Wednesday, January 30, 2008

Di Sebuah Terminal

Suasana terminal pagi ini sudah mulai ramai, bus antar kota sudah berjajar dengan desing klakson yang tak henti. Calon penumpang dan para calopun sudah sibuk dengan aktifitasnya. Sedangkan aku seperti tidak terpengaruh riuh suasana, membisu dari sebuah warung makan yang berada di salah satu sudut. Aku sudah duduk di sana hampir dua jam lamanya. Kopi yang ada di hadapanku ini adalah gelas kedua.


“Bu, kopi satu..!” Suara seorang laki-laki dengan logat madura yang kental dan agak kasar melewati gendang telingaku dari belakang. Laki-laki itu duduk tepat di sebelah kiriku, dia langsung mengambil satu bungkus nasi yang ada di hadapannya. Bau apek menguar, keringat berlarian di sekitar lehernya yang legam. Handuk kecil yang terselip di saku celana, ia kibaskan. Untung saja aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Hampir seminggu aku sambang ke terminal ini.


Dua lembar surat aku keluarkan dari saku bajuku. Surat itu tampak lusuh, warnanyapun kusam mungkin karna terlalu sering dibaca atau sekedar dipegang. Mataku lekat memandang surat itu dalam keadaan tetap terlipat, tapi entah mengapa setiap kali aku memandangnya kepalaku menjadi sangat penuh. Terngiang permintaan ibu di kampung yang mendesakku untuk segera pulang. Hanya satu alasan yang membuat ibu memintaku seperti itu. Ibu tak pernah mendesakku seperti ini, beliau cukup percaya padaku, pada apa yang selalu aku putuskan. Jika bukan karna Asri, Ibu tidak akan terus menerus menekanku seperti ini.


Le.. Kapan kowe mulih?Mesakke Asri!”


Di sela-sela surat ibu yang mengabarkan bahwa keadan keluarga di sana baik-baik saja, pertanyaan kecil itu terselip di akhir surat. Dengan tanda seru yang besar di akhir kalimat.


Asri adalah anak gadis seorang petinggi di kampungku, waktu itu umurnya masih 17 tahun. Tapi di kampungku usia 17 sudah waktunya untuh dinikahkan dan memiliki keluarga. Dan beruntunglah aku karena dari sekian banyak pemuda akulah yang dipilih. Tiga tahun yang lalu, aku termasuk pemuda desa yang cukup cakap dan pandai. Selepas smu aku diperbantukan di kantor kelurahan, disanalah aku bertemu dengan pak lurah yang rupanya sangat terkesan dengan cara kerja dan sopan santunku. Beliaupun menjodohkan aku dengan salah seorang anak gadisnya. Waktu itu umurku sudah 23 tahun dan aku tidak menolak dijodohkan dengan Asri karna dia termasuk kembang desa. Parasnya yang ayu, tingkah lakunya lemah lembut, sangat perempuan sekali. Tapi pekerjaan di kantor kelurahan belum cukup membuatku puas. Bisik -bisik kehidupan di kota mampir di telingaku mengusik batin untuk bermimpi. Maka dengan kebulatan tekad dan segepok mimpi, aku pun berangkat menuju kota untuk melihat ada apa saja di luar desaku. Akupun harus tega meninggalkan Asri sementara, sebelum pergi telah kuselipkan janji bahwa aku akan cepat kembali untuk menjemputnya.


********


“Walah No..! kamu tau perempuan yang biasanya ngamen pake' botol aqua gak? Areke ayu banget, gak cocok dadi pengamen. Anak mana ya?” ibu yang menjual kopi itu bertanya dengan laki laki yang duduknya di bangku sebelahku.


Aku mencuri dengar perbincangan mereka. Tapi aku tidak berani ikut ambil bagian. Rupanya yang mereka maksud adalah pengamen perempuan yang beberapa hari lalu aku temui di sini. Tubuh langsing, wajah manis, dan kulitnya kunging langsat, hanya saja kesempurnaan sebagai perempuan itu tertutup debu dan pakaian camping yang dia kenakan. Beberapa orang di warung itu ikut menimpali. Ada yang bilang perempuan itu mantan perek dan sekarang insyaf lalu ganti profesi jadi pengamen. Ada juga yang bilang perempuan itu perempuan stress sebabnya ditinggal calon suami. Akh.. entahlah, aku sendiri tidak seberapa perduli. Aku justru punya kesimpulan sendiri, perempuan itu stress gara gara ditinggal suami lantas jadi perek dan sekarang pindah profesi jadi pengamen. Kalau itu cerita yang sebenarnya, aku jadi takut dan membayangkan nasib Asri. Tubuhku gemetar jika membayangkan akibat aku meninggalkan Asri. Sudah hampir tiga tahun aku tidak juga segera menjemputnya. Kalaupun aku memutuskan pulang, apa yang bakal aku suguhkan pada keluarganya. Andai saja aku seorang yang berhasil, aku pasti bisa menyelamatkan perempuan pengamen itu dari jalanan dan pulang untuk menikahi Asri lalu memboyongnya ke kota ini.


