ADAPTASI NOVEL
THE SOULS MOONLIGHT SONATA
Oleh Gita Pratama
Adegan Pertama
(Ruangan suram) Perempuan di atas kursi roda. Wajahnya yang mulai mengerut, sinar matanya seperti sorot bulan yang jatuh, sintal tubuh dan keelokan di masa muda masih terpancar.
Iringan Biola… perempuan tua dengan kursi roda masuk perlahan.
Lelaki itu, memilihku. Kecantikan hanya penting di bawah empat puluh tahun (mengingsut perlahan di atas kursi roda). Setelahnya aku hanya perempuan tua yang pelan-pelan lumpuh. Osteoporosis telah menggerogoti seluruh sel tulang-tulangku.
Lelaki itu nyaris sempurna karena telah memiliku. Lekuk tubuh serupa biola yang ia pujapun mengendor, rahimku telah memberi dua anak untuknya. (wajahnya terangkat, menarik seluruh cahaya yang membias di ruangan itu)
Lelaki itu memesona, sungguh dia lelaki baik-baik. Aku rela menyimpan segenap nafas dan hidup untuknya, Tapi dia adalah manusia biasa. Aku melihat bayangan di balik tubuhnya tiba-tiba menjadi suram.
Lelaki itu tinggalkan kelam cerita di putaran roda kursi ini. Seperti pusaran waktu yang melingkar semakin merapat di tubuhku, Aku tidak sedang berpijak di antara pilihan. Karena…
Lelaki itu suamiku.
Adegan Kedua
Biola dan derit pintu…
Dan perempuan tua yang terduduk di kursi bambu.
Matanya yang senja, menatap tajam di sudut pintu.
Hana…. Kaukah itu..? Kenapa tak berkabar kalau pulang. (sepi)
Oh.. Lolita.. apa itu kau? Cepat sekali kau pulang nak… (masih juga sepi)
Bukan.. itu bukan mereka. (Ia menghela, menelan harap kerinduan akan anak-anaknya)
Lalu Siapa perempuan muda menenteng biola itu?
(Cahaya menyentuh seluruh tubuh perempuan tua)
Perempuan itu, membawa bayangannya ke dalam rumahku. Berwarna pelangi, bukan abu kelam seperti bayangan suamiku. Berwarna kuning pucat, persis seperti cahaya bulan. Tapi aku sungguh membencinya, membenci perut buncitnya.
Perempuan itu, babu yang kukasihani. Meninggalkan halaman kelam di catatan rumahku. Di pintu ia tinggalkan bayinya juga selembar kain membercak darah dosa.
Perempuan itu, entah sengaja menyiapkan senjata di balik punggungnya ketika aku lengah. Atau lelakiku yang baik-baik itu, menyimpan seringai serigala ketika aku telah menjadi ibu bagi anak-anaknya dan bukan lagi perempuan yang menjadikannya nafas hidupku.
Sungguh salah… (nada getir yang ditekan) jika perempuan menggantungkan hidup pada laki-laki. Meskipun Ia telah berjanji akan setia sampai mati. Lelaki tetaplah makhluk pemangsa.
Dan bayi itu telah lahir dari kesalahan.
Adegan Ketiga
Perempuan tua di atas kursi roda. Membelakangi cahaya.
Gadis itu berdiri di depanku. Memainkan biola seperti suamiku dulu. Penuh cinta, penuh keyakinan, dan aura perak melingkar di tubuhnya setiap kali ia menggampit biola di lipatan dagunya.
Ini rahasia yang tersingkap di sela-sela album foto keluarga. Ini aib yang tak ingin lagi kujadikan beban. Aku telah memaafkannya, tapi masih saja luka itu mengintip tiap kali ia memanggilku. Ini rahasia yang kutulis tipis di urat-uratku yang makin mengerut.
Padmaningrum, gadis berbakat dan penuh gairah yang tak lagi kubenci. Aku mengasihinya. Karena ia anak suamiku. Kau tau.. kau jelmaan lelaki baik-baik itu. Biola yang kau tenteng itu menyimpan roh ayahmu. Tanpa kau ketahui.
Perempuan itu bukan pelacur…
Ibumu bukan pelacur nak... Ia hanya berada di waktu dan tempat yang salah. Dan kau terpaksa menerimanya menjadi bagian dari hidupmu, dosa yang tak akan dapat kau mengerti.
Gadis itu.. sepertiku.. menyalahkan diri. Coba endapkan dendam yang menggemuruh. Aku merasakannya. Biarkan meledak dalam dekapku nak.. Tapi sungguh kebisuan sejenak adalah senjata bermata dua yang akan menghancurkan segalanya.
Aku dan kau adalah korban. Korban dari lelaki baik-baikku dan juga perempuan itu.
Dan kau tidak akan sempat memilih.
Adegan Keempat
(Wajahnya tersenyum genit, walau tubuh nya masih terpaku di atas kursi roda.)
Aku masih menyimpannya Pak..! Cincin yang kau buatkan untuk ke tiga anakmu. Yohana, Lolita dan gadis itu, Padmaningrum bayi hitam dan kurus yang ditinggalkan babumu untukku. (Sambil tersenyum perempuan itu menggumam mesra, berbicara pada sepinya)
Aku tahu. Aku tahu, sebelum ajal menemuiku masih ada wasiat darimu yang belum tuntas. Dan sekarang adalah saat yang kunantikan sejak kepergianmu.
(tiba-tiba perempuan itu meracau)
Bayi suamiku dari rahim babuku. Lantas aku siapa? Lantas aku apa?
Bayi hitam dan kumal, telah menjadi dia… gadis itu.. Padma..
Ia bersimpuh di lututku, terisak. Lelaki itu.. Gadis ini..
(wajahnya terangkat mengembalikan kesadarannya, lalu membelai gadis yang berada di pangkuannya)
Dendam telah lama terhapus.., setidaknya kau juga akan begitu. Ayahmu telah lama tertidur mendekap senyum ke-lila-anku.
Padma.. Simpan cincin ini untukmu. Dari Ayahmu…
Perlahan suara moonlight sonata terdengar, seiring redupnya cahaya ruangan
Surabaya, 5 Februari 2011
Wednesday, February 09, 2011
Naskah Monolog Perempuan dan Kursi Roda
Monday, February 18, 2008
[Puan] Malam Sejuk yang Memuakkan
Akupun melaju kencang dengan motor kesayanganku, menerabas beberapa lampu merah dan mengacuhkan dingin yang menerpa mukaku. Akh... sial telat lagi!!! jam 19.35 seharusnya sejak jam 19.00 tadi aku sampai di pekuburan jasadku, menenggelamkan Gita menjadi Gulita si lonte tua. Sial sial sial... dan aku semakin cepat menarik gas motorku.. tak lagi peduli limbung angin yang menghujam tanpa hujan.
Anjing hitam bermata merah itu mengintaiku *
Anjing hitam itu mengintaiku, mengawasiku, menertawaiku yang gelak sendiri, lelah sendiri, bingung sendiri, yang dia tau aku harus sampai dan fokus.. fokus...! Akhirnya aku tiba di tempat, mengintai pintu pintu yang tertutup. kemanakah aku harus menuju,
Tak adakah jalan untukku kembali.*
dengan kecepatan degup yang entah berapa detak perdetik. wajah wajah buram para Puan yang sejak siang lelah dimakan rutinitas berproses hampir 2 bulan belakangan ini. Sedangkan kepalaku penuh dengan bermacam macam kerlip katakata prosa, puisi dan dentum musik genit . Perempuan gila berwajah tambun, roh puan, puan tua dan sang penguasa lakon panggung sutradara gemuk berwajah lembut yang akhir akhir ini menjadi begitu seram buatku (seperti anjing hitam bermata merah) mengisi ruang yang lebar sebesar gedung neraka tanpa api tanpa alat alat penyiksaan, hanya desahan yang panas ditelinga. Membakar ego yang tenggelam entah di dasar mana.
