Tuesday, August 19, 2008

Bertemu Pendekar Mabuk (Hudan Hidayat)

Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah kota yang penuh tai tikus, anjing liar dan kucing garong herannya banyak juga yang memuja kota itu. Aku termasuk gak ya? hehehe... Katanya sih itu kota Jakarta. Seperti biasa, setiap ke jakarta aku lebih suka nongkrong di TIM. Mau siang, sore, malem enakkan di sana, daripada harus ngluyur di mall, wisata Mall. Lah di Surabaya aja mall sudah berjajar seperti ruko.

Malam, hari kedua aku datang lagi ke TIM. Rencananya ada janji dengan leklul, bunda inez dan kinu. Tapi setibanya di TIM ternyata tak ada leklul atau bunda inez, hanya ada kinu dan beberapa gerombol orang di warung depan TIM. Di sanalah aku bertemu seorang pendekar, yang belum lama kukenal. Kujuluki dia pendekar mabuk, Hudan Hidayat (atau mungkin memang julukannya ya?).

Kesan pertama melihatnya, aku tidak tahu kalau pendekar itu adalah Om hudan yang esainya mudah kumengerti, penjabarannya ringan dan tidak terlampau rumit. Jadi kuabaikan saja dia dan kuanggap hanya pemabuk tua yang tidak punya tempat ber haha hihi di rumah atau tempat kerjanya. Pemabuk tua itu memakai setelan kemeja kusut dan celana hitam, juga sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya yang lusuh. Lantas aku dikenalkan Kinu pada si pendekar yang ternyata Hudan Hidayat, itupun sambil lalu. Antara percaya atau tidak kalau pemabuk itu adalah hudan hidayat aku diam saja sambil terus mengamati gerak geriknya. Di kedua sakunya aku melihat dua kotak rokok. Lantas aku bertanya "Ough om juga penjual rokok kliling". Dan iapun menjawab "ini obat, obat mabuk juga ke..ke..ke.. ." terkekeh sambil kepalanya geleng-geleng. Tolol juga ya aku, orang mabuk kok diajak becanda.

Entah berapa persen kesadaran yang tersisa di kepalanya. Rupanya pendekar itu mengenaliku kemudian memanggil namaku. Gita, barulah diriku yakin inilah om Hudan yang suka SMS gak jelas. hehehehe.. *maap om. Ia berlarian seperti bocah kecil membawa tubuh yang sepertinya teramat berat, berpindah-pindah dari bangku kayu ke gerobak rokok, dari gerobak rokok ke rumput belakang. Begitu seterusnya, tidak bisa diam sambil meracau gak jelas. Aku juga tidak seberapa ingat apa yang dia racaukan. *hemm ada sih yang aku ingat. Pendekar itu bercerita tentang kegelisahannya, aku mendengarkan racauan tentang kesepiannya, tentang sakit hatinya, tentang dia yang disingkiran, tentang kekosongan. Apakah itu benar aku tidak tahu, anggap sajalah benar.

Lama aku mendengarkan dia bercerita lantas aku menanggapinya. Tapi akhinya aku sadar sedang berbicara pada lelaki yang sedang mengigau. Aku minta dia tidur saja, istirahat. Akhirnya Pendekar itu tertidur di rumput penuh sampah dan pecahan kaca. Kinu yang sedari tadi mengutak atik "teman kerja" om hudan masih berwajah datar dan sabar karna hampir beberapa jam masih saja belom sukses di operasi. Sedangkan lelakiku, aku biarkan saja sendiri.

Kinu sibuk sekali membedah "teman kerja" Om hudan yang katanya kena virus lalu merusak system. gak tau deh apa kamsudnya. Pendekar mabuk itu gelisah sekali, sebentar-sebentar colek-colek kinu. *idihh pendekarnya genit. Ia berkali-kali bertanya dan mencoba memastikan bisa atau tidak "teman kerja"nya diperbaiki tanpa harus kehilangan ingatan

Aku melihat keadaan pendekar mabuk yang terkapar di belakangku. Sesekali tikus datang hendak menggigiti tubuh yang sudah seperti mayat hidup. Atau seekor kucing yang menjilati tubuhnya yang mungkin berbau nasi basi. Aduh.. jadi iba aku padanya. benarkah ia sedang kesepian dan harus mabuk seperti itu. Atau apakah semua pemabuk bernasib sama sepertinya? jadi santapan hewan liar. Akh untunglah ia tidak dikencingi anjing liar. Malam sudah di ujung, setelah ini hari akan beranjak menuju dini hari. Aku, lelakiku dan kinu harus segera pulang.

Kata orang disekitar situ memang begitulah dia. Hampir setiap hari mabuk.. lalu mabuk.. kemudian tepar, bahkan sudah beberapa kali telepon genggamnya hilang karna tertidur di jalanan. Ugh pantas saja beberapa sms terakhirku tak juga sampai. Rupanya Ia baru saja kehilangan lagi.

Pendekar mabuk masih terlelap bahkan tak sedikitpun posisi tubuhnya berubah. Telentang, tidur beratapkan langit. Ternyata bukan hanya gembel saja yang harus tidur beratapkan langit. tapi seorang Hudan. Rupanya ia benar-benar mabuk. Akhirnya kita bertiga memutuskan untuk membangunkan pendekar "tepar" itu dan membopong tidur dalam mobil.

Akh sebenarnya aku tidak ingin menuliskan, dan memosting cerita ini. Tapi karena dia menganggap ini lucu dan ia memintaku untuk menuliskannya. Aku tulis sajalah...! Sekarang di mana lucunya?? Mungkin Om Hudan sedang menertawakan dirinya sendiri.

*110808 pertemuanku dengannya.

No comments: