Monday, October 19, 2009

Menabur Bibit Kenangan

Setelah malam tanpa jeda, sesengguk yang terus di sulam dengan jari jari yang hampir beku. Tidurku terasa teramat lelap. Kembara itupun terlihat begitu nyenyak merebah waktu di halaman rumahku. Tak ada lagi mata nyalang yang sibuk mengintaiku. Aku pun tahu ia begitu lelah, mengawasiku yang terus berlari bersembunyi di balik batu batu bukit. Hingga tubuh ini menggigil dihantui hujatan rindu ingin kembali.

Tapi tidak, aku tak akan berputar arah. Ia adalah kembara yang akan pergi di suatu waktu. Ia telah mempunyai bilik istirah di waktu yang lalu yang mungkin hampir ia lupa. Ini hanya sementara, kini ia terlampau sibuk memenjarakan musim untukku. Ia sendiri berkata kembara tak pernah jenak di ruang yang sama begitu lama. Tak ada abadi baginya selain racauan kata pada kalimah pertanda rasa, karena ia memaklumi diri mudah melupa. Kembara lalu, membawa lentera rindu yang terpaksa redup.

Mungkin malam itulah pertanda usai cerita, juga luka. Bidadari berselendang ungu datang, memanggul tubuhku pada ragu. Mampuku hanya terdiam.

Aku meringkuk di sebalik tirai putih yang menjuntai, angin membelai pelan. Ia telah menjauh menyisakan tapak bayang punggungnya yang membekas gurat - gurat dipan di halaman rumahku itu. Kuseka mata lantas mengeja kata sederhana tentang malam agar katup bibirku tak lagi memanggilnya. Terselip lembar lembar surat di ketiak dahan pohon mangga. Sebagai tanda ia memang pernah ada dan bagiku ia akan tetap ada.

Kembara menabur bibit kenangan, pada usianya nanti kan kusemai sebelum musim hujan kedua tiba.

--Lavina S Wibowo--
Surabaya, 15 Oktober 2009

No comments: