Friday, June 05, 2009

Pesta Esok dan Tangis yang MengCrystal

Aku hanya ingin bercerita tentang pesta tanpa gaun, pendar lampu-lampu kristal ataupun meja penuh hidangan lezat. Pesta yang membuat semua orang tertawa geram dan tangis tertahan. Di tengah kelahiran, ruang lain justru sedang meregang nyawa, mengurai keringat dari bulir-bulir kenangan yang dingin. Malam ini adalah cerita kematian dari tawa yang sunyi. Dari malam yang sepi tentang kepala botak merah darah. Juga kelahiran dari sepi yang riuh, dari malam yang sibuk bercerita tentang penggalan kepala berhias kata-kata.

Di sebuah bangku telah duduk seorang entah laki-laki atau perempuan, hanya kerut kulit keriputnya, menanda jompo. Bibirnya rapat terkatup, tak ada suara hanya tatapan mata nyalang. Mengawasi riang bocah yang sedang merayakan kotak-kotak kayu yang semakin tinggi tersusun. Ia melihatnya, mengingat dulu ketika ia menganyam rotan dijadikan boneka dengan mata bermanik manik kacang kedelai, bibir datar dari benang wol. Dulu ia juga bahagia, terbahak ketika kedua tangannya masih lihai merajut rotan lalu diletakkan dekat bongkah pualam besar. Di dasar goa yang baginya telah tuntas ditaklukkan.

Ini cerita tentang gempita kenangan dan dada-dada yang semakin tinggi ditarik terbang ke langit. Lantas bernyanyi tentang seribu cita-cita menaklukkan malam, lantas diganti dengan semua siang. Hidangan hampir basi karna undangan sibuk Bercengkrama dengan kenangan. Kenangan itu mengasikkan juga mematikan. Mata dijungkir balik menertawai lucunya bayi yang merangkak. Tapi semakin menua usia, mereka lepas, meregang mencari diri sendiri. Tak patut ada yang dipestakan disetiap kelahiran karena kematian itu pasti. Siapa yang rela pada setiap perpisahan, hanya tangis duka yang tertahan. juga kelahiran yang mati sendiri, tawa bahagia yang tersembunyi. Tetap saja kelahiran dan kematian ini bukan milik nyanyian - nyanyian do'a. ini milik ESOK, bukan milik kenangan kemarin atau lampau.


Di sini semua duduk melingkar, bersila, menatap wajah-wajah maya. yang entah kapan ESOK pasti pergi lagi. Semakin jauh, melanglang menuju negeri kata-kata, negeri sunyi, negeri berkepala ungu atau juga justru sembunyi di dada-dada yang berisak tangis kematian dan kelahiran.

Surabaya, 5 Juni 2009

Thursday, May 07, 2009

Perpus Emperan

Suasana Pendopo alun-alun Sidoarjo jam 3 sore masih lengang. Para pedagang masih sibuk bersiap-siap dengan gerobak dan barang dagangannya. Tapi sudah banyak pengamen dan bocah anak dari pedagang yang bermain disekitar areal alun-alun Sidoarjo. Kami menggelar tikar, mendata, menata buku dan spanduk digelar. Hoplaa.. perpuspun akhirnya siap disantap. Koleksi perpustakaan kami berasal dari lemari masing-masing anggota, juga didapat dari sumbangan dari beberapa kawan di luar kota.

Pengunjung kami, gadis kecil bernama Anisa dan Arum, Anisa suka sekali membaca, menulis, berhitung dan bernyanyi. Si kecil arum suka mengobrak-abrik tatanan buku. Tingkahnya lucu, setiap melihat gambar di buku ia akan berteriak "etan..etan.." ehm setan kali ya yang dimaksud. Kalau Anis sudah mengerti bagaimana memperlakukan buku walaupun belum bisa lancar membaca. Jadi aku memperlihatkan gambar-gambar di majalah bobo dan membacakan untuknya. Bosan membaca, mereka meminta kertas untuk menulis, berhitung dan menggambar. Di sebelah emperan kami ada ibu-ibu penjual kerupuk, beliau menghardik arum karena takut tempat kami dibuat rusuh.

Semakin sore pendopo alun-alun sidoarjo semakin ramai, Rata-rata pengunjung kami adalah anak-anak dari pedagang di sana. Mereka asik membaca komik, majalah, tapi terkadang mereka bertengkar memperebutkan buku atau mencoba berebut perhatian dari kami. Terkadang orang tua merekapun datang untuk meminjam majalah wanita, buku resep masakan.

Ada seorang ibu penjual jajanan kecil, dia mencari buku cerita untuk anaknya supaya lancar membaca. Tapi anak perempuannya entah bermain dimana. Akhirnya ibu itu sendiri yang meminjam majalah perempuan untuk dibaca sendiri. Mendekati maghrib datang lagi bocah perempuan bernama Sofi ternyata anak dari ibu-ibu penjual jajanan kecil tadi. Sofi lebih pandai membaca daripada Anis. Tapi masih suka lupa-lupa. Dia juga belajar berhitung, menggambar bersama kami.

Bocah-bocah itu tingkahnya lucu kalau sudah datang bosannya maka mereka akan pergi berlarian kemudian kembali lagi minta membaca. Kami berjanji untuk membawakan kertas mewarnai untuk mereka. Anak-anak KIBAR (komunitas seni sidoarjo) juga membantu. Habis maghrib susana alun-alun semakin ramai. Terkadang kamipun membacakan cerita mendongeng sebisa kami. Atau mengajak mereka menulis sebuah cerita sendiri.

Pada awal buka perpus (Des08) para pengunjung rata-rata masih bingung, buku-buku ini dijual atau bagaimana. Maklum konsep hanya baca ditempat gratis belum umum. Kami menyadari memang butuh sosialisasi Perpus Ngemper agak lama. Beberapa orang pengunjung alun-alun datang melihat dan kami persilahkan untuk membaca di sana. Mereka suka sekali, ada yang minta buku tentang agama, sastra, bacaan anak, pertukangan, bahkan perdukunan eh bukan cuma ramalan bintang.

Sekitar jam delapan kamipun membereskan TKP (tempat kejadian perpus). Karena semakin malam alun-alun semakin ramai dan kamipun sudah mulai kelelahan. Setelah melihat langsung kondisi di lapangan, maka kamipun memutuskan Perpus Ngemper tetap digelar di pendopo alun-alun sidoarjo. Setiap dua minggu sekali di hari minggu sore kami datang, ini semata karena keterbatasan tenaga kami saja. Selain itu kendala cuaca yang membuat kami tak bisa datang. Karena takut buku-buku kami basah karena hujan.