Thursday, April 09, 2009

Cerita Ini Menganggu Tidurku

Serapuh angin, dilebur untaian mantra. Matamu adalah kisah yang lupa. Dan tak akan pernah kutemukan yang tersembunyi dalam desah tawa kecilmu

Sepagi ini.. jam weker akhirnya berbunyi juga. Sengaja aku setel jam 7 pagi. Tapi dari 6 jam yang lalu mataku belum juga sukses terkatup. Tak ada satu mimpipun berdatangan seperti malam-malam sebelumnya

"Ok, ada tenda? kemana?" Aku sengaja mengajaknya gara-gara jadwal plesir yang direncanakan batal. Dan kakiku sudah mulai gatal melanglang lagi. Apapunlah aku lakukan asal bisa pergi. Kali ini cuma dia satu-satunya harapan yang ada.

Jawaban itu sudah aku duga. Mengajaknya pergi berdua, sama saja menawarkan diri. membiarkannya melesat semakin intim ke tiap jengkal kulit. Tapi tidak perkara yang lain. Sikapnya akan tetap sekeras baja, bermain dan aku adalah tawanan perang. Begitulah, kutawarkan tubuh maka dengan senang hati dadanya terbuka lebar. Padahal dari siang aku mengajaknya sekedar makan siang bersama tak ada satupun balasan. Shit..!

Dalam gamang, ambang tidurpun tak juga lelap. Apa yang nanti akan dilakukannya padaku. Satu dalam tuang yang samar, cahaya yang temaram. bulanpun diijankannya masuk. Berdua saja seperti cerita dulu. Tapi kali ini mungkin akan lebih. Aku kelimpungan, tubuhku menginginkannya tapi otakku menolaknya. Apa yang aku inginkan darinya tak juga aku dapatkan. Hati..! Aku mencari Hati-nya. Untuk kulahap dan tiap tetes darahnya mengalir dalam tubuhku.

Udara di sana pasti dingin, dan malam ini aku sudah bisa membayangkan tubuhnya bermain liar di atas tubuhku. Dan di dekapannya, sekali lagi aku akan bercerita sendiri, berkesah sendiri, dan tetap menangis sendiri.

Secuil harap, selalu ditiupkan pada lembar daun hijau muda, hingga pada akhirnya sulur-sulurnya merambah menyetubuhi panasnya sinar. hangat.. lembab.. keras..! Hingga pada akhirnya patah dan jatuh di dasar tanah coklat kemerahan

Cerita ini mengganggu tidurku. Keringat sebesar butir jagung meleleh, berkejaran diliuk-liuk urat leher. Sambil menghitung jarak antara batas norma dan dosa. Baginya tubuhku semacam manekin. Diombang-ambingkan di depan teras toko. Dipajang sebentar kemudian disetubuhi di belakang etalase toko. Sebiadap itukah dia? Entah bagiku Ia seperti angin panas yang menyeruak di sebalik tengkuk. Mengiangkan mantra tidur agar aku tetap terlelap, menjaga cerita tetap hanya tentangnya.

Kusentuh remote tape lantas kunyalakan dan memutar bella's lullaby. Denting piano, lembut menyusup di liang telinga. Meniupkan angin yang dingin. Mata berkali-kali mengerjap dan mulut sudah berkali-kali menguap. Tapi ada sesuatu di dalam batin dan pikiran yang masih berjaga. Semacam algojo memegang cambuk, melukai di tempat yang sama, menjagaku agar tak segera menyudahi cerita ini.


Tapi ini sudah menjelang shubuh. Matahari mengintai dengan sinis. Tidak ada air matapun yang jatuh kali ini. Mungkin tetes-tetesnya sudah bosan turun akibat hal yang sama. Bosan pada cerita usang yang tak juga tamat. Bosan pada resah hal yang sama.

"Kamu bagian logistiknya ya?" Sial.. Ia benar-benar mencoba keinginanku. Menolaknya berarti menyia-nyiakan kedatangannya padaku. dan dia akan pergi lagi seperti sebelum-sebelumnya. Itu yang tidak aku inginkan. Mauku, semalaman lomba tak pejam mata, hanya berdua duduk bersebelahan, dan kepalaku kusandarkan di bahunya di depan pintu tenda. Menggumamkan bulan yang gagah pamer sayap di langit. atau hanya sekedar bertanya "Kapan hidup kita akan melaju?"

Rongga dada terasa lebih sesak, entah karena gelembung payudaraku membesar atau degup ini memompa darah lebih kencang. Entahlah? Yang aku tahu mata ini mengerjap-ngerjap seperti boneka yang rusak peer matanya. Boneka yang hampir putus lengannya karena bertahun-tahun dimainkan dengan jalan cerita yang sama.

