Monday, April 16, 2007

Laki Laki Tak Bernama

“Hei… lepaskan sepatu itu..! rumah ini sudah kotor jangan kau tambah dengan noda dari sol sepatumu!” Teriakkannya memekakan telinga.


Selalu saja begitu, pulang dengan tubuh lunglai. Tak sekalipun perempuan itu menyambut kedatanganku dengan senyum dan tawa renyah. Walau aku sudah menyiapkan lembaran ratusan ribu dalam amplop. Perempuan itu masih dengan matanya yang merah dan nyala berkobar kobar memakiku.


Sepatu ini tak lebih kotor dari tubuhku lalu kenapa kau mengjinkan aku membasuh diri dengan noda. Tak pernah sedikitpun kau mengajariku tersenyum, bermanja, bahkan mengenal siapa aku.


Perempuan, aku ini siapa? Buat apa aku setiap hari menunggu kau memanjakanku kenapa aku selalu ingin pulang dan berteduh dibawah keriput dan bibirmu. Aku sudah pulang, tubuhku ini begitu lusuh begitu ingin mandi. Kaki, paha , perut, kelamin, mulut dan mataku begitu lelah. Perempuan kapan aku bisa bersedekap ditubuhmu.


“Sudah makan kau? Itu nasi sisa kemaren masih belum habis. Habiskan saja untuk menyumpal mulut jahanammu!” perempuan itu masih memakiku tak pernah ada sedikit kata kata lembut buatku.


Sisa dentum musik tadi malam yang terngiang ditelingaku terkalahkan oleh makian makian itu. Suaranya yang serak lebih serak dibanding penyayi klub malam ditempatku biasanya bersemedi, menyusup dalam telingaku.


Tubuhku sangat lelah setelah mengembara dari satu laki laki kemudian ke perempuan perempuan lalu kembali ke laki laki lagi. Amplop berukuran jumbo hampir tak cukup menyimpan penghasilanku dalam semalam.


“Laki laki…. Apa yang kau tumbukkan didadamu! pulang hanya membawa amplop tebal saja, kau merasa sudah bekerja keras!” ocehan ocehan itu masih terdengar sampai aku harus menutup telinga.


Perempuan tanpa nama tapi aku tau disana aku berasal, dari sana dulu aku menetek. Di kedua buah payudaranya aku menyusup menjadi laki laki. Perempuan dengan keriput yang mengeras. Air matanya sudah kering digantikan dengan keringat dimasa mudanya.


“Laki laki…. Jangan kau tunjukkan muka padaku! Kalau kau belum tau apa itu perempuan!” perempuan itu semakin meracau.


Perempuan itu tak pernah menatap mukaku entah jijik atau benci. Sejak aku bisa melihat isi dunia perempuan itu tak pernah mengelus tubuhku lagi. Semakin aku menjadi laki laki semakin terasa kebencian dari mulut dan tatapan matanya. Bahkan sentuhan sentuhannya yang sangat jarang dan hampir tidak pernah aku rasakan.


Oh.. perempuan kapan aku dapat menjumpai senyum untukku. Karena laki laki ia begitu gila, gila mengumpat, gila menghina, gila menyusu pada malam. Aku laki laki satu satunya yang selalu ada disini di rumah ini selalu dipanggil laki laki. Aku laki laki tanpa nama seperti perempuan itu, aku tak pernah bernama. Aku hanya kenal dan tahu bahwa aku laki laki.


Kebencian yang membesarkan aku. Kesengsaraan yang bermain denganku. Aku laki laki tak bernama sama seperti Ibuku