Monday, October 01, 2007

RIAK TELAGA DI BENING MATA

: PEREMPUAN

Dengan langkahnya yang mantab setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.


“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.


Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.


Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang”. Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.


Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.


Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.


*********

Sore itu begitu manja tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam tapi cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.


Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.


Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.

**********

Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Di suatu perjalanan kecil untuk melupakan penat kepala, aku menemukannya diantara sekian banyak penumpang yang kumal di dalam bus antar kota. Waktu itu hujan tipis sedang turun dan aku melihat dia menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening air hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan. Sejenak aku lupa pada isi kepalaku yang hampir penuh. Dan aku hanya ingin berkenalan sehingga aku dapat menikmati mata yang sebening telaga itu.


Letak dudukku yang berseberangan dengan perempuan itu membuatku tak dapat langsung mengajaknya berbicara. Lalu aku memutuskan untuk mengamati secara diam-diam, agar aku dapat menikmati matanya. Penumpang bus sedikit demi sedikit berkurang, tapi ternyata perempuan itu tak juga segera turun. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku.


Perempuan itu tak segera mencari angkutan lain. Ia malah memilih duduk di bangku ruang tunggu. Entah apa yang sedang ia tunggu. Tapi wajahnya sudah berubah menjadi datar, tidak seperti di dalam bus. Mungkin karrna ia tak lagi bersandar pada kaca jendela yang berhias air hujan. Dan aku merasakan kesepian di tatapannya itu. Ku beranikan diri untuk duduk disampingnya, tapi aku tak segera berani mengajaknya berbicara.


“Permisi, mas tadi yang di dalam bus ya? Saya Adis.” tanyanya dengan senyum kecil sekaligus ia mengulurkan jemarinya yang lentik. Dalam hati aku merasa terkejut dengan sikapnya yang berani itu. Sedikit keraguan terlintas di benakku mungkinkah ini perempuan baik-baik. Tapi kusambut juga uluran tangannya hanya untuk sekedar menghormati teman baru. Aku mengamati matanya yang sedari tadi mengusikku. Matanya memang bening seperti telaga yang tenang, rupanya jika ia tersenyum matanya menjadi semakin terang.


“Lukman, ehm Adis mau ke mana?” aku memulai basa basiku. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil dengannya.


Entah bagaimana asal mulanya akhirnya aku mengantarkan sampai ketempat tujuannya, mungkin karena waktu itu sudah malam dan aku tidak tega membiarkan ia pulang sendiri. Perempuan itu tinggal di sebuah desa di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan ia sibuk bercerita bahwa ia sedang berlibur kerumah kakeknya dan ingin membuang jenuh kehidupan di kota. Adis seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta yang juga bekerja paruh waktu di sebuah swalayan, begitu ia mengenalkan dirinya padaku. Perempuan itu selalu riang dan seperti tak ada beban. Bagaimana bisa perempuan berwajah syahdu itu bergulat dengan tawa kecilnya.


Giliranku bercerita, aku hanya bisa menceritakan sedikit bagianku bahwa aku bekerja di sebuah travel agent. Bukan karena ingin berahasia tapi memang aku sedang tak ingin mengingat “aku” yang sibuk. Dan diapun tak banyak bertanya lagi, mungkin itu bentuk ketidakpeduliannya padaku. Setelah mengantarnya aku yang memang belum tahu mau kemana mencari tempat tinggal di dekat sana. Di sebuah vila kecil letaknya didaerah yang lebih tinggi, suasana sejuk karena dikelilingi perkebunan apel. Dan satu alasan lagi kenapa aku memlih tempat itu karena letaknya yang tak jauh dari tempat tinggal Adis.


Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap.

***********

Baru dua hari bersama tapi aku telah merasakan ada yang berbeda. Lalu aku menggulirkan kisahku yang sebenarnya. Adis hanya diam, setelah selesai aku bercerita baru ia tersenyum dan membiarkan aku yang larut pada masalahku sendiri. Pikiranku yang kalut menjadi begitu tenang saat bersamanya. Walaupun aku bercerita tentang kisah yang rumit, tapi aku tak lagi merasa ingin meledak. Ataukah ini karena hawa desa yang sejuk ikut meredam luka ataukah padang rumput yang riuh lenguhan sapi yang sibuk memamah rumput mendamaikan suasana hati? akh entahlah...!


Tanpa terasa aku menjadi ingin memiliki mata sebening telaga dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dan aku akan menenggelamkan tubuhnya dalam pelukanku hanya untuk menenangkan diriku sendiri. Mungkin ini egois tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.


Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya, senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Tapi aku merasa bahwa Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah pahitku yang masih belum terselesaikan. Ia tak pernah tenggelam pada masalah yang aku umbar. Dan perempuan itu berkata bahwa ia hanya ingin menikmati waktu yang ada.


Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati”. Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.


Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.


Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati”

***********

Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.


“Dis… tunanganku telah kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. "Pulang" akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.


Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu aku mengangguk atau tidak.


Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.


Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu matanya yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.

Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07