Saturday, July 14, 2012

Mari kita belajar dari sesuatu yang sederhana

Sebuah pekerjaan dan resiko

Di bulan-bulan awal, aku memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai operator warnet. Pengangguran dan mungkin setingkat lebih tinggi dari gelandangan pernah aku lewati. Setiap hari mencari-cari kegiatan supaya tak terlihat di depan kedua-orang tuaku. Dengan pacar baru yang seniman -pengangguran nekat-, uang untuk makan, rokok, nongkrong. benar-benar pengleuaran wajib bersosialiasi, semakin menipis. Pengangguran, bebas, waktu hanya milikku dan tuhan. Kegiatan, berkomunitas, kluyuran dari kota-ke kota atau segala macamnya yang bisa aku lakukan ketika masih berpenghasilan tetap (walau pas-pasan) semakin jauh untuk dilakukan. Dan yang harus aku tinggalkan adalah membantu sekitarku, bukan maksud ber-sok baik. Siapapun pasti punya keinginan menolong sesama, termasuk aku. Ketika menganggur apa yang bisa aku lakukan, komunitas indie yang aku bangun, mulai macet. Pada akhirnya salah satu teman yang masih bekerja lebih sering menambal kebutuhan komunitas. Malu? sudah pasti. Idealisme ketika aku tidak berkeinginan untuk mengemis dengan ijazah ke kantor/perusahaan sempat terbersit. Tapi untunglah, aku masih terlalu sombong untuk melakukan itu. (pada saat itu 2010).  

Akhirnya seorang kawan, menawari untuk bekerja di sekretariat event Kompetisi Teater Indonesia - di DKS. tempat yang semasa aktif di teater kampus, diharamkan jadi tempat -nyantrik- oleh para senior. (dan akhirnya aku tahu di mana letak keharamannya itu) Semua bekerja menurut kemampuan dan KEMAUAN mereka sendiri-sendiri. Sempat di buat pusing, bekerja ditengah kerumunan orang-orang yang asik nongkrong, padahal aku harus pusing dengan printer macet dsb. Ya sudahlah mungkin mereka pemikir dan aku pekerja (pada saat itu) sampai akhirnya hari -H event itu berlangsung. Ternyata tak banyak yang para beliau-beliau itu lakukan, dan lagi-lagi harus aku semua yang menyiapkan segala macam kebutuhan peserta kompetisi. Dan yang gawat lagi, bonus yang dijanjikan selama event berlangsung tidak juga cair. (hingga hari ini 2010-2012). Tapi lumayanlah, setelah menjadi pengangguran, ada penghasilan tiap bulan sekitar 8 bulan kerja. Apa yang kemudian aku pelajari ketika bekerja dengan mereka. Oh.. mereka tak lebih pintar dariku. *sombong itu perlu, sekali-kali*

Lalu aku menjadi pengangguran sekali lagi, kali ini benar-benar dengan kantong melompong. hari-hari dipenuhi dengan angka-angka kosong. Kesibukan tetap padat, orang tua di rumah semakin tak bisa menjangkau aku, dan kegiatannku yang diluar nalar mereka. Sibuk setiap hari, sampai tidak sempat pulang, tapi tak pernah punya uang. Aku berjuang untuk kalian dengan caraku bu.. yah.. Supaya aku tak hanya menjadi Pratama Sagitta Prihantini anak perempuan pertama kalian yang biasa saja. Aku diajak membantu mengelola DBUKU Bibliopolis, perpustakaan indie milik perempuan sakti Diana AV Sasa. Banyak hal yang bisa aku pelajari darinya. Kegigihannya berjuang di jalurnya, walaupun semakin lama kegigihannya  itu membuat banyak memberi cap Sombong, Keras Kepala dan Angkuh. Tapi yang ingin aku garis bawahi darinya "seseorang tidak akan mati karena kelaparan, hanya karena jalan hidup yang telah ia pilih" Aku percaya itu mbak. Dan aku tetap berada di belakangnya, berusaha semampunya membangun apa yang dicita-citakan. Sampai akhirnya kemegahan DBUKU di Mall itu hancur, aku tetap berusaha tak meninggalkannya. Karena aku tak ingin menjadi pecundang yang lari mencari selamat ketika komandannya terdesak musuh.

