Friday, June 17, 2011

Intermezo Mei

Lavina S Wibowo

Mei itu sakit, apa kau tahu?

Diam-diam ia selalu menyelipkan getah beracun di bibir perempuan yang memujanya.

Hingga akhirnya perempuan itu menjadi sinting.



Mengiris luka disekujur dadanya, lantas memintalnya menjadi cerita. Menjadikannya sesakit mei.

Mei, kedatangan yang dinanti. Seolah-olah kereta kencana yang akan menjemputnya



Waktu dilindas, detik. Tahun mengubah bulan menjadi merah.

Perempuan itu memilih pergi, memangkas habis cerita yang ternyata sia-sia.



Dan memang mei itu sakit.

Ketika ia benar-benar ditinggalkan, ia akan datang menghampiri.

Mengais masa lalu ketika ia masih dipuja.



Tapi Mei tidak benar-benar sakit, ia hanya baru mengerti.

Ternyata bunga berkelopak ungu itu tidak mekar di bulan yang lain, selain di bulan Mei.



Intermezo, 140611

Friday, April 22, 2011

Aku dan Dia -Perempuan yang melawan dengan BUKU- 1

Ini pilihan, tak ada jalan selain maju terus ke depan. Tidak ada perjuangan yang sia-sia, setidaknya akan tetap tercatat walaupun tidak bisa merebut kemenangan.

Siapa yang menyangka, aku akan banyak melewati banyak proses yang demikian membingungkan. Pilihanku ketika menjatuhkan diri menjadi salah seorang prajurit di belakang Komandan Perempuan tidak akan pernah aku sesali.

Perempuan itu, Diana AV Sasa. Seorang perempuan yang gigih memperjuangkan mimpi-mimpinya. Dengan jalan apapun ia berusaha tetap bertahan untuk buku. DBUKU Bibliopolis, adalah salah satu mimpinya untuk memiliki perpustakaan sebagai ciri Kota Metropolis. Ia memperkenalkan konsep, perpustakaan yang tidak melulu berada di tempat yang tidak terlihat, jauh dari peradaban, kesan formal dan kaku. Selama hampir sekitar 4 bulan, DBUKU Bibliopolis berdiri dengan gagah di salah satu ruang di Mall Royal Plaza Surabaya. Ada saja pertanyaan dan kekaguman yang terlontar dari para pengunjung mall.

"Ini toko buku?"
"Oh.. Bukan ini library.. Anda bisa membaca sepuasnya dengan gratis. Bla..bla.. bla..".
Dan mereka akan berkeliling sebentar lantas berdecak kagum. Rata-rata mereka akan kembali lantas bercerita pada orang lain. Hingga sampai saat ini Dbuku memiliki anggota sekitar 240-an. Bukan junmlah sedikit tho?

Aku semakin ingin tahu tentang cara berpikir seorang Sasa, Perempuan dengan banyak keinginan (walau aku sedikit mengernyitkan dahi "hei..ini sudah mulai tidak masuk akal") atau ketika dia sedang dilanda kepanikan dan susah fokus, maka ia akan terus berbicara dari topik satu ke topik lainnya.(maka aku hanya diam dan membiarkan ia terus mengoceh hahahaha...) Belum lagi kalau dia dengan sifat yang sedikit keras kepala, tapi amat sangat lemah jika sudah dimain-mainkan emosinya (lagi..lagi.. aku cuma bisa kasih masukan yang ala kadarnya). Atau juga jika ia mulai terserang virus lupa, hal kecil dan remeh dia bisa jadi lupa, tapi untuk mengingat sejarah atau peristiwa dia bisa sangat hapal dan detail (nah.. yang ini aku heran kok bisa, dia melupakan dimana letak kunci motor, tapi ingat tentang semua judul buku yang ia punya). Tapi aku tahu, dia orang yang tidak pantang menyerah. walau tubuhnya sering keok karena pikiran yang tidak pernah ia istirahatkan barang sejenak.

