Wednesday, February 28, 2007

Ketika Menjelang Senja

Perempuan tua itu telah duduk lama didepan pohon beringin yang rapuh. Ia sabar tertunduk disitu menatap sisa gedung sekolah didepannya. Gedung sekolah itu hanya tersisa puing puing dinding tanpa genteng, pintu yang hanya kerangkanya saja dan halaman yang tak terurus. Sudah 2bulan gedung itu suram tak lagi ada yang perduli. entah kemana pengurusnya. akibat kebakaran lalu setidaknya 3 anak meninggal terjebak dilalap api. sejak itu pemilik sekolah memutuskan menutup sekolah entah sampai kapan. Perempuan tua itu tak pernah menyerah menunggu anak perempuan satu satunya, harta peninggalan suami tercintanya.

"Bu.. mirah berangkat sekolah! doakan mirah berhasil ya bu.. ujian hari ini!" terakhir kali wajah dan suara mirah ketika berpamitan hendak berangkat sekolah. Perempuan itu hendak mencegah anaknya sekolah, entah ini firasat seorang ibu atau apa. hari itu ia tidak rela membiarkan mirah berangkat sekolah. Masih terbayang pagi itu Mirah minta disuapin hanya gara gara ia hampir terlambat. Wajahnya yang berkerut karena hujan dan panas yang tak pernah henti menyembah dipelupuk mata. terlihat wajahnya kusam, badanya yang kurus. tapi sepasang matanya masih tajam, masih ada mimpi disitu.

"Mirah ibumu masih disini menunggumu keluar gerbang sekolah!" bisiknya pelan pada daun kering disebelahnya. Tapi mirah tak pernah lagi menampakkan senyum pada ibunya. Perempuan tua yang rapuh itu masih sekokoh pohon disebelahnya, ia masih berharap setinggi langit bahwa anaknya bakal berlari kepelukannya seperti biasanya. Merengek minta sarapan dipagi hari, menina bobokan ketika mimpi sudah menunggu dilelap tidurnya. Perempuan itu tidak rela sebatang kara. Sesekali ia tersenyum ketika menatap gerbang sekolah. Entah apa yang dilihatnya. Perempuan itu telah lama ditinggal pergi suaminya. Batinnya tak siap menerima bertubi tubi rasa kehilangan. "Mirah... ibu masih membendung air mata agar kau segera pulang nak! Ibu tau kau tak suka jika pipi ibu basah! mirah.. nasi dirumah sudah lama basi, tempat tidur kita sudah lama berdebu!" perempuan itu terus saja menimang mimpi dipangkuannya.

Hingga suatu hari menjelang senja ia berdiri dan seperti hendak berlari. Matahari hampir tergelincir, dingin malam mulai terasa. Bening disudut mata telah leleh. Tersungging senyum dibibirnya yang kering. Debu tebal yang mengerak di wajahnya telah pecah karna senyum yang mengambang dipipi. Kesedihan yang tertahan sekian lama tiba tiba saja pergi. Entah bayang, entah lelah, entah jengah, entah nyata. Perempuan itu memanggil dalam dingin "Mirah....!!"

1 comment:

Anonymous said...

aduh git cerpennya bikin gw terharu...teruskan kreasimu hehehe