Ketika di DBUKU, akhirnya aku berkenalan dengan seorang perempuan penulis Wina Bojonegoro. Awal tahu namanya aku kira ini mbak Muda yang gaul. Ternyata setelah berkenalan lebih jauh, perempuan ini tak kalah tegarnya dengan mbak sasa. Single parent, dengan kemampuan bisnis yang lihai dan sudah memiliki satu cucu cantik, Farah namanya. Waktu itu, dbuku banyak event launching buku, dan aku diberi tugas menghandle launching buku The Souls "moonlight sonata". Yes.. I took the job. Lalu oleh mbak Wina aku diberi tugas memonolog-kan nukilan novelnya. Aku tulis 3 halaman naskah. Not perfect, but yes.. I do it. Untunglah dapat aktor yang sudah tinggal poles, murid jurusan teater SMKN 9 volunter ketika aku berkerja di event KTI. Di bantu pacar paling kesayangan, akhirnya aku menyelesaikan tugas satu itu.

Masa-masa  itu tanpa uang yang berlebih dikantong, dengan untung kecil dari pesan makanan, desain undangan, membuat naskah dan tambahan penghasilan job-job Perkusi pacar kesayangan. Oh iya, aku diberi kepercayaan oleh pendiri komunitas seni Jajan Pasar Perkusi menjadi manager. Dan sekali lagi, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ya.. certainly, I accepted it. kapan lagi dapat kesempatan untuk belajar memanajeri. Hidup terasa ringan tanpa beban, walau dengan penghasilan yang tak menentu. Sekali lagi, aku tidak akan mati kelaparan, hanya karena memilih jalan hidup seperti ini. Dan aku habiskan waktu dan umurku yang terus bertambah di usia 27 tahun, aku menjadi semacam buku tulis besar. Belajar dan mengambil apapun dan darimana saja. Aku sadar betul orang tuaku akan semakin gerah melihat kehidupanku.

Keluarga, kehidupan, dulu atau sekarang terkadang, yah.. begitulah.  

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama mbak sasa, di rumah kontrakan yang sekaligus menjadi perpustakaan Dbuku. Hanya supaya aku tak langsung melihat kekecewaan di kerut kening mereka. Sungguh, aku bukan perempuan berhati baja, yang sanggup melihat orang tuaku susah memikirkan nasib anaknya.

Aku memilih pulang sesekali, walau terkadang Ayahku yang paling tampan sedunia, lebih sering nyindir ketika aku masuk di ruang tamu rumahku sendiri. "Wah.. gak salah alamat mbak?" atau "siapa ya? tamu darimana?". Sakit hati juga mendengarnya, tapi itulah cara ayahku menyatakan kerinduannya. Lalu setiap aku pulang, besok paginya ketika bangun tidur, (ingat aku penganut matahari terbit dari tengah) ibu akan menghidangkan masakan kesukaanku. Justru ketika aku mengambil jarak dengan kedua orang tuaku, Kasih Sayang mereka lebih aku rasakan, dan aku semakin mensyukuri memliki kedua orang tua seperti mereka. Sejak aku kecil, dengan kehidupan sederhana, jarang diajak berbelanja ke mall. Hanya setahun sekali setiap lebaran saja, beliau mengajak anak-anaknya jalan-jalan ke mall. Yang aku ingat setiap tahun, pasti ada mall baru. Dan mall itu yang selalu jadi tujuan ayah. Semakin besar aku tahu maksudnya, supaya tak terlampau banyak waktu dihabiskan untuk pilihan berbelanja. (Ayahku memang jago kalau soal ngapusi kami. hahaha... ). Aku menjadi pribadi yang tak terlalu konsumtif, ya.. tak sampai harus panas dingin kalau sebulan saja tidak nge-Mall atau belanja.

Lalu aku, sejak kelas 3 SD di asuh kembali oleh orang tuaku. Aku dan kedua adikku jarang sekali dibelikan barang-barang yang kami inginkan, semakin kami minta semakin tidak akan dibelikan. Tapi ketika sudah mulai lupa apa yang kami inginkan, tiba-tiba beliau, sepulang dari beliau bekerja membawa barang-barang yang sudah tidak kami ingat pernah minta. Semisal Sepatu roda, Sepeda, Tas Sekolah, Kulkas, Rice Cooker dsb. *bayangkan ketika rata-rata tetangga di perumahan dulu sudah punya kulkas atau rice cooker. Ayah masih bergeming tak hendak membelikannya untuk kami dan ibu, lalu ketika kami tak lagi berangan-angan memiliki, dan tak lagi menjadi trend. Secara tiba-tiba barang itu menghiasi rumah kami*. Dan aku menjadi seorang yang benar-benar berpikir jika akan membeli sesuatu, kalau tidak perlu benar sebaiknya tidak perlu dibeli dulu. Kalau sudah saatnya memiliki, pasti sesuatu itu akan datang sendiri. Tidak perlu banyak keinginan, terkadang keinginan dan kemampuan itu datangnya tak seimbang. Lebih baik punya satu keinginan tapi itu adalah sesuatu dengan alasan yang kuat. Daripada tak terwujud semua, buat apa? *yes.. aku beruntung punya ayah yang bijaksana*.