Hidup di kota ini sungguh membuat aku sesak, tapi tidak ada pilihan. Keputusan untuk merogoh mimpi di sini sudah aku pilih. Sekarang jika aku memutuskan untuk kembali ke kampung pastilah olokan dan cemoohan jatuh padaku. Atau aku boyong saja Asri kesini tapi mau aku beri kehidupan macam apa? pikiran konyol lagi-lagi berusaha menjinakkanku pada ketidak berdayaan.


Mas, kapan pulang? Bapak sudah tanya, kapan mas mau nikah dan jemput aku. Pulang sajalah Mas, bantu-bantu bapak di sini. Bapakku malu karna anak gadisnya masih belum nikah. Aku ndak mau dicarikan jodoh yang lain.”


Isi surat Asri semakin membuat pikiranku berat, aku kasihan dengannya. Dia sudah begitu sabar menungguku. Antara kepolosan dan kegigihan sifat yang kontras, itulah yang membuatku enggan melepaskannya. Tapi bagai mana aku bisa menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri tidak tahu kapan aku bisa pulang. Kopi gelas kedua sudah sampai di dasar leteknya, rokok kretek yang aku beli eceranpun tersisa tinggal 3 batang. Aku rogoh kantong celana dan kukeluarkan lembaran sepuluh ribuan kucel lantas kubayarkan pada ibu penjaga warung. Aku meninggalkan warung itu dan berjalan menyusuri lorong terminal.


“Mojokerto... Mojokerto pak! AC tarif biasa pak” seorang calo langsung menyambutku dengan suaranya yang kasar. Aku hanya menggeleng dan terus berjalan meninggalkan laki-laki itu. Belum sampai tiga langkah, calo lain dengan semangat yang sama menawarkan bus antar kota dengan tujuan yang berbeda. Aku menggeleng lagi dan tersenyum kecil. Lantas aku bergegas mencari tempat duduk di ruang tunggu calon penumpang. Aku memilih duduk di deretan paling belakang, dekat seorang perempuan setengah baya yang sedang menggendong bayi.


“Oalah.. gak usah ditawari bos.. mas iku gak niat numpak bis” sungut calo yang tadi kutolak jasanya. Aku diam saja dan pura-pura tidak mendengar gerutuannya. Calo lain yang hendak menghampiriku berbalik arah dan mencari calon penumpang yang lain. Tas ransel kecil yang berisi harta paling berharga ku bekap. Ada beberapa lembar baju, surat-surat dari kampung dan ijazah. Pikiranku masih saja dihantui kebingungan, ramai terminal rasanya sangat sepi buatku. Gendang telingaku tidak dapat menangkap bunyi klakson bus yang bergerak perlahan. Sesekali saja mataku mengamati dari pintu masuk terminal. Wajah lusuh para penumpang berjejal di pintu peron. Suara kardus-kardus besar yang jatuh, teriakan para calo dan tangis bocah-bocah kecil, seharusnya kesibukan siang itu cukup ramai. Tapi entah ada apa dengan liang telingaku, tidak ada suara apapun yang mampu masuk. Rasanya sepi dan hening, justru riuh genderang dalam batin terasa sangat ramai. Dari mimik muka calon penumpang aku menangkap kerinduan akan pulang. Di terminal antar kota ini orang-orang bergegas, bergerak cepat seperti kilat kilat serangga malam yang biasa mengerumuni lampu teras. Sedangkan aku, menjadi seperti serangga sekarat di tengah kerumunan, hanya duduk dan diam.


*******

Dari jarak yang tidak jauh dari tempat dudukku, segerombol anak muda datang. Empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka memakai tas ransel besar di punggung dan dandanan ala pendaki. Asyik sekali mereka tertawa dan bercanda.


“Malang.. Malang.. Malang mas??” seorang calo langsung menghampiri mereka dan dengan tanggap menawarkan jasanya. Tapi mereka tak menggubris malah terus bercanda dengan temannya yang lain. Sungguh tidak sopan perlakuan mereka terhadap orang yang lebih tua. Mungkin itu resiko seorang calo hingga dia diperlakukan seenaknya. Kalau di kampung, pemuda semacam itu dianggap perusuh, tidak tahu adat dan hal jelek lainnya. Untunglah aku tidak pernah dapat cap seperti itu. Aku termasuk pemuda yang dianggap sopan oleh warga. Setiap berpapasan dengan orang yang lebih tua aku membungkukkan badan dan tersenyum. Hanya sekedar penghormatan saja.