Kereta laju... kemana keretaku... bawa aku serta!! ough.. apakah tak cukup membawaku seorang diri*
bawa aku pindah menuju ruang yang kelam menenggelamkanku dalam segudang rutinitas, mengukuhkan aku kemana harus tinggal. Dan aku masih diam menunggu di bangku ruang tunggu dengan sebatang rokok yang tak boleh dinyalakan sampai nanti adegan per adegan tuntas. dan mereka semua terbatuk batuk pada asap yang kuhembuskan. Dengan gelisah lupa pada dialog dialog dan bentuk rupa rupa dimana aku berdiri duduk. Seperti sebuah penantian eksekusi mati, sungguh aku ingin kembali ke masa metamorfosis tak berujung, atau pada lazarus dan kekasihnya, atau entahlah proses terdahulu yang menenggelamkan Gita sedalam dalamnya. hingga lupa mana kepala, kaki, mata, tangan atau pusar ku sendiri.
lihatlah, aku melihat orang berbondong bondong hendak kemana mereka.. oh.. lihat mereka melepaskan pakaian pakaian mereka*
Ya.. ya.. lepaskan saja pakaian yang mengulitiku, kemudian menyampakkan aku menjadi semacam sampah yang berpindah dari TPS satu ke TPS lainnya menunggu sampai masuk mesin pembakaran atau membiarkanku menjadi belatung yang kelejotan karna bau busuk yang menguar dari tubuhku.
Angin tengah berhembus kencang dan tuhan telah membaui rencana rencana mereka padaku*
Memang angin berhembus kencang, meneriakkan serapah dan makian. Dasar anjing kupingmu becek hah..? jam berapa ini? Sudah malam tau... aku haus juga lapar, memangnya di perutmu hanya ada kecebongnya. Dasar Perempuan sinting. kapan mereka membakar gundukan pakaian mereka dengan bensin? aku juga mau.. aku ingin ikut biar saja aku telanjang. Berbaju atau tidak. tidaklah penting asal otakku masih bisa berpikir jernih. memilih satu yang menjadi pikiranku sekarang. Tidak pada lirik lirik lagu, hutan kata kata prosa dan puisi, atau juga lembar lembar tugas akhir yang tak juga tuntas. Akh... lebih baik kulepas saja kepala ini. biar menggelinding seperti bola tanpa gawang. Bakal melintasi lapangan yang luas.
Burung burung bawa aku serta*
Sampai dimana burung burung yang lintas tiap malam yang berangin, tadi mereka berteduh di bawah ketiakku. Menggelitikku untuk terus tertawa pada bahak yang tak juga berkesudahan. Mungkin mereka sedang menetek pada puting susu yang membawa kebodohan dan kekonyolan. Atau sedang menunduk pada selangkangan yang menyimpan golok tajam berduri. Lalu mabuk menari bersama sama perempuan sinting, puan tua dan roh puan (mungkin juga anjing hitam bermata merah itu juga ikut serta dibelakang panggung) sambil sesekali membunyikan musik musik miris dan menakutkan.
Lonceng berdentang berkali kali, jiwaku melesat keatas bukit*
Aku mengumpat setiap kali lonceng berdetak, sial sial sial.. tiba waktu penguburanku -Gita- dan aku masih diam disini menunggu setan yang tak juga muncul. menggantikan tempat duduk yang hampir basah karena keringat dingin berlarian. Menunggu algojo algojo diperbantukan, memeras keringat dan otak yang lelah menghapal satu saja dialog panjang tentang
Ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia, yang tua, muda, bahkan yang masih anak anak*
Dan sekarang aku harus kembali ke bangku penantian memunguti barang barang yang tercecer. malam sejuk yang memuakkan. Kepalaku dijatuhi gada. Berat.. Berat... Berat... dan tak ada waktu istirah sedangkan mulutku masih saja misuh misuh, mengumpat orang orang di dekatku. menyalahkan yang mungkin mereka tak ikut bersalah.
Proses Puan Yang Ketiga, kembalilah menjadi Gulita lalu menerima telepon dari om jonathan. dan memaki makinya dengan selangkanganmu yang becek. Sungguh..
Peradaban peradaban becek*
(* )adalah kilatan kilatan dialog Naskah PUAN karya Luky H Wibowo