Semakin dewasa waktu aku smp-sma, aku sempat berpikir orang tuaku bukan orang yang miskin, terbilang cukup. Dibandingkan kawan-kawanku yang lain. Tapi kenapa mengeluarkan sekedar 5000 untuk aku pergi jalan-jalan saja susahnya minta ampun, introgasinya macam-macam, walau pada akhirnya juga tidak cair juga. Uang saku sekolah hanya cukup untuk naik angkot PP, dan jajan semangkok bakso. Padahal waktu sma, aku ikut kegiatan ekstra Pecinta Alam, sudah pasti budget setiap ekspedisi tinggi. Akhirnya aku mengakali agar aku tetap bisa ke kantin dan membeli sekedar gorengan dan es teh pengganjal perut. Aku menyisihkan semua uang sakuku, aku datang ke kanitn sekolah seperti biasa, lalu aku minta Rp.100,- dari beberapa teman-teman yang ada di sana. (bayangkan dalam setiap jam istirahat, 30 orang aku mintai pajak jajan 100 rupiah sudah bisa buat beli es teh, jajanan dan gorengan) Hahahaha.. dan itu aku lakukan sampai akhirnya aku bisa berangkat ikut ekspedisi yang budgetnya bisa satu tahun uang saku-ku. Dan sekali-lagi, Orang tuaku membiarkan aku mencari jalan sendiri untuk keinginanku itu. Kalau aku sudah yakin, aku pasti putar otak sendiri untuk bisa mencapainya. Walau aku menangis sehari semalam, beliau akan tetap membiarkan aku meminta dengan hanya menengadahkan tanganku.

Jujur saja, selama aku kecil hingga besar aku tak pernah merasa hidup dalam kesusahan. Makanan selalu ada, baju baru pun selalu dibelikan, bahkan sesekali rekreasi keluarga. Dan aku mulai jenuh dengan kehidupan yang serba ada. Lalu di luar rumah, aku menemukan banyak hal yang tidak pernah aku ketahui.

Akhirnya aku mulai bersyukur dengan apa yang aku miliki, apa yang orangtuaku beri. Aku tetap akan bisa makan, walau aku tidak bekerja dan berpenghasilan. Tapi di luar sana, banyak orang dengan gaji jauh dari pas-pasan pasti tidak bisa memenuhi asupan gizi untuk anak istrinya di rumah. dan mereka tetap mensyukuri apa yang sudah mereka miliki. Lalu seorang anak yang seharusnya masih sekolah, memilih berhenti sekolah hanya untuk bekerja membantu orang tuanya. Mereka yang tak lagi punya pilihan bermimpi, selain tidur dalam keadaan lelah, lalu terbangun pagi hari untuk mengulangi rutinitas mencari sekedar hidup untuk hari itu juga, mungkin hingga akhirnya mereka kembali ke sang khalik.       


Next...
Pulang NgeSPG, 10 juni 2012







Friday, July 06, 2012

Berbicara saja tidak akan cukup

Beberapa kali aku harus terdiam, dipinggir jalan. Hanya karena melihat sesuatu yang begitu menyentuh. waktu di pertigaan McD mayjen Sungkono, aku pernah melihat dua bocah kecil yang berjualan koran. Mereka asik dan terlihat riang sekali, bermain dan bekerja walaupun harus bertelanjang kaki di bawah terik surabaya yang panas. Mereka sudah tahu cara berbagi. Jika temannya sedang istirahat, maka teman yang satunya akan menjajakan koran. Karena mereka terlalu kecil (kira-kira usianya klas 1 SD) mereka hanya sanggup membawa koran sedikit. itupun mereka berbagi tugas, yang satu membawa satu koran dimasukkan ke plastik besar, biar tetap rapi dan terlihat baru. Yang satunya istirahat sambil menjaga barang dagangannya.

Lampu merah di pertigaan itu lama sekali, aku tersenyum diboncengan belakang sepeda motor pacarku. dan lamakelamaan Mataku terasa penuh, akibat genangan yang hampir tumpah. Untunglah traffic light segera berganti hijau. Karena aku sama sekali tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mereka. Aku hanya punya senyum ke mereka, dan mata-mata kecil itu berbinar.

Aku bukan ingin, mencatat hal-hal baik tentang aku di blog ini. Karena memang tidak banyak yang bisa aku perbuat untuk orang-orang yang tidak sepertiku. Aku Bukan Siapa-Siapa. Tapi menurutku berbagi cerita ini juga perlu.

Sore tadi, ketika aku berjalan dari rumah kontrakan menuju toko klontong, perempuan setengah baya keluar dari gang kecil menyambutku dan tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Aku diam, sambil berpikir siapakah perempuan ini. Apa yang sudah aku perbuat. Lalu ia bercerita Mertha, kemarin bisa beli 2 buah seragam, bayar SPP sekolah anaknya. beli baju baru. "Terima kasih ya mbak.. kasihan mertha, dia seneng sekali kerjaan yang kemarin lho mbak".

Aku jadi berpikir siapa perempuan yang bernama Mertha itu? Beberapa hari yang lalu memang ada pameran baju batik. Memang itu bukan Bisnisku. Allhamdulilah aku diberi kepercayaan teman baikku untuk selalu membantunya. (Kawan baikku ini aku tulis juga di Perempuan dan Buku di blog ini). Dan aku memenuhi janjiku untuk mengajak kerja salah satu orang tua, salah satu murid membacaku. (bukan murid sih sebenarnya, teman bermain membacaku di rumah kontrakan ini.). Dia ibu dari teman kesayanganku Sukma, gadis kecil kelas 2 SD, yang masih kesulitan membaca dan menangkap ilmu pelajaran sekolah, karena daya konsentrasinya kurang.

Sedikit cerita, Ibu ini single parent, tanpa surat cerai. Untuk kehidupan lebih dalamnya aku tak tahu pasti. Sebelum aku ajak kerja ibu-nya sukma, aku lebih sering mendengar gosip yang tidak baik dari tetangga yang lain. Tapi aku tidak akan semudah itu mempercayai gosip. ternyata Diapun sudah hampir 8 tahun kesulitan cvari pekerjaan. Kemampuannya terbatas hanya bisa jaga toko.Walhasil, aku ajaklah dia kerja, dan ternyata ceritanya tidak seburuk yg digosipkan tetangga-tetangga disini.

Selama seminggu aku minta dia untuk jadi SPG di stand batik itu. Gajinya sih tak seberapa hanya 40ribu/hari. Tapi ternyata respon dia membuat aku jadi ingin menangis. Dia senang sekali. Sayangnya kawan baikku jarang sekali ikut pameran sejak dia, menggeluti bisnis lain. Dan Mak'e Sukma -list nama di hpku-, sering sekali bertanya apa ada pameran lagi. Sedih rasanya tidak bisa kasih dia kesempatan kerja lagi. Aku sama sekali, tak pernah menanyakan namanya. sampai akhir pameranpun aku tidak tahu namanya.

Sampai perempuan baya itu menyapa riang kepadaku, aku baru tahu. Nama perempuan "Mak'e Sukma" adalah Mertha. Dan perempuan itu adalah ibu dari mbak Mertha. Hampir saja air mataku tumpah di tepi jalan itu. Untung percakapan kecil itu hanya sebentar, sehingga aku yang cengeng ini tidak sampai bikin keributan.

Aku lupa setiap berdo'a apa yang aku minta. Tapi di dalam hati, aku selalu ingin bisa berbagi, dan memberi sedikit kebahagiaan dengan siapa saja. Itu bukan bagian dari cita-cita atau harapanku. I just want do it.

Tapi aku sadar, manusia itu selalu membawa cermin di dalam dirinya. Bagaimana kita bisa berbagi kebahagiaan jika kita sendiri masih melihat diri kita tidak bahagia? Belajar berbahagia dengan apa yang sudah menjadi pilihan hidup itu penting agar kita bisa selalu berbagi kebahagiaan.


Mari belajar tentang arti bahagia, kawan.