Thursday, October 22, 2009

Bukan jawaban surat kembara - Harap berhenti meratap

Apalagi yang hendak aku tulis malam ini? kata rindu itu berseliweran di bangku taman kota, tapi belum juga ada reronce kalimat berkalung di kepalaku. Penerawangan yang jauh, ranggenganmu adalah mimpi yang membuat telisik dedaun di halaman rumahku berbisik "pagi dan malam adalah kau dan aku yang bertahan pada kesadaran, sedangkan terik siang adalah kau dan aku yang diburu keinginan kesejatian"

Semalam aku di datangi mereka yang menunjukku kebenaran ada padamu. Aku terjaga, keringat seperti air terjun di musim keruh. Air mata terlepas hangat diantara amarah dan kelemahan pasrah. Mereka berkata aku menuju kebenaran sedangkan aku dilingkari ragunya warna. Aku sendiri masih mencari letak kesejatian benar dan salah. Peperang itu hampir membunuhku, siapa hendak benamkan wajahnya, sedangkan bagiku kembara tidak akan pernah mati. Keabadian rasa padanya tetap terjaga di batang dan akar pohon mangga.

Sesekali aku berjalan berputar-putar di sekeliling rumah, memunguti jejak kembara yang mungkin tertinggal. Sehelai rambut panjang tersisip di ujung jalan. Ingatanku berlarian pada belaian rambut yang menyesatkan jemariku di kepalamu. Seperti membacai lagi kemana kembara akan menuju. Ia menuju kesadaran yang lebih tinggi daripada aku.

Diamku di hari terakhir ia terpaksa undur diri, adalah gemuruh yang tak sanggup aku ucapkan. Badai diam yang aku cipta agar kau pergi berlindung pada goa goa pertapaan. Ia pun pamit meminta sekelumit do'a agar ia mampu lancar menerjemahkan luka yang tercetak di dadanya. Diam diam aku pun mengintainya mencuri bahasa keluguan rasa. kepasrahan yang pada akhirnya membuatku benar-benar terdiam.

Entah sampai dimana ia kembali mengembara, ia turut membawaku atau justru melenyapkan aku yang dulu begitu diangankannya.

--Lavina S Wibowo--
Kudus, Oktober 2009

Monday, October 19, 2009

Seperginya Ia - Kembara membawa laku

Halaman rumah bercecer daun daun mangga yang kering. Murammu sepi matahari berdiam diri.

Aku terbangun di siang yang mengusirku dari kelelapan pagi. Setelah kembara itu pergi di waktu lalu, tubuh serasa beku. Tak ada lagi mimpi ketika bulan yang berselimut rindu menunggu seperti dulu. Bahkan malam adalah musuh, dinginnya melelehkan air mataku. Gulungan selumbu berwarna ungu meredam ledak di dada, aku memeluk jiwa yang telah rebah entah di mana. Kembara itu mungkin telah jauh menuju bukit seberang dengan ladang bunga yang beraneka warna. Di sana mungkin ada gubuk didiami peri bersayap rapuh peristirahatan berikutnya.

Akh... aku hanya ingin ia berbalik pulang bukan menujuku tapi pada rumah teduh tempat perempuan menyulam syal abu abu di ambang pintu, usaikan pengembaraannya. Andai aku bisa membalas surat surat itu, tapi aku tak mampu membaca cepat secepat ia menghembuskan asap rokok kretek di muka waktu.

Ingatan itu, pertemuan itu, juga pernikahan semu ketika kata kata menanda jatuhnya hati di halaman rumahku. Kembalilah jeda pada hari yang disuburkan rindu rindu tabu. Ada yang bergolak memaksa perasaan mati celaka. Surat yang tertinggal telah kupungut dan kuletakkan di sudut rumah di balik lukisan berbingkai perak.

Ada yang terbawa, bersama angin yang meniupkan pada perjalanannya yang lain Aku. Gasing melingkar lingkar, tersesat pada labirin, merebut harap dan impian usang sebelum perjumpaan aku pada kembara, pada penantian seorang pedagang yang menjual pernik hiasan rambut.

Halaman rumahku temaram sejak ia pergi membawa laku. Kembara telah tinggalkan jejak, merebut aku seluruh.

--Lavina S Wibowo--
Kudus, 19 Oktober 2009

Menabur Bibit Kenangan

Setelah malam tanpa jeda, sesengguk yang terus di sulam dengan jari jari yang hampir beku. Tidurku terasa teramat lelap. Kembara itupun terlihat begitu nyenyak merebah waktu di halaman rumahku. Tak ada lagi mata nyalang yang sibuk mengintaiku. Aku pun tahu ia begitu lelah, mengawasiku yang terus berlari bersembunyi di balik batu batu bukit. Hingga tubuh ini menggigil dihantui hujatan rindu ingin kembali.

Tapi tidak, aku tak akan berputar arah. Ia adalah kembara yang akan pergi di suatu waktu. Ia telah mempunyai bilik istirah di waktu yang lalu yang mungkin hampir ia lupa. Ini hanya sementara, kini ia terlampau sibuk memenjarakan musim untukku. Ia sendiri berkata kembara tak pernah jenak di ruang yang sama begitu lama. Tak ada abadi baginya selain racauan kata pada kalimah pertanda rasa, karena ia memaklumi diri mudah melupa. Kembara lalu, membawa lentera rindu yang terpaksa redup.

Mungkin malam itulah pertanda usai cerita, juga luka. Bidadari berselendang ungu datang, memanggul tubuhku pada ragu. Mampuku hanya terdiam.

Aku meringkuk di sebalik tirai putih yang menjuntai, angin membelai pelan. Ia telah menjauh menyisakan tapak bayang punggungnya yang membekas gurat - gurat dipan di halaman rumahku itu. Kuseka mata lantas mengeja kata sederhana tentang malam agar katup bibirku tak lagi memanggilnya. Terselip lembar lembar surat di ketiak dahan pohon mangga. Sebagai tanda ia memang pernah ada dan bagiku ia akan tetap ada.

Kembara menabur bibit kenangan, pada usianya nanti kan kusemai sebelum musim hujan kedua tiba.

--Lavina S Wibowo--
Surabaya, 15 Oktober 2009