Aku belum juga menyerah untuk ingin tahu lebih tentang perempuan satu ini. Setelah kejadian yang bertubi-tubi, dan akhirnya ia menyerah dan memang harus mengundurkan diri dari Royal (fiuhh.. bagaimana bisa library tanpa keuntungan dianggap bisnis dan tidak ada bantuan turun hanya karena tampilannya wah dan mewah dianggap komersil hanya karena menjual buku limited edition yang memang harganya tidak murah.

Bantuan dari dikmas saja tidak cukup, jika tidak ada kerjasama yang baik dengan plaza yang dipilih. Jika bisa aku berandai-andai, seandainya mereka memberi harga sewa khusus dan tidak disamakan dengan tenan-tenan yang kebanyakan memang usaha/bisnis. Mungkin kami sudah sangat berterima kasih, dan pasti bisa bertahan lebih lama. Aku masih ingat ketika Sasa berbicara dengan staf marketing, untuk lobi-lobi pemunduran pembayaran stan. Dengan arogannya mereka justru menyarankan untuk tahun depan tidak perlu diperpanjang. Hanya karena kita memohon untuk tidak dipersulit. Bayangkan saja keterlambatan bayar stan-lampu mati, terlambat lagi-disegel. Wuihh...

Ada alasan kenapa Ia mendandani perpustakaan di mall dengan sangat mewah. Alasan pertama, Perpustakaan di Mall harus bisa menarik pengunjung mall, dan bersaing dengan daya tarik toko yang bertebaran di mall. Alasan Kedua, Perpustakaan seharusnya bisa dijadikan tempat alternatif terbukanya ruang-ruang diskusi masyarakat perkotaan. (Bayangkan saja, pengunjung mall pastinya tampil modis, tidak mungkin mereka akan memilih tempat yang suram sumpek, amat sangat tidak nyaman dan mereka pasti memilih nongkrong di foodcourt).

Kemarin di acara "Perpustakaan dimata Kartini Indonesia" 21 April 2011, Adalah event terakhir dbuku di royal plaza. Entah kenapa dari awal acara sampai akhir acara. Tidak ada sama sekali tepuk tangan yang meriah, sepertinya masing-masing tamu undangan merasakan kesedihan di dalam hati kami. Di salah satu, sesi Perempuan dipersialahkan berbicara tentang buku dan perpustakaan. Ketika jatuh di giliran Diana AV Sasa, Aku yang lebih memilih jauh dari forum tak lagi bisa menahan air mata. Aku merasakan getaran kesedihan di suaranya yang getir. Sebelumnya beberapa tamu undangan, memuji-muji DBUKU Bibliopolis. Sungguh itu pujian yang menyakitkan, karena kami tahu kami tidak bisa lagi mempertahankan konsep Library At Mall ini kepada para penikmat dan pecinta Buku. Tiba-tiba acara itu terlarut dalam kesedihan yang dalam. Aku tahu seperti apa perjuangannya mempertahankan. Dan bagaimana ia kehilangan banyak waktu tenaga dan pikirannya untuk keberlangsungan DBUKU dan program-programnya.

Aku berani menunjuk dia sebagai Pahlawan Buku Perempuan dan dia benar-benar jelmaan Kartini masa kini. Mas Nuri berkata, "Apapun yang akan terjadi, DBUKU Biblipolis akan tercatat dalam sejarah". Itu bagiku seperti sebuah kebanggaan ditengah keterpurukan ini. Dan mereka-mereka yang pernah merasakan nyamannya berada di DBUKU Bibliopolis at Royal Plaza adalah saksi mata perjuangan dia, untuk mewujudkan Library At Mall sebagai salah satu ciri Khas Kota Metropolis ini.

Perjuangan belum selesai Kawan, DBUKU Bibliopolis masih terus berjuang...

