Wednesday, January 31, 2007

Mug Seng itu Menunggu

Hari begini panas jembatan penyebrangan tempat biasa mangkal sudah penuh sesak, teman teman seperjuangan sudah mengantre dan siap menjual tampang melas mereka. Bisa dibilang akulah pelopor pertama menempati tempat ini. Awalnya kupikir disini tempat yang cocok, banyak orang yang lewat sini dan belum ada orang sepertiku. Tapi lambat laun banyak juga temen teman yang mengikuti jejakku. Dulu si udin yang pertama kuajak kesini. Lalu si udin bawa badrun,lalu badrun bawa mamat, mamat bawa karto, dan begitu seterusnya. Akhirnya disini lebih banyak kami dari pada mereka. Herannya makin banyak saja yang menguntit kami. Sebenarnya sudah ingin pindah saja tapi aku masih menunggu sesuatu yang belum pernah aku dapat disini. Sebenarnya ada tempat lain, tapi hanya sesekali berpindah tempat hanya saja di tempat itu semua orang pada sok. Jarang sekali aku bisa dapat makan disitu.

Kuhabiskan waktu bermain main dipingir jalan dengan teman seperjuangan. Sambil menahan lapar yang melilit kami terbiasa tertawa. Hingga malam mulai dingin aku tak bisa langsung tidur karena lelah. Aku masih harus menunggu toko toko tutup baru bisa dengan nyenyak meminjamnya untuk bertemu dengan lelah. Kadang tidurku ditemani anjing liar, kucing, tikus, bahkan seringpula tak kedapatan tempat gara gara para pemabok ingin berhura hura disitu. Dan lagi lagi aku harus mengalah dan mengubur kembali lelah. kalau sudah begini segera saja kuselamatkan harta paling berharga yaitu mug seng, benda itu pemberian mantan majikanku dulu. Diantara teman temanku yang lain hanya aku yang punya. “Ini peralatan mutakhir” gurauku pada mereka. Mereka hanya mndengus karena iri. Kunikmati saja kekayaanku diantara mereka. Mug itu pemberian seorang wanita kaya yang rumahnya diujung perumahan elit dekat biasa aku mangkal. Sesekali aku mengintip dalam rumahnya. Banyak sekali hewan peliharaannya mulai burung, kucing , anjing. Kata para pembantu rumah itu, mereka bekerja untuk mengasuh dan meladeni para hewan hewan itu.

Suatu kali aku iseng iseng mengais beberapa koin didepan rumah itu, kebetulan sekali tuan rumahnya sedang bermain dengan anjing peliharaanya. Kemudian entah karena kesal atau apa anjingnya malah menyalak dan si tuan rumah bukan menenangkan anjingnya malah mengusirku lalu melemparku dengan mug seng bekas tempat makan anjingnya. “Guk.. guk.. guk…!” terus saja anjing itu menggonggong dan aku tidak tau ada apa dengan anjing itu. Apa yang sedang dirisaukan si anjing sampai sampai begitu marahnya ketika melihatku. Guk.. guk.. guk… dasar anjing bisanya guk guiKarena aku belum pernah belajar bahasa anjing. Jangankan bahasa anjing, bahasa ibu saja aku tidak tau.

Kepalaku pening akibat lemparan mug itu, pikiran langsung melayang membayangkan seandainya dia hewan piaraan tadi. Wah betapa menyenangkannya! Setiap hari dimandikan tidak perlu panas panas, baju tidur pasti ada, dan tak lupa setiap hari aku dapat belaian. Banyak sekali peralatan untuk hewan piaraannya mulai dari WC, pakaiannya, makanannya, kandangnya, parfum, bedak bahkan mungkin lipstiknya. Dibandingkan aku yang seorang manusia mungkin lebih terhormat mereka. Kandang mereka saja lebih bagus daripada punyaku. Kandang? Akh.. aku tidak punya, kandangku besar seluruh hidup dan sekelilingku ini adalah kandangku. Rumah mewah itu mungkin cukup ditinggali orang sekampung dan ternaknya. Penghuni rumah lebih banyak para pekerja daripada pemilik (baca: termasuk hewan peliharaannya) Aneh juga iri kok sama hewan.

Dikejauhan aku mengawasi wanita yang sedang sibuk dengan tas tangan hitam dan sesekali mengusap keringat yang leleh di lehernya. Aku menunggu ia melewatiku, segera saja kusiapkan tampangku yang paling.. super duper.. melas siapa tau ia mengangkatku anak. Ha.. ha.. ha.. mimpi yang aneh, lama aku hanyut dalam pikiran itu. Klunting… mug seng yang setadinya kosong terisi yah.. lumayan 200 rupiah. “Lumayan untuk siang, ini masih ada waktu utuk lembar 5000an”. Pikirku wanita tadi berlalu hingga hilang di depan tangga turun. Baju lusuh.. keringat bau.. ya memang begini tampangku. Siang masih bernama siang belum berganti nama sore atau malam. Sedari tadi baru ada recehan, 3 orang berlalu dengan tangan di saku, 2 orang terpaku dengan tangan berpisau. Tinggal satu orang yang paling mungkin menuangkan rejeki untukku. Kutunggu lagi dengan tampang semestinya. Lari…. Lari…..diujung, temanku berteriak teriak, sial… itu satpol PP. akh lenyap sudah rejeki hari ini. Dengan terpaksa aku lari meninggalkan tahta kebanggaan.

Wajahku semakin lusuh debu kota dan ludah manusia sering kali mampir. Setiap hari kuhitug berapa dermawan yang lewat dan berapa yang hanya derma bukan wan. Aku punya idola seorang kakek tua yang saban hari menggandeng gadis kecil. Entah cucunya atau anaknya. Kalau sudah begini iri sedikit demi sedikit muncul. Jangankan dipeluk mimpi untuk melihat lembar 5000an saja belum juga kesampaian. Perlu beberapa tahun untuk selembar 5000an. Sebenarnya sehari bisa dapat lebih, hanya saja bentuknya pecahan receh 500, 200, 100 bahkan kalo apes ya 50 ato 25 sering ada didalam mug seng. mangkanya jarang sekali (baca: tidak pernah) bertemu dengan lembar 5000an. Belum lagi para preman yang mampir sekedar bertukar sapa, ia todongkan pisau aku setorkan receh. Sial ia sendiri habiskan uang itu buat beli lem. Sedangkan aku harus menunggu lagi untuk makan dan berjalan pulang. “Itung itung pajak!” itu kata mereka. Kudekap saja mug seng yang mulai bocel dan berkarat jangan sampai ikut jadi korban pajak. “Kres.. kres… kruyukk kruyukk” wah ini hampir sore rupanya perutku mulai berkokok. Segelinding coin tak cukup buat beli butir jagung. Dihitung lumayanlah terkum[pul kira kira 4000an cukup buat beli nasi dan air bersih. Dikorek terus isi mugku blom ada yang bentuknya lembaran 5000an.

Belum waktunya pergi dan aku masih saja terdiam disini. Jembatan ini kalau malam sepi, jarang pejalan kaki lebih banyak preman dan setan. Klo malam lebih bagus.. banyak mata yang menarik terang nyala seram tapi setibanya didepanku ia mengulurkan selembar uang seribu. Kadang ada copet yang membuang dompet didekatku bodohnya masih ada uang terselip di kantong kantong kecil yang tidak diperiksa jarang ada lembar lima ribuan. Aduh... beberapa taun sudah berkarat di compang camping bajuku, kenapa susah sekali bertemu mimpi itu, dimana sebenarnya terselip?. Malam semakin menerkam gelap dengan mesra, hari ini belum tau aku harus menggelar mimpi dimana. Tidak ada jadwal jelas kapan harus datang dan kapan harus pergi. “Datang tak diundang, pulang harus diusir” pesan ini tersirat di dalam mug kesayanganku. Berlaku juga buat mimpi dan harapanku. Kutenggelamkan saja didasar Mug Seng sembari menunggu lima ribuan, mampir sejenak kantuk diselaput mata.

