi di lapangan, maka kamipun memutuskan Perpus Ngemper tetap digelar di pendopo alun-alun sidoarjo. Setiap dua minggu sekali di hari minggu sore kami datang, ini semata karena keterbatasan tenaga kami saja. Selain itu kendala cuaca yang membuat kami tak bisa datang. Karena takut buku-buku kami basah karena hujan.

Thursday, April 09, 2009

Cerita Ini Menganggu Tidurku

Serapuh angin, dilebur untaian mantra. Matamu adalah kisah yang lupa. Dan tak akan pernah kutemukan yang tersembunyi dalam desah tawa kecilmu

Sepagi ini.. jam weker akhirnya berbunyi juga. Sengaja aku setel jam 7 pagi. Tapi dari 6 jam yang lalu mataku belum juga sukses terkatup. Tak ada satu mimpipun berdatangan seperti malam-malam sebelumnya

"Ok, ada tenda? kemana?" Aku sengaja mengajaknya gara-gara jadwal plesir yang direncanakan batal. Dan kakiku sudah mulai gatal melanglang lagi. Apapunlah aku lakukan asal bisa pergi. Kali ini cuma dia satu-satunya harapan yang ada.

Jawaban itu sudah aku duga. Mengajaknya pergi berdua, sama saja menawarkan diri. membiarkannya melesat semakin intim ke tiap jengkal kulit. Tapi tidak perkara yang lain. Sikapnya akan tetap sekeras baja, bermain dan aku adalah tawanan perang. Begitulah, kutawarkan tubuh maka dengan senang hati dadanya terbuka lebar. Padahal dari siang aku mengajaknya sekedar makan siang bersama tak ada satupun balasan. Shit..!

Dalam gamang, ambang tidurpun tak juga lelap. Apa yang nanti akan dilakukannya padaku. Satu dalam tuang yang samar, cahaya yang temaram. bulanpun diijankannya masuk. Berdua saja seperti cerita dulu. Tapi kali ini mungkin akan lebih. Aku kelimpungan, tubuhku menginginkannya tapi otakku menolaknya. Apa yang aku inginkan darinya tak juga aku dapatkan. Hati..! Aku mencari Hati-nya. Untuk kulahap dan tiap tetes darahnya mengalir dalam tubuhku.

Udara di sana pasti dingin, dan malam ini aku sudah bisa membayangkan tubuhnya bermain liar di atas tubuhku. Dan di dekapannya, sekali lagi aku akan bercerita sendiri, berkesah sendiri, dan tetap menangis sendiri.

Secuil harap, selalu ditiupkan pada lembar daun hijau muda, hingga pada akhirnya sulur-sulurnya merambah menyetubuhi panasnya sinar. hangat.. lembab.. keras..! Hingga pada akhirnya patah dan jatuh di dasar tanah coklat kemerahan

Cerita ini mengganggu tidurku. Keringat sebesar butir jagung meleleh, berkejaran diliuk-liuk urat leher. Sambil menghitung jarak antara batas norma dan dosa. Baginya tubuhku semacam manekin. Diombang-ambingkan di depan teras toko. Dipajang sebentar kemudian disetubuhi di belakang etalase toko. Sebiadap itukah dia? Entah bagiku Ia seperti angin panas yang menyeruak di sebalik tengkuk. Mengiangkan mantra tidur agar aku tetap terlelap, menjaga cerita tetap hanya tentangnya.

Kusentuh remote tape lantas kunyalakan dan memutar bella's lullaby. Denting piano, lembut menyusup di liang telinga. Meniupkan angin yang dingin. Mata berkali-kali mengerjap dan mulut sudah berkali-kali menguap. Tapi ada sesuatu di dalam batin dan pikiran yang masih berjaga. Semacam algojo memegang cambuk, melukai di tempat yang sama, menjagaku agar tak segera menyudahi cerita ini.


Tapi ini sudah menjelang shubuh. Matahari mengintai dengan sinis. Tidak ada air matapun yang jatuh kali ini. Mungkin tetes-tetesnya sudah bosan turun akibat hal yang sama. Bosan pada cerita usang yang tak juga tamat. Bosan pada resah hal yang sama.

"Kamu bagian logistiknya ya?" Sial.. Ia benar-benar mencoba keinginanku. Menolaknya berarti menyia-nyiakan kedatangannya padaku. dan dia akan pergi lagi seperti sebelum-sebelumnya. Itu yang tidak aku inginkan. Mauku, semalaman lomba tak pejam mata, hanya berdua duduk bersebelahan, dan kepalaku kusandarkan di bahunya di depan pintu tenda. Menggumamkan bulan yang gagah pamer sayap di langit. atau hanya sekedar bertanya "Kapan hidup kita akan melaju?"

Rongga dada terasa lebih sesak, entah karena gelembung payudaraku membesar atau degup ini memompa darah lebih kencang. Entahlah? Yang aku tahu mata ini mengerjap-ngerjap seperti boneka yang rusak peer matanya. Boneka yang hampir putus lengannya karena bertahun-tahun dimainkan dengan jalan cerita yang sama.

"Aku akan membayarnya, biarkan aku tidur sejenak", kutawarkan harga lebih untuk tidur pagi ini. Hingga nanti siang mataku bisa kembali nyalang. Jika tidak, setidaknya mata ini biarkan terpejam, kepala tetap melingkar pikir semacam gasing, menulis rumus logika atau sekedar berpikir akhir cerita. Tapi aku sungguh tak punya kuasa akan itu.

Cerita ini menggantungku seperti jemuran yang digantang bertahun-tahun di tali rami. Rapuh..

Sby,9 April 2009