Monday, April 18, 2011

CityFast Kurir : Pengiriman cepat dalam Kota Bisnis Pertamaku

Ini baru permulaan, sejak aku memutuskan keluar sebagai operator Warnet. Jelas aku tak lagi punya penghasilan tetap. Tapi aku sungguh bahagia karena punya banyak waktu untuk belajar apa saja. Dari menjadi admin di acara Kompetisi Teater Indonesia, okelah aku sempat sakit hati. tapi rasanya wajar ada kegagalan. Sebenarnya aku tidak boleh kapok, sakit hati, atau kecewa. Cukup tahu saja. bekerja dengan mereka itu bagaimana.

Apakah aku akan meninggalkan dunia kesenian dan tulis menulis?

Hoo..Ho..Ho.. justru inilah yang sedang aku pikirkan. Kalau aku hanya berkutat di pekerjaan serabutan, dengan hasil yang tak menentu. Kapan aku akan bisa duduk diam dan berpikir tentang dunia yang lebih besar dari Bumi itu. Aku berpikir simpel, dulu aku berpikir, aku tak boleh menggantungkan hidup pada kesenian. Justru aku yang harus bisa menghidupkannya.

Bagaimana dengan Perpustakaan? DBUKU, Warung Baca Emperan ESOK, dll

Tidak mungkin aku hanya menggantungkan pada bantuan sponsor dari instansi-instansi yang pasti sudah disabet para pengejar proyek. *semakin aku tahu seluk beluk para pengejar proyek. semakin kecil aku berharap banyak akan ada banyak uluran tangan yang dengan sukarela membantu kami.

Memilih Usaha Kurir?

Setelah memikirkan banyak usaha kecil lainnya, dari fotocopy, design, warnet, dll. Rasanya dengan modal cupet, tapi bisa beri pengahasilan lebih. Ya Jasa Antar. Atau lebih tepatnya Kurir. Mulai dari pengiriman Undangan, Poster, Sebar Brosur, dan Ambil-antar Dokumen. Dan ini aku masih belajar mengetahui dimana saja kesulitannya.

Oh... iya ada satu lagi alasanku menjalankan bisnis ini, aku masih bisa menjadi Pustakawan yang selalu bangun siang, aku masih bisa menjadi pustakawan yang mendongeng untuk anak-anak, aku juga masih bisa menjadi aktifis Seni yang tidak habis menggelontorkan pikiran-pikirannya untuk Komunitas yang Sudah Aku bangun sejak 4 tahun lalu. Komunitas ESOK (Emperan Sastra COK - Cepetan Ojo Keri-). Karena aku bisa mengatur waktu bekerjaku sendiri. Hahaha.. ini salah satu kebebasan yang aku inginkan.

Dan besok adalah proyek pertama menjadi kurir, mungkin sepele ternyata kebutuhan jasa kurir tinggi juga. Ditengah-tengah pertumbuhan bisnis surabaya rasanya Jasa Kurir bisa menyelinap diantaranya. Semoga saja, aku benar-benar bisa bertahan di bisnis ini. Amien....

Wednesday, April 13, 2011

Konspirasi Tuhan dan Rencananya

Mungkin ini bukan sebuah kebetulan, jika di dunia nyata jarak antara aku dan ayahku terlihat menjauh dan tidak sejalan. Bahkan terlihat sangat bersebrangan. Tapi di dunia maya bisa-bisanya tuhan menghendaki aku melihat secara jelas AKU di sosok AYAHku.

Tapi ini sungguh membuatku bingung, bagaimana seorang gita, yang memandang tayangan televisi(sinetron, berita, atau apa saja) hanya sekedar permainan harus terlibat langsung menjadi seorang yang dituntut menjadi sukarelawan tayangan televisi.

Benar hari ini aku harus duduk si satu ruang diskusi dengan teman-teman yang beberapa kali sempat bertemu denganku, secara langsung berinteraksi. dan sekaligus di samping ada lelaki tegap yang kuhormati dan kucintai sepenuh hati. Ayahku.