Aku sudah malas beranjak, akhirnya kantuk menyergap tanpa sempat pulang. Aku sudah terlelap disitu tanpa alas, tanpa rebah, hanya bersandar disisi jembatan mug seng terjulur dengan tetap tergenggam kuat. Malam semakin lama larut dan menjemput kembali senja. Sampai akhirnya membangungkanku. Aku terkejut, Dikerjapkan matanya berulang ulang, tak percaya “wah.. semoga bukan mimpi..” teriakku dalam hati. selembar lima ribuan telah mengisi mug sengnya, mugnya tak lagi berisik, dan bergerincing ada selembar 5000an meredam suaranya. Hari ini senja mulai tersenyum dan aku pun rela berpindah tanpa perlu diusir satpol PP. Sudah tak perlu lagi sembunyi, shubuh ini aku langsung hengkang semoga belum terjengkang preman bebas lewat karena aku sudah hilang disini. Mimpinya satu satunya telah ada didalam benda kesayangannya tidak berisik, tidak gaduh. Entah siapa yang menyisipkan di tengah tengah mimpinya semalam apakah orang itu berbaju biru, bermata binar, bercincin emas atau juga seorang yang sama sepertinya. Dan ia berlari girang memandang selembar 5000an yang sedang termangu didalam mug seng kesayangannya.

Nb: 5000an adalah uang kertas yang paling rendah nilainya yang belum ada versi koinnya. Menurutku disitu istimewanya.

Kantongnya tebal, isinya koin walau berat nilainya sedikit. Dompet tipis, isinya kertas walau ringan nilainya tinggi.

Sunday, December 24, 2006

Tidak Ada Pilihan Selain Berpikir

Dihisapnya sekali lagi rokoknya dalam dalam dan dihembuskan dengan cepat sepertinya ia sudah mulai jenuh dengan rokok yang sudah keberapa kalinya ia menyulut. Rea menerawang jauh ketika membayangkan beberapa tahun kedepan ia akan menjadi seperti apa. Pasalnya hingga sekarang ia tak pernah lega dengan apa yang diinginkan semuanya pergi seperti asap rokok yang ia hembuskan. Filosofi rokok dihisap dan kemudian di hembuskan dan tidak menjadi apa apa didalam tubuh selain menjadi penyakit. Mimpi dan harapan yang ia miliki setinggi gunung yang tak hendak habis didaki tak pernah mampu didapati dan direngkuhnya. Menulis mimpi diatas kertas lusuh yang setidaknya segera diserahkan ke hadapan dosen untuk mengejar nama belakang SE sama sulitnya ketika harus mendapatkan pria yang diinginkan.

Rea berandai andai, seandainya saja mengerjakan itu semua seperti menyalakan rokok dihisap kemudian dihempaskan. Hampir saja ia menyerah dan membanting keyboardnya karena tak satu pun kata yang mampu ditulis lagi. Rea meregangkan badannya yang terasa lelah seharian berkutat di depan komputer dan bahunya yang pegal harus memijat mijat huruf huruf yang mati didepannya. Kemudian Rea mengambil handphonenya mencoba menghubungi pria yang akhir akhir ini selalu membuat ia gundah dan tidak mampu berpikir jernih. Ia bimbang sangat inginnya ia mendengar kabar darinya tapi tidak ingin terlihat sangat murahan didepannya Rea gengsi tapi perasaannyalah yang akhirnya mengijinkan menelpon. Dipilihnya nomer yang sudah tersimpan di list Hpnya dengan perasaan yang tidak menentu. Ketika yang diseberang berbicara ternyata yang berbicara langsung orang yang dituju. Rea pun berbicara seperlunya karena pria yang diajaknya berbicara sepertinya merasa terganggu. Ia pun harus menelan kekecewaan lagi seperti biasa dan hanya bisa melamun dan berpikir apakah salah yang dikerjakan selama ini.