Tapi di kota besar ini kesopanan terkadang menjadi boomerang. Beberapa kali pindah kerja, dipecat hanya gara-gara terlalu sopan dan dianggap penjilat. Aku hanya bekerja sebagai buruh pabrik, dengan lingkungan pergaulan kalangan bawah. Pemikiran mereka hanya sekedar bisa makan ya kudu punya uang banyak. Gimana caranya? ya mendekati atasan. Hampir saja aku terjebak pada pemikiran sesempit itu. Mungkin karna hal itu banyak teman-teman sekerja yang tidak bisa menerima kelakuanku. Kalaupun ada atasan suka dengan sikapku itupun hanya alasan saja, pasti mereka menjadikan aku sebagai tumbal. Walau tidak semua perlakuan atasan seperti itu. Akupun belajar membaca dan memahami perlakuan orang kota. Masa beradaptasi, tiga tahun kurasa cukup mengubah pola pikir kampung menjadi lebih kota. Ya.. persaingan sangat terasa di sini, kalau tidak mampu ikut arus aku pasti mudah tersingkir dan menyerah. Untunglah Ibu dan bapak kostku sangat menyukai kesopananku mereka pun menganggap aku sebagai anak mereka sendiri. Pada mereka aku sering bercerita dan membicarakan apa saja sambil terus belajar banyak hal.


Aku lirik jam yang melingkar di pergelangan perempuan setengah baya yang duduk di sampingku. Menunjukkan jam setengah empat lebih 3 menit matahari sudah mulai turun, tapi keramaian di terminal belum juga surut justru semakin ramai. Hampir lima jam aku berputar-putar di dalam terminal. Bus-bus antar kota entah sudah berapa armada yang berangkat. Mataku tiba-tiba memberat, sepertinya akan ada yang tumpah. Aku bergegas menuju ponten umum di sudut timur terminal. Mbak penjaga ponten langsung tersenyum melihatku. Sepertinya dia mulai hapal wajahku karena seminggu belakangan aku cukup sering melamun di terminal ini.


Dari balik pintu toilet aku mendengar samar-samar lagu jawa campur sarian “Ndang balio.. Sri.. Ndang balio.. Sri..” akh lagu itupun sepertinya menyuruhku untuk pulang. Kenapa justru peringatan untuk pulang yang terus masuk ke dalam telingaku. Aku pura-pura tak mendengar lagu itu. Aku usapkan air dari kran langsung ke wajahku, lalu aku segera keluar dari ruang itu.


“Ayo tho le.. cepetan.. bapakmu iki wes ngenteni...! keburu sore!” aku berpapasan dengan seorang ibu dan bocah yang mungkin berusia 10 tahun. Si anak cuma bisa meringis menahan sakit di perutnya.


“Sabar bu.. kasian anaknya dipaksa-paksa” ucapku dalam hati. Aku seperti melihat keserupaan nasib dengan bocah laki laki itu. Ditekan dan tertekan hanya saja dengan permasalahan yang berbeda.


"Kasian ya mas anaknya!” bisik mbak penjaga ponten padaku. Aku mengiyakan dan kemudian pergi berlalu. Setelah meninggalkan recehan 500 rupiah dan senyuman kecil padanya.


Aku melangkah gontai, seharian ini aku cukup diingatkan pada kampung dan pulang. Surat-surat dari Asri dan Ibu di kampung aku genggam makin erat. Aku berdiri bersandar pada tiang di antara ruang tunggu dan pintu keluar. Entah mana yang aku pilih. Sebuah tembok bertuliskan “DILARANG KENCING DISINI, KECUALI ANJING!!” benarkah aku tak cukup layak mencari mimpi disini. Apakah aku sudah menyerupai Anjing? walau sudah dihantam kekerasan kota, masih saja tidak juga pergi. Apa lebih baik aku pulang dan menghentikan mimpi. Nafas panjang kulepaskan, penat batinpun mengoyak, kegundahan makin memuncak. Lalu lalang orang di terminal itu memutar mutar kepalaku. Aku pejamkan mata dan melihat kilatan kilatan kehidupanku di masa lalu dan masa sekarang. Gambar wajah wajah orang orang disekitarku, kegigihan Asri pengharapan ibu. Dan aku yang berdiri di tengah jembatan rapuh. Aku harus kembali atau terus berjalan menyebrang.


Tiba-tiba saja suara bising dalam terminal masuk ke dalam telingaku. Suara riuh orang orang yang berteriak teriak, klakson bus dan derunya menjadi sangat keras menghantam gendang telinga. Tangisan bocah dan semua harapan orang-orang di dalam terminal tiba-tiba saja memacuku. Aku beranjak dari terminal menuju pintu keluar, melupakan pemandangan bus antar kota. Mengacuhkan wajah-wajah rindu para calon penumpang, menghenyakkan pikiran-pikiran konyol dari labirin syaraf otakku.


Asri, tunggu masmu setahun lagi! janji setelah setahun aku akan pulang. Kalau sampai aku masih gagal. Biarlah aku pulang sebagai orang kalah.”


Setiba aku di tempat kost akan segera kubalas surat asri. Dan kakiku pun semakin mantap keluar dari terminal, menata kembali mimpi yang hampir saja aku buang. Waktu tidak akan berhenti berlari, tidak akan pula berjalan mundur. Demikian juga aku.

Kamar, Jan 08


utk Kelas Prosa "lokalitas"