Jangan bingung dengan pengantarku ini, kawan.
Ayahku selepas menjadi pegawai negeri dengan kata lain pensiun. Lebih aktif berinteraksi dengan teman-teman mayanya di Facebook. Awalnya asik bermain game kemudian merambah ke komunitas/ group. (hemmm.. kurang lebih sama denganku ketika pertama kali aktif berinternet ria) Beliau menjatuhkan pilihan pada kelompok Dukungan SMI. Ya.. perempuan itu menteri keuangan yang didepak dari susunan menteri secara halus, bla.. bla.. blaa.. (malas aku bercerita ttg suasana kepemerintahan negeriku sendiri).

Malam tadi (12/4/11) Ayahku dan teman mayanya, Om uyung yang beberapa hari lalu waktu nenekku sakit bertemu di rs malang, mengadakan Kopdar seJATIM. nah cerita punya cerita (kok ya mbulet ae see...) di acara itu aku jadi terlibat, ada Om fitrah (yg teman dekat Ning sasa Dbuku), ada Om kee(kawan karib suami Ning sasa). walhasil di acara itu mau tidak mau aku harus menjadi bagian dari pembicaraan malam itu.

Melihat dan menyaksikan beberapa anggota yang datang, dengan berbagai macam latar belakang usaha (dari pedagang, guru, dosen, seniman, dll). Mereka berbicara dengan kepercayaan penuh dan lugu. Entahlah aku seperti berada di sebuah ruangan dengan televisi besar dan aku berada di antara komentator-komentator yang berapi-api.

Yang paling membuatku ngeri adalah ketika pembicaraan sudah masuk pada kemungkinan berpolitik/partai. OMG... tentu saja akan lari kesana. Mereka sedang membela seseorang yang memang berada di lingkup Politik.

Ok lebih baik sekarang aku kembalikan pada pemikiran dan gagasan-gagasanku dahulu. Aku berpikir tak perduli seberapa ributnya Mereka di layar kaca dan sidang di gedung besar pemerintahan, aku akan tetap bergerak memberikan SESUATU (entah apa bentuknya) melalui komunitas Emperan ESOK. Tapi kenapa semakin hari lariku menuju jalan-jalan bercabang yang menuju dunia entah.

Selamat pagi, Kawan
Ini catatan dini hari, dari kejadian yang biasa, tapi menurutku tidak biasa. Hingga membuatku terbungkam dengan keterpaksaan mendekatkan pemikiranku dengan Ayahku. Yang paling menyiksa justru.. Welcome to the "No Smoking Area" fiiiuuuhh......

13 April 2011

Friday, March 25, 2011

Monolog Moderato Cantabile : Perlahan dan Berlagu

Adaptasi Novel : Gita Pratama

Lembar –Lembar berserakan di sekitar piano. Tubuh perempuan itu mematung diantara kursi merah kecil.

Ayunkan jemari tanganmu. Kau memang harus belajar memainkannya… Kau biarkan perempuan itu setengah berteriak. Ulangi lagi. Perlahan saja… (Dengan nada yang lembut) Betapa menyebalkan bukan?

Ya.. mainkan seperti ini. Tidak, bukan sepertiku, tapi seperti yang tertulis dilembar partitur dari perempuan itu. Menjemukan…

Moderato Cantabile….
Aku tahu kau tak bersungguh-sungguh nak. Ulangi lagi nak… (Lembut)
Kenapa kau lupakan nada-nada itu? Kau harus mau belajar memainkanya.

Senja di dermaga selalu merindukanmu nak.. suatu sore di hari jum’at adalah masa penantianmu. Tunggulah aku disana.

kedai dan dermaga.. Percakapan selalu terhenti di setiap dentang lonceng pabrik. Anakku berlari menggampit tanganku keras-keras, sedangkan laki-laki itu menuangkan anggur lagi ke dalam gelasku.

Perempuan itu memainkan piano dengan nada tak beraturan. Kerap kali ia hanya diam memainkan gaunnya. Lampu bar nyala meremang. Dan bunyi denting gelas, anggur yang di tuang. Anne bangkit menuju meja bar. Memainkan bayangannya di dalam gelas.

