Sunday, December 16, 2007

Dua pertunjukan Teater beda Strata

Dalam dua hari berturut turut aku menonton dua kali pertunjukkan yang berbeda. Surabaya lagi rame pertunjukkan nih! Hari pertama jum'at malam aku menonton Monolog Butet Kertaredjasa "Sarimin" dan hari sabtunya aku nonton Ditunggu dogotnya Sapardi oleh komunitas teater hitam putih padang panjang. Antara 75 ribu VS 3 ribu, jelas yang butet aku perlu berpikir panjang masalah tiket huwehehehe.. perlu ngutang kanan kiri agar bisa nonton.

Jum'at malam aku datang Ke Gedung Cak Durasim tempat acara pentas Monolog Butet Kertaredjasa "Sarimin". Lakon kali ini bercerita tentang tukang topeng monyet keliling yang familiar dengan nama sarimin. Pada awal petunjukkan dibuka oleh musik yang dibawakan Djaduk Ferianto beserta kawan kawannya. Wah.. musiknya selalu segar dan menyenangkan. Lalu si tokoh pembawa cerita masuk menyapa kawan kawan pemusik dan penonton. Seperti pertunjukkan butet sebelum sebelumnya selalu membawa kritikan pedas yang membuat kita tertawa mengiyakan. Lalu ia berubah menjadi si tokoh Sarimin itu suasana lebih seru lagi. Menunggui si pak polisi yang "selalu sibuk" padahal ia hanya bermaksud melaporkan KTP yang ia temukan. Si Lugu Sairimin dengan sabar menunggu polisi itu bersibuk sibuk setiap kali ia Si sarimin hendak berbicara, selalu disuruh menunggu dan menunggu. Tokoh Sarimin ini jujur, tapi niat baiknya itu justru menjadi malapetaka buatnya. Ia malah dituduh oleh polisi lain yang baru tiba sebagai pencuri dompet, parahnya lagi ternyata KTP itu milik hakim agung. Dan dia dipaksa untuk membenarkan tuduhan yang sudah dilemparkan padanya. Gaya butet yang mampu membawakan beberapa tokoh dalam satu pementasan dan celetukan kritiknya mampu mengundang gelak. Sesuai dengan realita ya begitulah tugas polisi "melayani" masyarakat. (benarkah?? melayani apa?? emang itu polisi ato lonte ya? hahahaha.. untuk urusan kecil begitu harus menunggu berbulan bulan). Pada akhirnya si Sarimin harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya. "Jika benar maka kamu salah" yang tertindas tidak boleh benar. hehehe.. tepatnya begitu mungkin ya?? pemutar balikkan fakta antara benar dan salah. Tapi ketika si tokoh berubah menjadi polisi entah kenapa kebosanan tiba tiba singgah. Kritikan yang terlontar terasa amat membosankan, penyampaian dan bentuknya kasar, dan itu berlangsung sampai di akhir pertunjukkan. Aku kehilangan moment ending, malah bertanya dengan teman disebelahku "lho.. kok udah habis?" pertunjukkan itu berdurasi satu setengah jam. Aku masih menunggu hilang kebosanan tiba tiba sudah selesai begitu saja. akh...! kok gak puas yaa?? Untung saja musik dari djaduk mampu memberi kepuasan. Lirik yang menggelitik dan ilustrasi musik yang segar. Didukung alat musik dan sound lengkap wah... ini sih gak ada ruginya...! hahahaha....

Lalu keesokan harinya aku datang ke gedung eks museum mpu tantular. gedung tua yah.. mungkin agak seram (tapi aku gak merasakan getaran2 yang aneh2 huwhehehehe opo see..!) Selama hidup di surabaya hanya sekali mampir kemuseum itu. dan ini berarti kedua kalinya dtapi sudah tak lagi menjadi museum. Aku datang jam setengah delapan penonton yang berkeliaran juga belum seberapa banyak. Asyik ngobrol dengan teman yang laen tak terasa waktu sudah terlewat lama, sampai jam setengah sembilan pertunjukkan belum dimulai. ugh.. sampai capek nunggunya. Akhirnya setelah satu jam kacang kacang lombok abang mlungker.. di depan gedung, penonton pun disilahkan untuk masuk. Menonton pertunjukkan Ditunggu Dogot pertunjukkan yang bertema absurd (kata sutradaranya sih tidak merubah teks asli cerpen sapardi). Masuk ruang pertunjukkan aku melihat setting pangung yang minimalis. Sebuah sepeda diatasnya dan sebuah screen lebar dibelakangnya. Lama sekali aku menunggu padahal aku sudah duduk paling depan (seperti biasa). Musik pada awal pembukaan hem.. tidak begitu menyatu , screen nyala sebuah visual lorong yang aku liat sebagai waktu dan sepeda itu dikayuh oleh tokoh laki laki dan perempuannya ada diboncengan sepeda itu. Mereka sedang menyusuri lorong itu. Asyik sekali aku mengamati pementasan itu. Memang tidak ditemukan ujung pangkal pada pementasan ini. tak terjawab apakah dogot itu? Apa penanda beda antara Ditunggu dan menunggu, endingnyapun kembali ke bentuk awal. Dari awal sampai akhir pertunjukkan aku menikmatinya, hanya saja ilustrasi musiknya tidak membuatku nyaman. Dan lagi aku harus tengadah karna jarak antara panggung dan penonton terlalu dekat. padahal tinggi level yang digunakan sekitar setengah meter. mungkin karna gedungnya yang terlalu sempit ya?? yah.. serba minimalis. Tapi tidak mengurangi makna dari naskah itu sendiri.

Tapi gak pernah rugi kluarin duit buat nonton teater, biarpun harus ngutang. hehehehe... dua pertunjuukkan beda strata, beda kelas, beda tempat, yang satu memang gedung yang di setting untuk pertunjukkan, yang satunya gedung ala kadarnya. yah.. jelas bedalah..! ya sudahlah ini hanya sekedar berbagi cerita.

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.