Mengejar mimpi yang seharusnya datang sendiri. Diambil lagi handphonenya mencoba menghubungi pria lain yang diharapkan bisa memberi sedikit harapan walaupun pria lain itu bukan orang yang dikehendaki dengan sisa airmata yang masih menggantung dipipinya ia berusaha tertawa ceria dan benar pria lain itu mamberinya semangat. Tapi percuma semangatnya dan konsentrasinya sudah bukan ke tulisannya. Ditatapnya layar komputernya yang hanya membuatnya pusing dibuka file file yang setidaknya bisa menambah satu kata pada tulisannya tapi sia sia. Handphonenya berbunyi tanda sms diterima ternyata sms itu bukan dari seseorang yang penting dan diharapkannya. Pengganggu yang aneh tidak mau menyebut nama ketika ditelepon tidak diangkat, sekalinya diangkat tidak berbicara apapun sedikt berteriak ia ingin memaki orang diseberang tapi ia masih ingat kalau ia hanya perempuan yang harus menjaga kesopanan. Benar benar menjengkelkan dan menganggu, tapi tetap saja sms itu ia balas walaupun dengan nada kasar anehnya orang diseberang malah semakin menjadi. Sedikit penasaran Rea meladeni sms itu. Tapi ia kemudian malas membalas sms konyol itu. Ditatap kembali tulisan di komputer itu tapi, tak ia temukan satu katapun yang bisa ia masukkan dalam tulisan itu. Ia gelisah ia menangis dan meratap apa yang sebenarnya terjadi apa demikian berat cobaan yang harus dilewati untuk mendapat semua keinginannya. Ia kemudian tertunduk menangis dan tak tau harus berbuat apa.

Ia merasa semakin salah karena tidak seharusnya pria itu ia pikirkan dan mengganggu konsentrasinya. Kemudian dibuka lagi kotak rokok didepannya dan menyalakan satu lagi untuk menenangkan pikirannya. Sepertinya ia sudah kehabisan akal untuk berusaha fokus. Ia berjalan keluar menatap malam yang menyelimuti kampusnya malam itu tidak sepi besok pagi ada pelepasan para mahasiswa dan mahasisiwi. Hal itu makin menambah perih hatinya. Apa yang berbeda dari teman temannya, Rea tidak bodoh juga tidak idiot tapi kenapa ia tak bisa sama dengan yang lain. Di luar hanya semakin pedih, ia kembali menatap ruang kecil tempat ia bebas sedih dan tertawa. Atap penuh poster sisa sisa kejayaan, tergeletak bantal guling dilantai dengan kabel kabel yang belum sempat di bersihkan setelah pagelaran seni. Benar benar bertanggung jawab sekali penghuni tempat ini. Tapi ia tak hendak membereskan ia mengambil bantal dan gulingnya dan ia rebah diatasnya memberi sedikit ruang tubuhnya untuk merasakan rileks. Ia terpejam dan dengan sekejap bayangan pria itu muncul lagi dalam keadaan mendekapnya. Ia terhenyak dari tidurnya terbangun dan tertegun kembali. Apa yang hendak dilakukan untuk tidak mengingat pria itu. Pria yang memberi harapan tapi tidak pernah menerima mimpinya. Ia terduduk dan melamun lagi tidak ada yang bisa dilakukan. Kembali ia menuju komputer yang masih menyala dan memelototi tulisan yang semakin tidak ia mengerti apa maksudnya. Dinyalakan rokoknya sebatang dihisap dalam dalam dan dihembuskan dengan cepat. Dan ia masih tidak tahu harus berbuat apa. Ia matikan komputer itu beranjak dan kemudian ia lebih memilih kembali ketempatnya yang hangat dan ramai dan mencoba mengadu pada malam di jalan. Dan ia masih belum tau apa yang harus dikerjakan. 5 juli 2006