Ada yang carut marut di kepalaku, sebuah kedai juga perempuan yang terbunuh. Adapula tentang anak dan juga sebuah Piano. Apakah perempuan itu aku, di waktu lalu saling menindih dengan kenangankusendiri?

Perempuan itu terbunuh ditikam. Dan lelaki disampingnya menjerit. Jeritanya lama nyaring dan berhenti seketika pada puncaknya. Suaru saat aku yakin, aku tentu akan menjerit seperti itu. Mungkin ketika aku melahirkan anak itu.

Perempuan itu sepertiku. Entahlah aku tak pernah mengenalinya. Disaat kejadian, anak perempuan itu berada di depan pintu kedai. Kau tahu betul peristiwa itu? Aku hanya mendengar ketika lelaki itu berteriak.

Tolong segelas anggur lagi…

Dimulai dari kebisuan-kebisuan berkepanjangan yang timbul di antara mereka di malam hari. Dan makin lama mereka makin tidak mampu mengatasinya.


Bising dermaga, ocehan para pelanggan bar.. masih ada sore yang indah. Tuangkan lagi anggur digelasku. Mari ceritakan lagi peristiwa yang sama…

Meja bar, lampu dan suara dari piano. Pelan.. semakin lama cahaya semakin penuh. Suara bising laki-laki dan perempuan terburu-buru dari kapal.

Dengarkan bising mesin kapal di dermaga. Sepanjang sore mengangkut mereka, jiwa-jiwa yang membawa banyak cerita. Bukankah hidup ini terlalu membosankan dengan cerita yang di ulang-ulang. Kadang berjalan lambat tapi juga cepat. (Lelah dan Putus Asa)

Mata pengunjung kedai menatapku, biarkan saja. Chauvin memang lelaki yang selalu membawa cerita yang sama. Tapi, sungguh ak tak punya alasan untuk tidak kembali.

(Bermain Piano, perlahan dan terbata)

Moderato Cantabile…
Apakah begini nona? (bertanya dengan sinins) Anakku sangat menyebalkan jika mulai patuh begitu. Biar aku saja yang selesaikan. Setiap selesai dari sini, ia akan berlari kedermaga, mengamati kapal kapal yang sandar. Sambil terus mengawasiku, tanpa pernah berani mengajakku untuk beranjak.

Rupanya ia dapat membacamu, Chauvin. Dan memberimu banyak kesempatan.

Itu di ujung jalan sana di Boulevard La Mer.. Setiap sore aku membawa kebosanan yang menjemukan disana. Terkadang aku berjalan tak begitu jauh. Tapi terkadang pula sangat terasa jauhnya. (Tersenyum)

Peristiwa kematian itu, telah terjadi Chauvin?

Laki-laki itu tidak mengetahui mana yang lebih disukainya, keinginannya agar perempuan itu tetap hidup sama kuatnya dengan keinginannya agar dia mati. Lama kemudian baru Ia memutuskan bahwa ia lebih menginginkan perempuan itu mati.


Lampu meredup

Aku tak punya waktu banyak..

Mereka tak punya waktu banyak…

Chauvin tuangkan aku anggur lagi…!!

(Di tengah antara bar dan kelas piano)
Bangun atau tidur, dalam pakaian sopan ataupun tidak, kehadiranku memang tidak dihiraukan.

Dari kejauhan, orang dapat terkecoh melihat taman anda yang tertutup menghadap laut, daerah yang paling bagus di kota ini. Namamu Chauvin

Kau nampak bersemangat menceritakannya. Maka aku merajuk agar kau terus berbicara dan aku berjanji tidak akan menanyakan apa apa lagi.

Sore tidak lagi indah, Gelas kaca di meja bar tak lagi memainkan bayanganku. Jari jari anakku selalu menuntunku kembali pulang. Mau berkunjung? Mungkin lain kali.

Wednesday, February 09, 2011

Naskah Monolog Perempuan dan Kursi Roda

ADAPTASI NOVEL
THE SOULS MOONLIGHT SONATA
Oleh Gita Pratama


Adegan Pertama

(Ruangan suram) Perempuan di atas kursi roda. Wajahnya yang mulai mengerut, sinar matanya seperti sorot bulan yang jatuh, sintal tubuh dan keelokan di masa muda masih terpancar.

Iringan Biola… perempuan tua dengan kursi roda masuk perlahan.

Lelaki itu, memilihku. Kecantikan hanya penting di bawah empat puluh tahun (mengingsut perlahan di atas kursi roda). Setelahnya aku hanya perempuan tua yang pelan-pelan lumpuh. Osteoporosis telah menggerogoti seluruh sel tulang-tulangku.

Lelaki itu nyaris sempurna karena telah memiliku. Lekuk tubuh serupa biola yang ia pujapun mengendor, rahimku telah memberi dua anak untuknya. (wajahnya terangkat, menarik seluruh cahaya yang membias di ruangan itu)

Lelaki itu memesona, sungguh dia lelaki baik-baik. Aku rela menyimpan segenap nafas dan hidup untuknya, Tapi dia adalah manusia biasa. Aku melihat bayangan di balik tubuhnya tiba-tiba menjadi suram.

Lelaki itu tinggalkan kelam cerita di putaran roda kursi ini. Seperti pusaran waktu yang melingkar semakin merapat di tubuhku, Aku tidak sedang berpijak di antara pilihan. Karena…

Lelaki itu suamiku.

Adegan Kedua

Biola dan derit pintu…
Dan perempuan tua yang terduduk di kursi bambu.
Matanya yang senja, menatap tajam di sudut pintu.

Hana…. Kaukah itu..? Kenapa tak berkabar kalau pulang. (sepi)
Oh.. Lolita.. apa itu kau? Cepat sekali kau pulang nak… (masih juga sepi)
Bukan.. itu bukan mereka. (Ia menghela, menelan harap kerinduan akan anak-anaknya)
Lalu Siapa perempuan muda menenteng biola itu?

(Cahaya menyentuh seluruh tubuh perempuan tua)

Perempuan itu, membawa bayangannya ke dalam rumahku. Berwarna pelangi, bukan abu kelam seperti bayangan suamiku. Berwarna kuning pucat, persis seperti cahaya bulan. Tapi aku sungguh membencinya, membenci perut buncitnya.

Perempuan itu, babu yang kukasihani. Meninggalkan halaman kelam di catatan rumahku. Di pintu ia tinggalkan bayinya juga selembar kain membercak darah dosa.

Perempuan itu, entah sengaja menyiapkan senjata di balik punggungnya ketika aku lengah. Atau lelakiku yang baik-baik itu, menyimpan seringai serigala ketika aku telah menjadi ibu bagi anak-anaknya dan bukan lagi perempuan yang menjadikannya nafas hidupku.

Sungguh salah… (nada getir yang ditekan) jika perempuan menggantungkan hidup pada laki-laki. Meskipun Ia telah berjanji akan setia sampai mati. Lelaki tetaplah makhluk pemangsa.

Dan bayi itu telah lahir dari kesalahan.

Adegan Ketiga

Perempuan tua di atas kursi roda. Membelakangi cahaya.

Gadis itu berdiri di depanku. Memainkan biola seperti suamiku dulu. Penuh cinta, penuh keyakinan, dan aura perak melingkar di tubuhnya setiap kali ia menggampit biola di lipatan dagunya.

Ini rahasia yang tersingkap di sela-sela album foto keluarga. Ini aib yang tak ingin lagi kujadikan beban. Aku telah memaafkannya, tapi masih saja luka itu mengintip tiap kali ia memanggilku. Ini rahasia yang kutulis tipis di urat-uratku yang makin mengerut.

Padmaningrum, gadis berbakat dan penuh gairah yang tak lagi kubenci. Aku mengasihinya. Karena ia anak suamiku. Kau tau.. kau jelmaan lelaki baik-baik itu. Biola yang kau tenteng itu menyimpan roh ayahmu. Tanpa kau ketahui.