"Aku akan membayarnya, biarkan aku tidur sejenak", kutawarkan harga lebih untuk tidur pagi ini. Hingga nanti siang mataku bisa kembali nyalang. Jika tidak, setidaknya mata ini biarkan terpejam, kepala tetap melingkar pikir semacam gasing, menulis rumus logika atau sekedar berpikir akhir cerita. Tapi aku sungguh tak punya kuasa akan itu.

Cerita ini menggantungku seperti jemuran yang digantang bertahun-tahun di tali rami. Rapuh..

Sby,9 April 2009

Sunday, December 28, 2008

Perpus Ngemper edisi ke-2

Akhirnya aku bisa berada langsung di sana Perpus Ngemper. Suasana alun-alun Sidoarjo jam 3 sore masih lengang. Para pedagang masih sibuk bersiap-siap dengan gerobak dan barang dagangannya. Tapi sudah banyak pengamen dan bocah anak dari pedagang yang bermain disekitar areal Alun-Alun sidoarjo. Aku tiba di sana sudah ada iwan dkk dan nisa buku-buku sedang didata spandukpun digelar. Perpuspun akhirnya siap disantap. Tidak lama kemudian Yasmin, Dee2 dan Eric datang membawa buku-buku dan majalah wanita.

Pengunjung pertama kami bernama Anisa dan adiknya Arum. Mereka suka sekali membaca, menulis, berhitung dan bernyanyi. Si kecil arum suka mengobrak-abrik tatanan buku. Tingkahnya lucu, setiap melihat gambar di buku ia akan berteriak "etan..etan.." ehm setan kali ya yang dimaksud. Kalau kakaknya sudah mengerti bagaimana memperlakukan buku walaupun belum bisa lancar membaca. Jadi aku memperlihatkan gambar-gambar di majalah bobo dan membacakan untuknya. Maen sekolah-sekolahan deh..! bosan membaca, mereka meminta kertas untuk menulis, berhitung dan menggambar. lucu-lucu ya mereka. di sebelah emperan kami ada ibu-ibu penjual kerupuk, beliau menghardik arum karena takut bikin rusuh.

Semakin sore sekitar jam setengah lima datanglah Wantoro pengunjung yang dua minggu lalu juga datang, dia asik membaca komik sementara 2 bocah perempuan itu ribut sendiri. tak lama datanglah ibu penjual jajanan kecil, dia mencari buku cerita untuk anaknya supaya lancar membaca. tapi anak perempuannya entah bermain dimana. akhirnya ibu itu sendiri yang meminjam majalah perempuan untuk dibaca sendiri. mendekati maghrib datang lagi bocah perempuan bernama Sofi ternyata anak dari ibu-ibu penjual jajanan kecil tadi. Sofi lebih pandai membaca daripada Anis. Tapi masih suka lupa-lupa. Dia juga belajar berhitung, menggambar bersama kami. Kalau sudah datang bosannya maka mereka akan pergi berlarian kemudian kembali lagi minta membaca. Kami berjanji untuk membawakan kertas mewarnai untuk mereka. *semoga tidak kelupa'an

Anak-anak Ars juga membantu duh siapa aja ya.. ada gepenk, ada ehmm aduh lupa gak nanya nama. Ada mas anwar juga yang satu rombongan dengan mereka. Jam 6 yasmin harus pulang karena ada kesibukan lain. Habis maghrib susana alun-alun semakin ramai maklum besok suroan dan masih tanggal merah. Rata-rata pengunjung masih bingung buku-buku ini dijual atau bagaimana. Maklum konsep hanya baca ditempat gratis belum umum. Kami menyadari memang butuh sosialisasi Perpus Ngemper agak lama. Yah setidaknya sebulan atau dua bulan dengan jangka waktu yang tak terlalu lama. Beberapa orang datang melihat dan kami persilahkan untuk membaca di sana. Mereka suka sekali, ada yang minta buku tentang agama, sastra, bacaan anak, pertukangan, bahkan perdukunan eh bukan cuma ramalan bintang.

Sekitar jam delapan kamipun membereskan TKP (tempat kejadian perpus). Karena semakin malam alun-alun semakin ramai dan nisa sudah waktunya menetek pada bantal gulingnya. Iwanpun kecapaian karena di pagi harinya ada diskusi sastra.

Setelah aku melihat langsung kondisi di lapangan, maka kamipun memutuskan Perpus Ngemper tidak lagi dilaksanakan dua minggu sekali. Dan akan dimajukan jadi seminggu sekali. Minggu depan kami akan hadir di alun-alun sidoarjo. Karena jika dua minggu sekali sosialisasi Perpus Ngemper akan sulit.

Salam Ngemper