Tuesday, September 23, 2008

Catatan Perempuan Tolol

Aku semakin terpuruk menjabarkan sesal yang tak berkesudahan. Mungkin aku drupadi perempuan perkasa itu, tapi luluhku shinta bersetia hati hingga rela terbakar api pemujaan. Dan kau siapa? rhama, arjuna atau justru rahwana, mengejarku hingga ujung langit mimpi. Menyiksa dengan rasa bersalah yang panjang dan tak membiarkanku menapak langit yang lain. Hilir mudik mengintip jendela dan pintu rumah, apakah kau akan datang hari ini?

Hati menjadi beku memuja satu nama, semakin retak pada gelisah. Inikah akhir atau justru awal. pertanyaan menjadi dzikir kata-kata di setiap malam. Hingga do'a lain terlampir hanya sebuah halaman tanpa angka. Lantas untuk apa aku di sini menengadah selalu meminta sehat sejahtera untukmu. Kebahagian yang paling mungkin kau dapat. Meninggalkanmu menjadi sesuatu yang diinginkan tapi juga ditabukan. Lantas kau hanya mencibir "aku lahir, kecil, dewasa, tua kemudian mati. Andai ini tidak terjadi mungkin aku akan bahagia" begitu menyiksakah pengakuanku.

Setiap hampir shubuh hanya tangis menggugu, menyiksa diri dengan berpetualang ke segala penjuru. Padahal kaki semakin uzur, tulang kering beku, dan hati koyak seperti serpih serbuk-serbuk kayu. Kau justru berharap mati atau tidak dilahirkan. Sesungguhnya siapa aku bagimu? mimpi burukkah? Dan semua kesia-siaanku menggunung padamu, kau hanya berputar-putar di dasarnya berucap maaf setengah ikhlas.

Aku yang palsu atau kau yang terlalu takut pada kelaki-lakianmu. Jual dengan harga tinggi kelaki-lakianmu pada perempuan-perempuan tolol yang hampir kehabisan nafas. Mereka memuja manusia yang senantiasa datang dan pergi. Kau menganggapku sebuah rumah nyaman karena setiap kau singgah aku akan memperlakukanmu bak raja. Tapi kau tak pernah berkata "ini rumahku aku pasti pulang". Bagaimana bisa menolak kedatanganmu? jika aku ingin kau tak pergi. Sungguhkah luka ini karenamu atau aku yang mengiris ngiris hati sendiri untuk persembahan.

Aku Linglung, Dasar Tolol...

Tuesday, August 26, 2008

Serpih -Serpih

Aku sudah di sini menunggumu hingga separuh umur. Dan kau masih saja diam bahkan beranjakpun tidak. Entah apa yang akan kau katakan nanti jika aku semakin sendiri dan sepi.

Aku berdiri menantang petir, kau pernah ucapkan sebagai sumpah "Aku akan tiba setelah petir" tapi apa? Setelah petir hanya ada hujan yang merintih tanpa kau. Semakin sepi.

Pertapaan ini panjang, sepanjang sungai yang berujung laut. Semakin luas bukan? dan kau masih diam tak beranjak mengurungku pada tanya yang tak juga terjawab. Aku menunggumu.

Selalu, dari kedip matamu hanya tanda yang tak juga terjawab dari tahun ke tahun. Isyaratmu hanya "datanglah lagi besok" tanpa suara. Aku membahasakannya sendiri.

Bulan selalu datang dalam gelap. Tapi aku memaksa datang ketika terang. Kau menolak aku? Kau diam.