Perempuan itu bukan pelacur…

Ibumu bukan pelacur nak... Ia hanya berada di waktu dan tempat yang salah. Dan kau terpaksa menerimanya menjadi bagian dari hidupmu, dosa yang tak akan dapat kau mengerti.

Gadis itu.. sepertiku.. menyalahkan diri. Coba endapkan dendam yang menggemuruh. Aku merasakannya. Biarkan meledak dalam dekapku nak.. Tapi sungguh kebisuan sejenak adalah senjata bermata dua yang akan menghancurkan segalanya.

Aku dan kau adalah korban. Korban dari lelaki baik-baikku dan juga perempuan itu.

Dan kau tidak akan sempat memilih.


Adegan Keempat

(Wajahnya tersenyum genit, walau tubuh nya masih terpaku di atas kursi roda.)

Aku masih menyimpannya Pak..! Cincin yang kau buatkan untuk ke tiga anakmu. Yohana, Lolita dan gadis itu, Padmaningrum bayi hitam dan kurus yang ditinggalkan babumu untukku. (Sambil tersenyum perempuan itu menggumam mesra, berbicara pada sepinya)

Aku tahu. Aku tahu, sebelum ajal menemuiku masih ada wasiat darimu yang belum tuntas. Dan sekarang adalah saat yang kunantikan sejak kepergianmu.

(tiba-tiba perempuan itu meracau)
Bayi suamiku dari rahim babuku. Lantas aku siapa? Lantas aku apa?
Bayi hitam dan kumal, telah menjadi dia… gadis itu.. Padma..

Ia bersimpuh di lututku, terisak. Lelaki itu.. Gadis ini..

(wajahnya terangkat mengembalikan kesadarannya, lalu membelai gadis yang berada di pangkuannya)

Dendam telah lama terhapus.., setidaknya kau juga akan begitu. Ayahmu telah lama tertidur mendekap senyum ke-lila-anku.

Padma.. Simpan cincin ini untukmu. Dari Ayahmu…

Perlahan suara moonlight sonata terdengar, seiring redupnya cahaya ruangan


Surabaya, 5 Februari 2011

Monday, February 07, 2011

Bagaimana suara itu

Aku biarkan telingaku ini pelan pelan dirasuki suara yang begitu renyah. Selalu.. dan selalu. Tapi aku tak pernah membiarkan perempuan itu menelan kekagumanku. SUngguh sayang jika nanti dia hanya akan menjadi pegawai kantoran yang duduk manis di depan meja yang penuh dengan pekerjaan yang menumpuk. juga dengan lelaki di sampingnya yang penuh dengan talenta hanya akan mengocok gelas kopi atau mesin penghitung saja.

Ini karya duet mereka, kebetulan lelaki itu adik kandungku, ia memainkan tuts piano tua, bekas kantor pemerintahan yang sudah tidak terpakai. Dan suara utuh, manis itu milik perempuan yang menjadi kekasih adik saya itu. Klop sudah...

Bagaimana aku tidak menelan kengerian jika mereka mampu memainkan lagu-lagu (walau masih milik orang) yang penuh dengan nada-nada tinggi. *yang pasti aku tidak akan mampu menjangkau nada itu.



Coba saja dengarkan, hanya dengan bekal, mic, tape, piano tua, netbook dan program acidnya. Mereka berkolaborasi dengan cantiknya, "DowneenDha" itu singkatan nama mereka berdua. Sebenarnya aku pernah diam-diam menyimpan beberapa lagu kolaborasi mereka. Tapi telah hilang dimakan kutu busuk virus yang menyebalkan itu.

Ufh... andai saja mereka mau membuat lagu sendiri. Apa jadinya mereka ya? mungkin bisa mengalahkan duet anang-KD (waktu mereka masih berstatus suami istri)hahahaha... Ngayal.com---NganGa'deh.com

Selamat menikmati dan menjadi fans rahasia mereka.